Home » Id » Opini » The Federal Funds Rate, BI, dan Siklus Bisnis*

The Federal Funds Rate, BI, dan Siklus Bisnis*

“Mengatur suku bunga itu bagai menginjak pedal gas mobil.”

Mengapa suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) masih tetap 7.5 persen, sejak Februari 2015, sementara pemerintah dan pelaku bisnis telah lama menantikan BI Rate turun? Inilah pertanyaan yang beberapa waktu belakangan ini beredar-edar dalam pertemuan-pertemuan di kalangan para pengusaha, perbankan, lembaga keuangan, pemerintah, maupun akademisi.
Secara intuitif, jawaban dari pertanyaan itu saya nilai adalah karena saat ini, magnet terkuat perekonomian dunia masih berpusat di FOMC (Federal Open Market Committee). FOMC ini adalah sebuah sistem pusat di dalam institusi badan kebijakan moneter the Federal Reserve System (The Fed) di Amerika. Adalah Janet L. Yellen, gubernur bank sentral Amerika (chair of the Board of Governors pada Federal Reserve System) yang menjadi pusat magnetnya. Dr. Yellen menjabat gubernur bank sentral Amerika sejak 3 Februari 2014, dan sekaligus juga menjadi chair pada FOMC. Dr. Yellen beberapa bulan terakhir ini telah menyatakan bahwa policy normalization akan terus diimplementasikan oleh The Fed, sejurus dengan membaiknya perekonomian Amerika.

Sebelum membahas lebih jauh mengapa perlu dilakukan normalisasi kebijakan suku bunga, terlebih dahulu harus dipahami, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan the Federal Funds Rate (FFR), apa yang mesti dilakukan oleh Bank Indonesia merespon perubahannya, bagaimana dampak shock FFR pada siklus bisnis dan utamanya terhadap iklim bisnis di Indonesia?

Federal Funds Rate (FFR) adalah suku bunga antarbank sebagai biaya pinjam-meminjam cadangan bank (bank reserves) yang ditempatkan oleh perbankan umum pada bank sentral Amerika dalam durasi semalam (overnight). Proses pinjam-meminjam ini dilakukan tanpa agunan (non-collateralized). Biasanya, lembaga keuangan dengan saldo berlebih (surplus) meminjamkan saldo rekening mereka kepada lembaga yang kekurangan (deficit).

Federal Funds Rate ini merupakan suku bunga acuan yang sangat penting bagi pelaku pasar finansial, baik di Amerika maupun di seluruh penjuru negeri. Pelaku di pasar federal funds ini antara lain adalah perbankan komersial, lembaga simpan-pinjam, perusahaan yang disponsori oleh pemerintah, cabang bank asing yang beroperasi di Amerika, badan federal, dan perusahaan sekuritas. Lembaga keuangan yang size-nya relatif kecil, dan yang memiliki akumulasi excess reserves melebihi peraturan, bisa meminjamkan cadangan bank mereka kepada bank-bank regional, bank-bank besar, misalnya kepada J.P. Morgan dan Citibank, serta bank-bank asing yang beroperasi di Amerika, selama semalam. Agen-agen federal biasanya juga memanfaatkan dana idle-nya untuk dipinjamkan ke pasar Federal Funds.

Dari sisi histori, data perkembangan FFR efektif (deal antarbank dengan acuan FFR) yang dipublikasikan oleh Board of Governors, Federal Reserves System, per 1 Juli 1954 sampai dengan 1 Januari 2016, dipaparkan pada grafik berikut ini.

 

gambar-opini-edhie-ffr

 

Disamping untuk memaksimalkan employment dan mengendalikan inflasi, the Fed menggunakan FFR sebagai instrumen untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi. Makin rendah FFR, maka makin longgar likuiditas, sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat diakselerasi dengan suku bunga rendah ini. Karena itu, FFR menjadi variabel suku bunga yang paling penting dibandingkan dengan seluruh jenis suku bunga yang lain, dan telah terbukti, bahwa pengaruh FFR menyebar mempengaruhi perekonomian seluruh penjuru dunia.

Sektor perbankan Amerika menggunakan FFR sebagai acuan bagi semua suku bunga jangka pendek. Termasuk yang menjadikan FFR sebagai anchor adalah LIBOR (London Interbank Offer Rate), yang merupakan suku bunga antarbank satu bulanan, tiga bulanan, enam bulanan, satu tahunan pinjaman, dan suku bunga prime rate (suku bunga kepada pelanggan prioritas). Begitu pula FFR ini mempengaruhi tingkat bunga deposito, kredit, kartu kredit, dan suku bunga hipotik. Makin tinggi FFR, maka makin tinggi pula semua jenis bunga perbankan di Amerika, demikian pula sebaliknya.

Lalu pertanyaan lain muncul, mengapa Amerika melakukan normalisasi kebijakan suku bunga FFR (target range 0 persen sampai 0,25 persen, lalu naik menjadi 0,25 persen sampai 0,5 persen)? Pada awalnya, jawabannya terkait dengan melemahnya perekonomian Amerika karena krisis yang disebabkan oleh bubble harga di sektor perumahan pada tahun 2008, yang diantisipasi oleh The Fed dengan beberapa kebijakan moneter utama, yakni: (a) pada saat Ben Bernanke masih menjabat sebagai gubernur bank sentral Amerika, suku bunga FFR yang semula di atas 5 persen (cukup tinggi, meski masih kalah tinggi dibandingkan dengan suku bunga di jaman Paul Volcker berkuasa, sekitar 20 persen. Suku bunga yang sangat tinggi ini digunakan oleh Paul untuk memerangi inflasi). Lalu di saat Ben berkuasa, ia menurunkan secara agresif FFR sebanyak 10 kali dalam 14 bulan, hingga FFR mencapai titik terendah hampir 0 persen.

Kebijakan suku bunga rendah ini dilakukan oleh Ben untuk melonggarkan likuiditas, yang diharapkan mampu mendorong permintaan domestik, lalu kemudian harapannya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun ternyata, suku bunga yang rendah tersebut tak mampu menahan gelombang krisis yang semakin memuncak, hingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi Amerika menjadi negatif dan pengangguran mencapai 10 persen. Situasi ini dirasakan oleh masyarakat Amerika sebagai cukup mengerikan.

Kedua, kebijakan utama lainnya adalah (b) pelonggaran jumlah uang beredar di Amerika yang bertujuan untuk mendorong perekonomian melalui relaksasi moneter. Dana dari kebijakan QE (Quantitative Easing) ini digunakan untuk membeli treasury bills dan treasury bonds, serta surat utang swasta. Usaha ini semata-mata untuk menjaga stabilitas harga surat utang. Karena itu, kebijakan ini sebenarnya berdampak buruk kepada The Fed, sehingga kalau kita cermati, maka terlihat bahwa neraca The Fed penuh dengan surat utang, sehingga secara akuntansi, menjadikannya “kurang sehat”.

Meskipun demikian, setelah perekonomian Amerika membaik karena dana stimulus QE ini, mereka mampu menambah ekspor ke beberapa negara di Asia-Pasifik. Bahkan ekonom-ekonom dari institusi Pantheon mengklaim bahwa prestasi ini sebagai yang terbaik memulihkan perekonomian Amerika secara lebih cepat. Karena itu, normalisasi suku bunga dianggap merupakan kebijakan yang tepat, yang harapannya bisa balik lagi ke tingkat sekitar 2 persen sebagaimana tingkat suku bunga yang oleh John B. Taylor (Mary and Robert Raymond Professor of Economics at Stanford University), dinamai sebagai natural rate of interest. Tetapi, kita juga menyaksikan bahwa IMF melalui Managing Director-nya, Christine Lagarde, teman dekat Janet, mengingatkan bahwa janganlah tergesa-gesa menaikkan FFR, apalagi dengan magnitude yang tinggi, karena akan cenderung menyebabkan destabilitas di dalam pasar finansial internasional, terutama di emerging markets. Kalau destabilitas ini benar-benar terjadi secara internasional, maka akan susah mengatasinya, dan biaya kerusakannya pasti akan sangat mahal. Kepentingan Christine yang membawa bendera IMF tentu jauh lebih luas dibandingkan Janet yang hanya memikirkan Amerika. Lalu, Christine bersama tim IMF menyarankan bahwa, jika the Fed akan menaikkan FFR secara tajam, maka lakukanlah di tahun 2016.

Alasan ketiga mengapa FFR dinaikkan adalah (c) karena terjadi perkembangan yang sangat bagus dan cepat dalam perekonomian Amerika, terutama di pasar tenaga kerja yang menyerap sekitar 218 ribu tenaga kerja per bulan, dimana ini adalah dua kali lipat lebih besar daripada periode yang sama setahun sebelumnya. Konsekuensi penyerapan tenaga kerja secara massif ini adalah pengangguran yang terus menurun, menjadi hanya sekitar 5 persen. Lalu alasan lainnya adalah (d) karena normalisasi ini merupakan refleksi keyakinan FOMC terhadap kesinambungan perbaikan perekonomian, khususnya bakal tercapainya dua target utama The Fed, yaitu maximum employment dan tingkat inflasi 2 persen disebutkan on the right track, serta FOMC berjanji akan terus memonitor dan mengawal progres terhadap kedua tujuan ini.

Secara demikian, saya memandang bahwa di awal tahun 2016 ini, Bank Indonesia masih tetap perlu waspada dan berhati-hati mengendalikan stabilitas sistem keuangan republik ini. Sekali-sekali jangan sampai keliru mengambil kebijakan, yang akan direspon secara salah oleh pelaku di financial market dan dampaknya bisa buruk dan berkepanjangan, karena berbeda dengan sektor riil, pasar keuangan memiliki beberapa karakteristik yang sangat idiosinkratik, yang antara lain adalah: leveraging, leptokurtic, dan volatility clustering. Jadi, saya setuju bahwa BI masih membutuhkan waktu sedikit lagi untuk tetap menjaga tingkat kewaspadaan di level yang aman untuk mengendalikan stabilitas sistem keuangan.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dampak shock FFR pada siklus bisnis, dan utamanya terhadap iklim bisnis di Indonesia? Dalam seminal paper yang berjudul The Federal Funds Rate and the Channels of Monetary Transmission (AER, Vol 82, Issue 4, September 1992), Ben Bernanke, mantan Gubernur the Fed dan Alan S. Blinder, profesor ekonomi pada Princeton University, memaparkan bahwa FFR adalah instrumen kebijakan moneter yang sangat informatif mengenai bagaimana perilaku beberapa variabel ekonomi makro di masa yang akan datang, karena FFR secara sensitif mampu mencatat shocks terhadap supply cadangan perbankan yang ditempatkan pada the Fed, sehingga pada akhirnya keduanya menyimpulkan bahwa FFR adalah indikator yang cukup tepat digunakan sebagai monetary policy action.

Beberapa profesor ekonomi lainnya menyatakan bahwa, dibandingkan dengan monetary aggregate (jumlah uang beredar), suku bunga (FFR, misalnya) lebih efektif dijadikan sebagai policy indicator (lihat misalnya kajian empiris maupun teoritis oleh Bernanke (1992); Bernanke (1986), McCallum (1983), dan King (1982), di antara beberapa artikel yang lain). Sebagian besar mereka bersepakat bahwa perubahan kebijakan moneter terjadi ‘mendahului’ perubahan pada variabel-variabel ekonomi di sektor riil. Belakangan ini, kebijakan FFR yang dilengkapi oleh the Fed dengan QE dapat memberikan stimulus kepada siklus bisnis, dan terbukti lebih kuat pengaruhnya kepada sektor riil.

Khususnnya terhadap shock FFR, hasil studi McCarthy dan Zakrajˇsek (2003) menghitung bahwa simulasi impulse (shock) sebesar 50 bps pada FFR direspon oleh penjualan perusahaan (sales) barang-barang manufaktur yang bersifat durables maksimal naik sebesar 0.5 persen dalam 3 bulan pertama setelah shock. Sedangkan, non-durables naik maksimal 0.2 persen pada 6 bulan pertama. Sementara itu, respon produk akhir di gudang (finished good inventories) jenis durables maksimal naik sekitar 0.4 persen dalam 12 bulan pertama setelah terjadinya shock FFR, dan untuk non-durables, naik sekitar 0.3 persen pada 6 bulan pertama. Seandainya hasil kajian ini masih konsisten sampai sekarang, maka kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Dr. Yellen beberapa waktu yang lalu, sudah tepat. Kenaikan kinerja ekonomi yang ditunjukkan oleh sales maupun finished good inventories, baik barang-barang manufaktur yang tahan lama maupun yang tidak tahan lama, akan memperbaiki kondisi ekonomi riil. Inilah yang membuat perekonomian Amerika akhir-akhir ini menjadi lebih confident. Dan selanjutnya adalah bagaimana dampaknya kepada perekonomian Indonesia?

Hasil riset yang dipublikasikan pada Journal of International Financial Markets, Institutions & Money oleh Kishor dan Marfatia (2012), dengan periode observasi dari 1994-2008, menunjukkan bahwa penurunan FFR sebesar 25 bps akan menaikkan IHSG sebesar 1,7 persen. Sebaliknya, kebijakan kenaikan FFR sebesar 25 bps 16 Desember yang lalu, ternyata sehari setelahnya diikuti oleh kenaikan IHSG sebesar 1,6 persen, lalu juga sehari setelahnya Rupiah menguat sebesar 1,5 persen terhadap dolar Amerika. Jika sampai 6 Januari 2016, dibandingkan posisi saat pengumuman kenaikan FFR (16/12/2015), IHSG menguat 1,7 persen dan Rupiah menguat 0,82 persen. Dengan tetap kuatnya Rupiah dan IHSG, harapannya, tingkat kepercayaan pelaku ekonomi meningkat dan berimbas ke sektor riil yang semakin mantap, apalagi didukung dengan paket-paket kebijakan yang semakin implementatif.

Karena itu, saya membayangkan pada 2016 ini siklus bisnis dan ekonomi Indonesia akan menunjukkan peningkatan (upward movement) dengan external shock terutama FFR yang minimal (warranted only gradual increases), biaya produksi menurun (didorong karena harga BBM turun).

Karena itu, setelah sekitar 1 tahun sangat berhat-hati dan selalu mempertimbangkan data (data dependent) dalam mengambil keputusan, Bank Indonesia telah memiliki ruang gerak yang cukup untuk mempertimbangkan perubahan suku bunga BI Rate. Demikian pula, karena di tahun baru selalu muncul inspirasi tingginya produktivitas, maka memasuki 2016 ini, adalah sangat elegan beberapa hari yang lalu BI menurunkan BI Rate. Penurunan suku bunga ini akan direspon positif oleh pengusaha, pemerintah, dan kalangan akademisi, sehingga diharapkan dukungan kuat kepada BI dan Pemerintah akan menguat sehingga meningkatkan secara lebih nyata kepercayaan masyarakat.

Sekali lagi, mengatur suku bunga acuan (BI Rate, misalnya) itu bagaikan menginjak pedal gas. Bila BI menekan pedal suku bunga ke bawah, mesin ekonomi akan melaju makin kencang (high economic growth). Sebaliknya, jika pedal suku bunga dilepas (ke atas), maka mobil akan melambat. Meski melaju kencang, namun jangan sampai mesin mobil terlalu kepanasan (overheated inflation) dan jangan pula kehabisan bahan bakar (capital flight). Dengan driver yang mahir, mestinya mobil akan melaju kencang tetapi stabil.

 

*) Versi lain dimuat pada Majalah SWA Edisi 07/XXXII/31 Maret 2016 – 13 April 2016, Halaman 18 – 19


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.