Home » Tak Berkategori » ASEAN: Memasuki ASEAN Economic Community 2015 Di Tengah Bayang-Bayang Tantangan Perekonomian Kawasan

ASEAN: Memasuki ASEAN Economic Community 2015 Di Tengah Bayang-Bayang Tantangan Perekonomian Kawasan

Memasuki ASEAN Economic Community (AEC) 2015, perekonomian kawasan masih belum tumbuh stabil bahkan beberapa negara menunjukkan kerapuhan struktur fundamental ekonomi. Situasi perekonomian ASEAN pada kuartal II-2014 adalah potret perekonomian yang menunjukkan campuran optimisme dan pesimisme di saat yang bersamaan. Beberapa negara utama kawasan seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Vietnam mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang melebihi ekspektasi awal walaupun masih tidak stabil dari waktu ke waktu. Sementara Indonesia sebagai “motor utama” penggerak perekonomian kawasan menunjukkan gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi diikuti dengan Brunei Darussalam, Laos, Kamboja dan Myanmar yang masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan fundamental ekonomi seperti struktur ekonomi yang belum terdiversifikasi dengan baik serta keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja yang buruk. Akibatnya, situasi ini memicu terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas bahkan hingga mencatatkan kontraksi perekonomian. Situasi ini menunjukkan masih rapuhnya perekonomian kawasan dalam menghadap AEC 2015 ditengah situasi perekonomian global yang masih memerlukan waktu untuk tumbuh secara lebih optimal.
Berbagai tantangan membayangi perekonomian kawasan dalam memasuki AEC 2015. Tantangan tersebut diantaranya bersumber dari fenomena internasional ataupun regional seperti rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat pada kisaran 100-115 basis poin yang berpotensi akan memutar balik arus modal dari emerging markets kembali ke Amerika Serikat pada tahun 2015, situasi perekonomian global yang masih belum pulih secara optimal sehingga current account beberapa negara utama di kawasan yang masih belum mencatatkan nilai positif, serta defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang lebih dari 3% pada beberapa negara di kawasan. Selain hal tersebut terdapat juga tantangan perekonomian yang terkait dengan kebijakan domestik seperti rencana rasionalisasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia dan Malaysia, rencana penerapan Goods and Service Tax (GST) baru di Malaysia pada tahun 2015, rencana kenaikan Value Added Tax (VAT) sebesar 10% dan gaji pegawai negeri sipil sebesar 8% di Thailand pada tahun 2015, serta stabilitas politik domestik yang masih belum kondusif terutama di Kamboja dan Thailand. Berbagai situasi ini membayangi potensi yang bisa dicapai oleh perekonomian masing-masing negara dalam menghadapi AEC 2015 yang akan secara resmi diberlakukan pada akhir tahun 2015.

Tabel 13: Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan di Negara-negara ASEAN,
1998–Q1 2014 (y-o-y, %)
Kontribusi Pelaku Ekonomi Swasta Menjadi Kunci Dalam Menjaga Momentum Perekonomian Kawasan

Catatan: rata-rata pertumbuhan untuk periode 1998-1999, 2000-20007, dan 2008-2009
Data Pertumbuhan Q2/2014: Kamboja, Laos dan Myanmar belum tersedia
Sumber: IMF, CEIC (2014)

Negara-negara utama di kawasan ASEAN mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 diatas ekspektasi. Negara-negara ASEAN-5 terkecuali Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2014 diatas ekspektasi. Malaysia yang diproyeksikan awal oleh Bank Negara Malaysia hanya mampu tumbuh 5,8% dan Filipina yang diproyeksikan awal oleh Bangko Sentral ng Pilipinas hanya akan mampu tumbuh 5,7% ternyata keduanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan yaitu hingga 6,4%. Negara-negara ini mendapatkan momentum perekonomiannya pada kuartal II-2104 melalui pertumbuhan yang dialami oleh sektor jasa dan sektor konstruksi berdampingan dengan Singapura yang mencatatkan pertumbuhan ekonominya melalui pertumbuhan pada sektor asuransi. Sementara hanya dalam jangka waktu tiga bulan pasca kudeta pihak militer, Thailand sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di kawasan telah mampu lepas dari jeratan resesi dengan kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal II-2104 setelah sebelumnya mengalami kontraksi -2,1%. Pertumbuhan yang dialami Thailand ini didorong oleh membaiknya tingkat keseimbangan perdagangan internasional Thailand serta membaiknya sentimen investor yang kembali melakukan penanaman modal pada berbagai instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun swasta. Sementara itu, pada kuartal II-2014, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh masih belum stabilnya tingkat kepercayaan dunia usaha terhadap perekonomian Indonesia atas dinamika situasi politik pasca pemilihan presiden baru. Selain itu, pengetatan berbagai kebijakan moneter maupun fiskal yang salah satunya diwujudkan melalui penundaan kebijakan pembayaran gaji ke-13 pegawai negeri sipil oleh pemerintah dari awalnya pada kuartal II-2014 menjadi pada kuartal III-2014 yang menekan potensi pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal berjalan turut memberikan dampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kontribusi pelaku ekonomi swasta menjadi kunci pertumbuhan ekonomi di negara utama kawasan. Momentum pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 sebagaimana yang dialami oleh Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand ditopang oleh pertumbuhan kinerja investasi swasta pada sektor jasa terutama pada sub-sektor yang terkait dengan perdagangan dan sektor konstruksi yang dilatarbelakangi oleh membaiknya situasi perekonomian global secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan capaian pertumbuhan sektor konstruksi hingga sebesar dua digit pada Malaysia sebesar 12,1% dan Filipina sebesar 12,7%. Meningkatnya kontribusi pelaku ekonomi swasta ini menjadi semakin dominan karena pada saat yang bersamaan kontribusi pengeluaran pemerintah pada kuartal berjalan menunjukkan pelemahan diakibatkan bottlenecking pada rantai birokrasi.
Beberapa negara lainnya di kawasan ASEAN memerlukan percepatan restrukturisasi fundamental ekonomi agar mencapai potensi optimal pertumbuhan ekonominya. Brunei sebagai satu-satunya negara di kawasan yang mencatatkan kontraksi ekonomi sebesar -3,3% memerlukan restrukturisasi fundamental perekonomian dengan mempercepat diversifikasi sektor perekonomian yang saat ini sangat bergantung pada industri minyak bumi dan gas alam yang menurut Jabatan Perancang Kemajuan Ekonomi (JPKE) Brunei menguasai lebih kurang 70% PDB dan 90% total ekspor. Ketergantungan pada sektor ini yang pada kuartal berjalan mencatatkan kontraksi -0,6% tengah dilakukan upaya pengalihan kepada sektor-sektor potensial Brunei lainnya seperti pertanian, perikanan dan kehutanan yang pada saat bersamaan mampu mencatatkan pertumbuhan hingga 4,1% year-on-year. Permasalahan fundamental ekonomi lainnya seperti defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang terlalu besar dialami oleh Laos (5,8% terhadap PDB) dan Myanmar (3,7% terhadap PDB) akibat kebijakan perlindungan sosial yang terlalu ekspansif, rekrutmen pegawai negeri sipil secara besar-besaran dan anggaran pertahanan yang masih terlalu tinggi sehingga menyebabkan terbatasnya ruang fiskal pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk melakukan stimulus perekonomian. Sementara itu, konflik perbatasan antara Vietnam dan mitra ekonomi utamanya, Tiongkok, membuat perekonomian Vietnam terhambat. Oleh karena itu, pemerintah Vietnam saat ini berusaha untuk melibatkan investor asing yang lebih beragam demi melepas ketergantungannya secara ekonomi kepada pemerintah Tiongkok.

Tabel 14: Tingkat Inflasi Negara-Negara ASEAN, 2011-2014* (y-o-y, %)
Kenaikan Harga Barang Diakibatkan Masih Banyaknya Produk Impor Pada Berbagai Komoditi Konsumsi Utama

Catatan: Data-data untuk Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, dan Singapura adalah posisi per-Juli 2014 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam adalah posisi per-Agustus 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)

Inflasi yang didorong oleh harga bahan makanan dan produk impor dihadapi dengan kebijakan beragam oleh negara-negara di kawasan. Secara umum negara-negara di kawasan ASEAN mencatatkan pembentukan inflasi tinggi yang disebabkan oleh meningkatnya harga bahan makanan dan minuman non-alkohol serta beberapa komponen konsumtif lainnya seperti garmen dan elektronik yang masih sangat bergantung pada aktivitas impor seiring dengan dibukanya berbagai fasilitas Special Economic Zone/Kawasan Ekonomi Khusus yang terutama terjadi pada negara-negara yang terletak di area Sungai Mekong (Kamboja, Laos dan Myanmar). Tingkat inflasi yang relatif tinggi di sub-kawasan ini juga diperparah dengan adanya bencana banjir tahunan serta instabilitas politik yang sempat terjadi di Thailand sebagai kekuatan ekonomi utama di sub-kawasan sehingga menghambat arus lalu lintas perdagangan. Tingkat inflasi di beberapa negara bahkan mengalami tekanan lebih lanjut dengan terjadinya kenaikan harga layanan listrik sebesar 43% di Myanmar pada bulan April 2014 serta kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Vietnam sebanyak dua kali yaitu pada 26 Juni 2014 dan 7 Juli 2014. Pengendalian inflasi pada negara-negara di kawasan tersebut sebagian besar dilakukan melalui kebijakan pengendalian harga sebagaimana yang diterapkan oleh pemerintah militer Thailand dan pemerintah Vietnam yang terbukti cukup efektif untuk mencegah tercapainya tingkat inflasi yang lebih tinggi lagi di tengah dinamika yang terjadi. Lain halnya dengan pemerintah Laos menempuh kebijakan penghapusan Value Added Tax (VAT) pada beberapa komoditi yang selama ini diimpor dengan harapan menumbuhkan produksi komersial secara domestik, kebijakan alternatif pengendalian inflasi juga dilakukan oleh pemerintah Brunei sebagai negara dengan tingkat inflasi terendah pada kuartal berjalan dengan melakukan kebijakan pegging mata uang Dolar Brunei terhadap Dolar Singapura.

Tabel 15:  Pertumbuhan Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009-2014 (y-o-y, %)
Aliran Arus Modal Dibayangi Dengan Rencana Kenaikan Suku Bunga The Fed

Catatan: Data posisi 2 Januari dan 29 Agustus 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date
Sumber: Bloomberg (2014)

Potensi pembalikan arus modal membayangi pasar saham kawasan akibat rencana kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. Pada kuartal II-2014 ini secara umum pasar saham di kawasan ASEAN menunjukkan pertumbuhan yang sangat menggembirakan dengan rerata pertumbuhan berada pada tingkat dua digit kecuali hanya pada Kamboja (-15,96%), Malaysia (0,71%) dan Singapura (4,80%). Situasi perlambatan pertumbuhan pasar saham di negara Singapura dan Malaysia sebagai perwakilan negara-negara dengan tingkat integrasi ekonomi internasional yang relatif tinggi di kawasan, menunjukkan adanya gejala perlambatan aliran arus modal masuk ke pasar saham di kawasan ASEAN. Situasi ini disinyalir dikarenakan sikap kehati-hatian investor terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan oleh Bank Indonesia akan dilaksanakan pada Semester Pertama 2015 dengan kisaran kenaikan 100 hingga 115 basis poin sehingga berpotensi memicu terjadinya arus pembalikan modal dari emerging countries. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, secara lebih lanjut mengindikasikan bahwa potensi pembalikan arus modal ini akan dapat mempengaruhi keseimbangan capital account sebuah negara yang dapat mengganggu perekonomian terutama bagi negara-negara yang saat ini sudah mengalami defisit pada current account. Situasi potensi pembalikan arus modal ini mengkhawatirkan bagi negara Kamboja dan Laos yang justru saat ini sedang gencar-gencarnya merelaksasi regulasi di pasar saham mereka agar perusahaan asing tertarik melakukan listing di pasar saham tersebut setelah selama ini hanya diisi oleh beberapa perusahaan yang masih terafiliasi dengan negara (Badan Usaha Milik Negara).

Tabel 16:  Pertumbuhan Nilai Tukar Mata Uang Negara-Negara di ASEAN Terhadap USD, 2009-2014 (y-o-y, %)
Penguatan Nilai Tukar Terutama Ditopang Oleh Sentimen Positif Pasar

Catatan:

Data tersaji pada posisi 29 Agustus 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date
Angka (+) menunjukkan apresiasi mata uang dan angka (-) menunjukkan depresiasi mata uang

*= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang
Sumber: Bloomberg (2014)

Tingkat nilai tukar di kawasan masih sangat dipengaruhi oleh keseimbangan perdagangan internasional dan sentimen pelaku bisnis. Secara umum penguatan atau pelemahan pada nilai tukar negara-negara di kawasan ini sangat dipengaruhi pada kinerja keseimbangan perdagangan internasional negara tersebut sebagaimana yang dialami penguatan pada mata uang Baht Thailand, Rupiah Indonesia dan Ringgit Malaysia. Di sisi lain, fenomena kontraksi nilai mata uang di negara Kamboja lebih disebabkan pada demonstrasi buruh sektor garmen sebagai industri terbesar di Kamboja yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir sehingga menurunkan sentimen positif para pelaku bisnis terhadap proyeksi perekonomian Kamboja kedepannya. Khusus untuk Vietnam, penurunan nilai mata uang terjadi dikarenakan akibat kebijakan moneter yang ditempuh berupa devaluasi Dong Vietnam sebesar 1% yang dilakukan pada 19 Juni 2014 demi menjaga daya saing produk-produk Vietnam di luar negeri terhadap mitra-mitra dagang baru ditengah situasi perekonomiannya yang terguncang akibat konflik perbatasan dengan Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama. Sementara fenomena sentimen positif dunia bisnis juga mempengaruhi nilai tukar Peso Filipina yang baru saja mendapatkan peningkatan rating oleh Standard’s & Poor pada awal bulan Mei 2014.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.