Home » Id » Opini » Potret Kondisi Human Capital di Indonesia : Permasalahan dan Tantangan

Potret Kondisi Human Capital di Indonesia : Permasalahan dan Tantangan

Peter F. Drucker  dalam bukunya Post Capitalist Society (1993), mengungkapkan bahwa dunia akan mengalami transformasi yang dramatis pada berbagai aspek kehidupan, ekonomi, politik, sosial, organisasi, dan moral landscape. Pada sektor sosial politik, terjadi pergeseran paradigma dari semula nation state menjadi megastate. Sebuah negara tidak bisa lagi secara dominan memaksakan hegemoninya pada sebuah kawasan akan tetapi cenderung untuk membentuk kerjasama blok-blok ekonomi dan politik. Terbentuknya Uni Eropa, G20, dan yang paling mutakhir adalah MEA merupakan contoh nyata terkait hal ini. Pada sektor sosial misalnya, terjadi pergeseran pola interaksi masyarakat yang semula dibatasi oleh adat istiadat, budaya, dan selera lokal, kini dengan berkembangnya teknologi IT dan berbagai aplikasi  telepon pintar, masyarakat dunia semakin homogen dan sekat-sekat budaya dan selera lokal menjadi semakin luntur menjadi selera global. Dulu sulit dibayangkan bahwa gaya potongan rambut David Beckham dapat ditiru secara massif oleh para siswa sekolah di daerah terpencil dibawah lereng gunung Sumbing.  Akan tetapi dengan transformasi ICT yang diciptakan oleh penemu friendsters, facebook, whatsap, dan sebagainya, tren gaya rambut dapat mewabah ke seluruh dunia dalam hitungan detik.

 

Pada bidang ekonomi, Drucker menganalisis bahwa terjadi pergeseran yang signifikan atas faktor produksi. Semula, faktor produksi  yang memegang peranan penting adalah modal, tenaga kerja dan tanah, kini tenaga kerja saja tidak cukup. Tenaga kerja dengan knowledge (ilmu pengetahuan) atau lazim disebut human capital menjadi faktor produksi yang mempunyai peranan vital. Pertumbuhan ekonomi kini tidak bisa lagi bertumpu pada faktor produksi berupa modal uang dan tanah, akan tetapi telah terjadi pergeseran dimana human capital menjadi faktor produksi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan senjata bagi sebuah negara untuk memenangkan kompetisi global (competitive advantage of nation).

 

Jika beberapa dekade lalu ekonomi dikuasai oleh para pemilik modal baik itu raja, tokoh politik, atau seorang oligopolist, kini seorang anak muda berkaos oblong yang drop-out dari universitas Harvard bisa menjadi tokoh ekonomi paling berpengaruh di dunia. Fenomena ini oleh Drucker dilabeli sebagai knowledge based economy. Jika Drucker mendasarkan analisisnya berdasarkan sudut pandang seorang ahli manajemen dan organisasi, tulisan ini ingin menganalisis lebih lanjut mengenai knowledge based economy dari sudut pandang ilmu ekonomi.

 

Knowledge Based Economy

Ilmu pengetahuan (knowledge) sejatinya bukanlah merupakan hal baru yang digunakan dalam penyusunan model dan teori ekonomi. Spesialiasi pekerjaan yang digagas Adam Smith pada dasarnya merujuk pada seorang buruh yang mampu membuat kontribusi terhadap proses produksi yang secara ekonomis merupakan ilmu yang berguna dengan produktif. Fridrich List mempunyai pendekatan infrastruktur dan institusi sebagai factor pendorong terbentuknya pasukan buruh yang produktif melalui pembentukan dan penyebaran knowledge. Sedangkan yang paling mutakhir, Romer dan Grossman mencoba untuk menyusun teori pertumbuhan ekonomi berdasarkan modal ilmu pengetahuan (knowledge based growth).

 

Menurut fungsi produksi yang digagas oleh ekonom neo-klasik ini, imbal balik investasi (return on investment) akan menurun manakala terdapat penambahan  modal dalam perekonomian, sebagai efek pengurang akibat adanya penggunaan teknologi baru dalam proses produksi. Meskipun mereka menyadari bahwa penggunaan teknologi merupakan mesin pertumbuhan, akan tetapi mereka tidak melakukan analisis lebih lanjut mengenai hal itu. Akan tetapi pada dekade terakhir ini, para ekonom mulai menitikberatkan fokus penelitiannya mengenai hal itu. Berdasarkan penelitian itu mereka menemukan bahwa teknologi baru (dalam hal ini dikonotasikan sebagai knowledge) dapat mendorong peningkatan return on investment dengan argumen knowledge mampu menstimulasi terjadinya efesiensi metode produksi . Juga terciptanya produk baru yang inovatif dan berkembang. Jika teknologi baru terbukti mampu menaikkan return on investment, maka selajutnya investor akan kembali untuk melakukan investasi lagi di bidang teknologi atau pengetahuan. Investasi dibidang knowledge yang berkelanjutan ini pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

 

Studi yang dilakukan oleh lembaga OECD (organization for economic cooperation and development) menunjukkan bahwa rata-rata 50 % dari GDP negara-negara kuat OECD merupakan sumbangsih dari sektor ekonomi yang berbasis knowledge ini. Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut secara berkelanjutan menggelontorkan invetasinya pada sektor-sektor yang knowledge based. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sebuah survai yang dilakukan di Eropa dan Amerika oleh OECD menemukan bahwa investasi bisnis pada sektor-sektor yang knowledge based berkontribusi sebesar 20 – 34 % dari average labor productivity growth.

 

Human Capital dan Masalah Ekonomi

Meskipun teori dan kebijakan ekonomi didesain dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran sebuah bangsa, namun pada prakteknya pembangunan ekonomi masih menyisakan permasalahan yang tak kunjung selesai. Pengangguran, ketimpangan pendapatan antara yang paling kaya dan miskin, distribusi atau pemerataan kue pembangunan, masih menjadi ujian dan tantangan bagi para ekonom. Bagaimana menciptakan formula dan strategi kebijakan untuk memerangi atau mereduksi permasalahan tersebut.

 

Menurut teori lingkaran setan kemiskinan, kemiskinan akan mengakibatkan seseorang tidak mampu mengakses pendidikan yang baik. Padahal tingkat  dan kualitas pendidikan itu sendiri merupakan kunci bagi seseorang untuk memasuki dunia kerja dan tingkat penghasilan yang dia peroleh kelak. Sedangkan tingkat penghasilan akan menentukan apakah dia mampu mengakses pendidikan yang baik atau tidak, dan begitu seterusnya. Sehingga ada adagium, yang miskin akan cenderung untuk terus menjadi miskin. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah mitigasi berupa kebijakan pemerintah untuk menyediakan akses pendidikan bagi si miskin secara gratis. Karena menurut teori di atas, pendidikan yang baik merupakan salah satu jalan keluar untuk memotong rantai kemiskinan yang terjadi secara turun temurun.

 

Human Capital di Indonesia

Potret yang menggambarkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia akan ditinjau menggunakan beberapa aspek yang relevan yaitu kondisi demografis penduduk Indonesia, kondisi ketenagakerjaan, kualitas Index Pembangunan Manusia Indonesia serta tingkat literasi masyarakat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pada tahun 2015 lalu, Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat 4 besar jumlah penduduk di dunia, dengan jumlah penduduk  sekitar 253 juta jiwa. Berdasarkan  komposisi demografi penduduknya, dari jumlah 253 juta jiwa tersebut 27,3 % merupakan penduduk berusia 0 – 14 tahun, 67.3 % merupakan penduduk usia 15 – 64 tahun dan 5.4 % merupakan penduduk usia 65 tahun ke atas. Angka tersebut mengindikasikan bahwa prosentase jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan prosentase jumlah penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan 65 + tahun) dengan komposisi 67.3 % berbanding 32.7 %. Hal ini berarti tingkat ketergantungan usia non produktif terhadap usia produktif relative kecil yakni 32.7 % / 67.3%. Angka ketergantungan ini diproyeksikan akan terus menyusut dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2020, dimana prosentase jumlah penduduk usia produktif sebesar 70 % dibandingkan dengan jumlah penduduk usia non produktif sebesar 30 %. Kondisi demografi semacam ini disebut sebagai bonus demografi (demographic dividend), dimana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia non produktif. (sumber : proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035: Bapenas, BPS, United Nation Population Fund, 2013).

 

Bonus demografi tidak hanya berpotensi menjadi berkah namun juga bisa menjadi masalah. Semua tergantung dua hal berikut ini. Pertama adalah tersedianya lapangan kerja yang mencukupi bagi penduduk usia produktif, sehingga penduduk tersebut secara finansial dapat menopang keberadaan penduduk usia non produktif. Kedua, penduduk usia kerja (1 sd 65 tahun) akan benar-benar menjadi produktif manakala dibekali pendidikan dan skill yang memadai. Karena jika tidak, mereka justru akan menambah deretan jumlah pengangguran manakala mereka kalah bersaing dengan pekerja lain dari luar negeri yang mempunyai skill dan kemampuan yang mumpuni, ketika arus perdagangan bebas ASEAN nanti benar-benar dibuka. Apakah dua prasyarat bonus demografi di atas terpenuhi? Data-data yang disajikan berikut ini akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.

 

Lapangan kerja

 

Data dari hasil survai BPS, menunjukkan bahwa meskipun secara prosentase jumlah pengangguran usia produktif relative stabil dalam tiga tahun terakhir, akan tetapi jumlah absolutnya semakin bertambah banyak. Dengan demikian, secara riil jumlah tersebut akan menambah jumlah penduduk yang  non produktif semakin banyak. Jika jumlah penduduk usia non produktif jumlahnya bertambah banyak, maka ini berarti, bahwa prosentase jumlah penduduk usia produktif yang menganggur akan semakin banyak dibandingkan jumlah usia non produktif atau dengan kata lain rasio ketergantungan usia non produktif terhadap usia produktif semakin tinggi.

 

 

Tabel 1. Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 2010–2013

Tahun Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja – TPAK Tingkat Pengangguran Terbuka – TPT
(Juta Orang) (Juta Orang) (Juta Orang) (%) (%)
2010 116.53 108.21 8.32 67.72 7.14
2011 117,37 109,67 7,70 68,34 6,56
2012 118.05 110.81 7.24 67.88 6.14
2013 118,19 110,80 7,39 66,90 6,25

Sumber: BPS (2016)

 

 

Setali dua uang dengan hal itu, dari tabel 2 menunjukkan pengangguran terbuka dimana tren jumlah pengangguran dari lulusan diploma dan perguruan tinggi semakin meningkat selama 3 tahun terakhir (2013 – 2015). Bisa jadi musababnya adalah karena kualitas lulusan yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh pemberi kerja atau rasio jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia dengan jumlah lulusan yang dihasilkan jumlahnya tidak seimbang. Tren ini jika bereskalasi secara terus menerus, juga akan menjadi pemicu terjadinya jebakan demografis.

 

Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2012 – 2015

Keterangan 2012 2013 2014 2015
1 Tidak/belum pernah sekolah 85,374 81,432 74,898 55,554
2 Tidak/belum tamat SD 512,041 489,152 389,550 371,542
3 SD 1,452,047 1,347,555 1,229,652 1,004,961
4 SLTP 1,714,776 1,689,643 1,566,838 1,373,919
5 SLTA Umum/SMU 1,867,755 1,925,660 1,962,786 2,280,029
6 SLTA Kejuruan/SMK 1,067,009 1,258,201 1,332,521 1,569,690
7 Akademi/Diploma 200,028 185,103 193,517 251,541
8 Universitas 445,836 434,185 495,143 653,586
Total 7,344,866 7,410,931 7,244,905 7,560,822

Sumber: BPS (2016)

 

Kinerja perekonomian Indonesia yang cenderung melambat dua tahun terakhir ini, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun , sekitar 5.58 % pada tahun 2013, menjadi 5.02% pada tahun 2014 dan 4.73% pada tahun 2015. Fenomena ini membawa imbas terjadinya gelombang PHK pada sejumlah daerah di Indonesia sepanjang tahun 2015 lalu. Angka pengangguran yang semakin tinggi, akan membuat rasio ketergantungan penduduk usia produktif semakin tinggi. Jika kondisi ini terjadi secara berkesinambungan, sekali lagi, bonus demografi yang dimiliki justru akan menjadi masalah bagi pemerintah.

 

Human Development Index

Pada ulasan sebelumnya disebutkan, bonus demografi yang diperoleh negara Indonesia akan tergantung dengan kualitas sumberdaya manusia dan kemampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk usia produktif yang semakin banyak. Kualitas sumberdaya manusia yang baik akan mudah diserap pasar tenaga kerja. Selain itu dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi melalui inovasi produk dan teknologi yang menghasilkan produktifitas. Produktifitas yang tinggi pada akhirnya memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara.

 

Untuk mengukur kualitas sumber daya manusia sebuah negara, setidaknya terdapat dua parameter penting yang dapat digunakan sebagai acuan yaitu pertama adalah Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia dan Literacy Index. Human development index adalah parameter yang dikembangkan untuk mengukur keberhasilan pembangunan sebuah perekonomian dengan parameter yang lebih komprehensif tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi atau GDP.

 

 

Tabel 3: Tren Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia

 Indikator IPM 1990 1995 2000 2005 2010 2011 2013
Rata-rata nilai IPM Dunia 0.594 0.613 0.634 0.660 0.679 0.682 0.702
IPM Indonesia 0.481 0.527 0.543 0.572 0.613 0.617 0.684
Angka harapan hidup 62.1 64 65.7 67.1 68.9 69.4 70.8
Angka harapan tahun sekolah 10.4 10.5 11.1 11.8 13.2 13.2  

12.7

Rata-rata tahun sekolah 3.3 4.2 4.8 5.3 5.8 5.8  

7.5

GNI per kapita (2011 PPP$) 4337 5930 5308 6547 8267 8642  

9446

Rangking IPM 76 104 109 110 125 124 108
Total jumlah negara 130 174 174 177 187 187 187

Sumber: UNDP 2015 in http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/idn.html

 

Jika kita melihat fakta dari data yang ada, peringkat HDI Indonesia tergolong  masih rendah. Dari 187 negara di dunia yang disurvai, Indonesia berada di urutan 108. Sedangkan diantara sesama negara pada wilayah ASEAN, Indonesia berada di peringkat 5, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Meskipun begitu, jika dicermati lebih detail, berbagai indicator HDI di atas, terutama terkait dengan expected years of schooling dan mean years of schooling menunjukkan perkembangan yang meningkat, sehingga peringkat HDI indonesa pada tahun  2010 – 2013 mengalami peningkatan. Akan tetapi, perkembangan yang dialami oleh negara-negara ASEAN lain jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa human capital sebagai modal untuk bersaing dengan negara lain di ASEAN masih sangat rendah, apalagi jika bersaing pada level dunia.

 

Fakta ini didukung oleh data hasil survai BPS. Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS, jumlah penduduk yang mampu mengakses jenjang perguruan tinggi masih sangat sedikit. Menurut data tabel partisipasi sekolah berikut ini, pada tahun 2015  angka partisipasi penduduk pada jenjang pendidikan perguruan tinggi jumlahnya masih sangat kecil yaitu sebesar 17.34 juta jiwa atau sekitar 6.8 % dari total penduduk sekitar 250.11 juta jiwa. Hal yang agak mengkhawatirkan adalah, angka partisipasinya pada tahun 2015 ini jumlahnya menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 18.08 juta jiwa pada tahun 2013 dan 20.18 jiwa pada tahun 2014.

 

Tabel 4. Angka Partisipasi Murni Penduduk Indonesia

Indikator 2012 2013 2014 2015
Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI 92.47 95.52 96.37 96.2
Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs 70.82 73.72 77.43 77.45
Angka Partisipasi Murni (APM) SM/MA 51.76 54.11 59.23 59.45
Angka Partisipasi Murni (APM) PT 13.47 18.08 20.18 17.34

Sumber: BPS (2016)

 

Parameter penting lain untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia adalah index literasi. Index ini tidak hanya diukur berdasarkan kemampuan membaca seseorang, akan tetapi mempertimbangkan seluruh aspek literate behaviour dan infrastruktur pendukung yang disediakan pemerintah. Literate behaviour yang pakai sebagai standar adalah berapakali seseorang mengunjungi perpustakaan, berapa kali dalam sebulan seseorang membaca koran, prosentase penduduk yang lulus perguruan tinggi, serta kemampuan computer seseorang.

 

Hasil penelitian dari tim peneliti pada Central Connecticut State University tentang peringkat literasi negara-negara di dunia menempatkan Indonesia pada peringkat 60 di dunia. Tingkat literasi penduduk Indonesia masih berada dibawah peringkat Thailand, Malaysia dan Singapura. Temuan ini dapat diartikan bahwa frekuensi penduduk Indonesia dalam membaca Koran dan mengunjungi perpustakaan masih sangat rendah. Bisa jadi penyebabnya adalah terkait budaya seseorang atau dikarenakan masih minimnya jumlah perpustakaan public yang memadai yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, jumlah penduduk yang familiar dengan computer masih sedikit. Terakhir, prosentase jumlah penduduk yang menamatkan jenjang perguruan tinggi masih sedikit, dan hal ini diamini oleh data dari BPS yang disajikan di atas.

 

Mencari Alternatif Solusi

Survai membuktikan, negara-negara maju (OECD) yang kini mampu mencapai average labor productity growth yang tinggi, telah sejak lama menginvestasikan banyak uangnya untuk membangun human capital-nya. Berbagai data yang disajikan di atas menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk membangun kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Paparan berikut mencoba menawarkan beberapa alternatif solusi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut.

Alokasi anggaran Pendidikan

Sesuai data pada tabel pengangguran terbuka di atas (tabel. 2), prosentase jumlah penduduk yang tidak lulus SD sampai dengan yang lulus SMP masih cukup tinggi, yaitu sebesar 41 % atau 2.79/7.56 juta jiwa. Untuk meningkatkan jumlah penduduk yang mampu menamatkan pendidikan SMU dan bahkan perguruan tinggi, diperlukan keperpihakan pemerintah melalui kebijakan anggaran di bidang pendidikan, sehingga diharapkan seluruh penduduk Indonesia dapat mengakses secra gratis jenjang pendidikan mulai dari SD sampai dengan SMU.

Tabel 5. Alokasi Anggaran Pendidikan Negara Indonesia (milyar rupiah)

No Tahun  Pendidikan  total Belanja Pemerintah Pusat %
1 2010 90,817.30        697,406.40 13.022
2 2011             97,540.00        883,721.90 11.037
3 2012           105,207.50    1,010,558.20 10.411
4 2013           114,969.10    1,137,162.90 10.110
5 2014           129,353.30                1,280,368.60 10.103
6 2015           119,459.20    1,379,875.30 8.657
7 2016           150,100.00    1,325,551.40 11.324

 

Angka pada tabel diatas dapat diartikan meskipun prosentase anggaran pendidikan dari total belanja pemerintah pusat selama lima tahun terakhir naik dan turun, akan tetapi secara absolut angkanya terus bertambah. Program bantuan sekolah gartis yang sebelumnya hanya sampai dengan jenjang SMP, kini meningkat sampai dengan jenjang SMU. Pertanyaannya adalah, apakah jumlah uang/anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan berpengaruh terhadap jumlah penduduk yang lulus pada jenjang pendidikan yang disubsidi, dan apakah juga berpengaruh pada penghasilan seseorang di kemudian hari?

Duflo (2001) dalam papernya yang berjudul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia,“ mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap program SD Inpres yang dimulai tahun 1974 sampai dengan 1979. Periode dimana kurang lebih 61.000 gedung SD baru dibangun dengan menelan biaya 700 juta US dolar atau setara dengan 1.5% GDP Indonesia saat itu- tahun 1973. Terungkap fakta program inpres tersebut berkorelasi positif terhadap lama pendidikan yang dirasakan oleh penduduk Indonesia. Sebelumnya masih banyak penduduk yang tidak menamatkan jenjang SD, setelah propram inpres dijalankan selama 10 tahun, angkanya meningkat dari 69 % menjadi 83 % dari total populasi pada tahun 1983. Selain itu, dengan menggunakan data pada tahun 1995, dua dekade setelah program inpres, ditemukan fakta bahwa terdapat peningkatan gaji secara signifikan (27%) yang diperoleh penduduk yang menyelesaikan pendidikannya pada saat program inpres tersebut dijalankan.

Sementara itu Sulistyaningrum (2016) dalam penelitiannya mengenai dampak kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menemukan, terdapat korelasi yang positif antara program BOS terhadap kualitas lulusan yang tercermin pada test score (hasil ujian nasional). Siswa yang mendapatkan BOS akan lebih tinggi nilai ujian nasionalnya secara rata-rata sebesar 0.3, dengan skala nilai 0-10. Namun demikian, program BOS tidak terlalu memberikan dampak bagi siswa yang sangat miskin, karena besarnya bantuan BOS untuk siswa SD yang pada saat awal dilaksanakan tahun 2005-2009 adalah hanya sebesar Rp. 235.000 per tahun per siswa, dan berubah menjadi Rp 400.000 per tahun per siswa pada tahun 2009, dirasakan hanya cukup untuk membiaya biaya formal sekolah seperti SPP, biaya ujian, biaya registrasi, dan seragam sekolah. Sedangkan biaya pendidikan lainnya yang sebenarnya juga cukup besar seperti biaya transportasi, uang saku untuk makan dirasa belum cukup. Sementara itu siswa miskin terutama yang di pedesaan, tinggalnya agak jauh dari lokasi sekolah, harus mengeluarkan biaya transportasi setiap harinya. Untuk itu perlu dipertimbangkan kembali alokasi dari besarnya bantuan BOS tersebut per siswa, terutama siswa miskin.

 

Kurikulum Pendidikan yang Berbasis Experential Learning

Beberapa waktu yang lalu, kita semua dibuat takjub oleh dua kejadian yang mungkin agak mengguncang dunia pendidikan kita. Kejadian pertama berasal dari dua orang bersaudara yang hanya menamatkan pendidikan SMA dari Salatiga yang bernama Arfian Fuadi dan Arie Kurniawan yang berhasil menyabet juara pertama dalam “3D Printing Challenge” yang diadakan General Electric (GE) tahun 2014. Mereka memenangkan lomba desain jet engine bracket dengan mengalahkan para insinyur  lulusan universitas terbaik dari seluruh dunia. Kejadian kedua berasal dari Karanganyar Jawa tengah, seorang pemuda bernama Muhammad Kusrin yang hanya mengenyam pendidikan SD mampu merakit dan memproduksi televisi, justru divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negri Karanganyar. Mereka tidak hanya berhasil mengatasi sekat pendidikan formal, akan tetapi juga mampu mempekerjakan tetangga sekitarnya untuk menjadi produktif. Pesan moral dari kejadian ini adalah, belajar dengan praktik kerja lansung disertai usaha pantang menyerah akan mengantarkan seseorang mampu menciptakan karya padat teknologi yang luar biasa. Kejadian ini juga memberi pesan kepada pemerintah untuk mendesain kurikulum pendidikan yang lebih tepat untuk menciptakan lulusan yang handal.

Ekonomi Kreatif dan Sharing Economy

Kontroversi mengenai gojek dan uber yang menyita perhatian pemerintah pada beberapa hari yang lalu menyisakan banyak pelajaran bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah dan dunia usaha. Pertama, dengan memanfaatkan informasi dan teknologi komunikasi, ojek konvensional yang semula merupakan produk jasa biasa, dapat disulap menjadi komoditas yang kolosal. Kedua, dengan kreativitas ide di bidang informasi teknologi, aplikasi pemesanan ojek dan taksi mampu menciptakan banyak sekali lapangan kerja bagi pemilik kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat.

Ekonomi kreatif lain yang mampu menyerap tenaga kerja dengan jumlah banyak adalah industri pariwisata. Pada saat ini banyak sekali dijumpai konsep pariwisata denagn berbagai macam pendekatan, mulai dari ecotourism yang memadukan wisata dan keunikan kekayaan alam, etnotourism yang memadukan wisata dengan kekayaan budaya khas lokal, dan lain sebagainya. Booming industri pariwisata ini tak lepas dari aspek kekayaan ide dan penyebarannya dibantu kecanggihan teknologi informasi. Banyuwangi yang semula merupakan kawasan yang identik dengan kemiskinan dan ilmu santet, secara revolusioner mampu keluar sebagai kabupaten dengan tingkat pengangguran terendah di Jawa Timur. Banyuwangi kini tidak lagi identik dengan ilmu santet, tapi identik dengan kejuaraan sepeda tour de ijen yang menjual kawasan gunung ijen dengan kawah birunya yang terkenal. Dengan bantuan teknologi IT, penduduk dari berbagai penjuru dunia dan domestik antusias untuk menyaksikan Banyuwangi Karnival, atau buah durian merah khas Banyuwangi.

 

Kesimpulan

Beberapa indikator terkait dengan kualitas sumberdaya manusia di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang banyak untuk menaikkan kualitas sumberdaya manusia penduduknya. Jika pemerintah mampu menaikkan kualitas human capital penduduknya, beberapa masalah akan dapat dipecahkan sekaligus. Kualitas SDM yang baik, akan mendorong terciptanya inovasi dan produktivitas tenaga kerja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan perusahaan dan perekonomian. Selain itu, SDM yang mumpuni akan memudahkan pencari tenaga kerja untuk menyerap angkatan kerja yang dihasilkan dari institusi pendidikan. Pada gilirannya, pembangunan SDM yang unggul akan mengurangi lingkaran setan kemiskinan, karena dengan SDM unggul membantu merubah nasib penduduk yang semula berada dalam kategori miskin, memperoleh pekerjaan dan upah yang layak yang dapat mengantarkannya ke jenjang strata sosial yang lebih baik. Dampak lain adalah bonus demografi yang dialami negara kita dapat diarahkan menjadi berkah bagi negara. Karena dengan jumlah penduduk usia produktif yang lebih banyak, jika dibarengi dengan kualitas SDM yang baik akan memudahkannya memperoleh akses pekerjaan. Muaranya, jika kebijakan terkait pembangunan kualitas sumberdaya manusia dibuat secara tepat dan benar, maka competitive advantage bangsa Indonesia akan semakin meningkat sebagai modal untuk bersaing dalam arus liberasi perdagangan dan perekonomian dunia.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai serius untuk menggarap sektor ekonomi kreatif dan teknologi informasi. Fakta telah membuktikan bahwa dengan ekonomi kreatif dibantu dengan teknologi informasi mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan secara dramatis mampu mengentaskan banyak penduduk dari garis kemiskinan.

 

 

Referensi

Drucker, P. F. (1993). Post Capitalist Society. New York: Roudledge.

Duflo, E. (2001). Schooling and Labor Market Consequensces of School Cosntruction in Indonesia. American Economic Review.

Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontent. W.W. Norton & Company.

Sulistyaningrum, E. (2016). Impact Evaluation of The School operational Assistance Program Using Matching Method. Journal of Indonesian Economy and Business, vol 31, no 1.

www.bps.go.id, Badan Pusat Statistik Indonesia

www.bappenas.go.id. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.

www.ccsu.edu

www.oecd.org


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.