Home » Id » Opini » Bangkitnya Momok Inflasi

Bangkitnya Momok Inflasi

Banyak yang tak menduga pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2015 turun menjadi 4,72 persen, terlebih ketika harapan masyarakat terhadap era kepemimpinan Presiden Jokowi amat tinggi. Angka tersebut merupakan angka terendah sejak kuartal III-2009. Buat Pemerintah hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan karena dapat menjatuhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu pekerjaan rumah ke depannya adalah menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, setidaknya kembali ke level 5-6 persen.

Namun Pemerintah masih menghadapi sejumlah tantangan dalam menghadapi perlambatan ekonomi. Salah satunya adalah tingkat inflasi tinggi. Sejak tahun 2010 hingga Mei 2015, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tidak pernah berada di bawah tiga persen. Terakhir adalah di bulan Desember 2009 sebesar 2,78 persen year on year. Setelah itu inflasi konsisten berkisar pada 3,5-8 persen. Inflasi kini diam-diam menjadi momok bagi usaha pemerintah untuk keluar dari malaise ekonomi.

Ada tiga alasan mengapa tingkat inflasi layak untuk ditakuti. Pertama, laju inflasi terbesar biasanya terjadi pada komoditas bahan makanan. Di bulan Mei kemarin inflasi bahan makanan sebesar 1,39 persen (bulan ke bulan) dengan andil 0,28 persen. Bandingkan dengan komponen lain yang andilnya di bawah 0,10 persen semua. Secara rata-rata sejak awal 2014 inflasi year on year Indonesia mencapai 6,90 persen. Kondisi pasokan komoditas menjadi penyebab tingginya angka inflasi bahan makanan. Hal ini tercermin dari kenaikan harga eceran beberapa komoditas seperti cabai merah dan telur ayam ras. Harga cabai merah naik menembus Rp 27.927,00 per kg dari bulan sebelumnya sebesar Rp 22.850,00 per kg (naik 22,22 persen bulan ke bulan). Bahkan di Januari 2015 harganya sempat mencapai Rp 46.573,00 per kg.

Yang paling dirugikan dengan naiknya harga bahan makanan tentu saja adalah para penjual makanan jadi. Tidak mudah bagi mereka untuk menyesuaikan harga dengan cepat karena takut kehilangan konsumen. Sedangkan bagi konsumen rumah tangga karena pengeluaran untuk bahan makanan menjadi prioritas utama sehari-hari maka kendati harganya naik, rumah tangga akan tetap melakukan pembelian. Konsekuensinya alokasi pengeluaran untuk komoditas lain seperti pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang notabene merupakan produk-produk industri pengolahan, harus dikurangi. Tentunya hal ini berakibat negatif pada sektor industri pengolahan yang berkonstribusi sekitar 20 persen terhadap PDB nasional. Di samping itu inflasi juga menggerus daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga pada PDB menjadi kurang signifikan.

Kedua, inflasi yang tinggi menyebabkan investasi sulit tumbuh pesat. Secara teori tingkat inflasi yang cenderung tinggi sepanjang waktu membuat masyarakat berekspektasi inflasi di periode berikutnya juga tinggi. Alhasil suku bunga nominal terdorong ke level yang lebih tinggi pula sesuai dengan efek fisher. Suku bunga sendiri merupakan harga dari meminjam dana untuk berinvestasi. Oleh karena itu semakin tinggi suku bunga maka tingkat investasi juga semakin rendah ceteris paribus. Saat ini investasi berkontribusi sebesar 31,92 persen terhadap PDB sedangkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sejak tahun 2013 selalu di atas tujuh persen. Ke depannya pun sangat sulit bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan karena rata-rata inflasi pada awal 2015 masih cukup tinggi yaitu 6,71 persen year on year.

 

Tabel 1: Inflasi Indeks Harga Konsumen Beberapa Negara, Januari-Mei 2015 (% y-o-y)
tabel-opini-traheka-inflasi
Sumber: CEIC Generate (2015)

 

Ketiga, inflasi Indonesia termasuk tinggi dibandingkan negara-negara lain. Di kawasan ASEAN, inflasi year on year Malaysia, Filipina dan Vietnam pada Mei 2015 masing-masing sebesar 2,09 persen; 1,58 persen dan 0,95 persen. Di luar ASEAN, Tiongkok, Korea Selatan, dan India secara berurutan mengalami inflasi sebesar 1,2 persen; 0,53 persen; dan 5,00 persen. Sedangkan di Indonesia inflasi melampaui 7 persen (7,15 persen). Dalam jangka panjang ketika inflasi Indonesia selalu lebih tinggi daripada inflasi negara-negara lain maka nilai tukar rupiah akan terdepresiasi ceteris paribus. Akibatnya adalah biaya impor komoditas dari negara-negara tersebut menjadi lebih mahal sehingga net ekspor Indonesia pun mengecil.

Dengan pengendalian inflasi yang baik, hal-hal di atas semestinya bisa dihindari. Namun kuartal I-2015 telah berlalu, kini saatnya bagi pemerintah untuk menengok ke depan. Untuk menjinakkan inflasi di kuartal-kuartal berikutnya, pemerintah mesti mewaspadai ancaman depresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD. Per 29 Mei 2015 nilai tukar rupiah per USD-nya adalah sebesar IDR 13.211,00. Awal tahun rupiah masih bertengger di level IDR 12.474,00 per USD. Berlanjutnya depresiasi rupiah dapat membahayakan perekonomian karena harga impor barang modal dan bahan baku menjadi semakin mahal. Dengan demikian biaya produksi sektor industri pengolahan akan naik dan berpotensi menimbulkan cost push inflation. Hasil penelitian BI menunjukkan setiap satu persen depresiasi akan menaikkan CPI sebesar 0,07 persen. Jadi bila sejak awal tahun hingga akhir Mei 2015 telah terjadi depresiasi sebesar 5,91 persen, maka efeknya ke inflasi adalah 0,41 poin persentase naiknya CPI (5,91 x 0,07).

Jika pada semester II-2015 pemerintah berhasil menjaga stabilitas harga khususnya bahan makanan, bukan tidak mungkin target inflasi tahunan BI sebesar 4±1 persen dapat tercapai. Kuncinya adalah ketersediaan pasokan dan distribusi komoditas yang merata antar daerah.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.