Home » Id » Opini » Belum Saatnya Melonggarkan Likuiditas

Belum Saatnya Melonggarkan Likuiditas

Pada tanggal 2 Februari 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada bulan Januari 2015 terjadi deflasi sebesar -0,24%. Selang beberapa hari kemudian BPS mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal IV-2014, yaitu sebesar 5,01%. Bila dihitung secara tahunan, pertumbuhan ekonomi tahun 2014 hanya sebesar 5,02%—paling rendah sejak tahun 2010. Melihat gabungan antara deflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, sebagian ekonom kemudian mengatakan bahwa sudah saatnya suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate diturunkan. Apakah benar demikian?

Posisi para ekonom ini secara umum didasarkan pada tiga argumen. Pertama, bahwa deflasi sudah terjadi; sehingga, tak perlu lagi suku bunga tinggi. Seperti diketahui, suku bunga tinggi biasanya diterapkan untuk menekan inflasi. Kedua, mereka melihat tren kebijakan moneter di Eropa dan Jepang, dimana, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, respon kebijakan moneternya adalah menurunkan suku bunga. Ini sesuai dengan resep Keynesian economics: di saat sulit, kebijakan semestinya bersifat lean against the wind. Dengan semakin kuatnya tanda-tanda ekonomi Indonesia akan melambat di tahun ini, kebijakan penurunan suku bunga dianggap dapat menstimuli pertumbuhan ekonomi melakui ekspansi kredit dan investasi.

Ketiga, para ekonom pro penurunan suku bunga ini berargumen bahwa kebijakan suku bunga tinggi sudah berlangsung cukup lama dan telah menekan permintaan agregat. Seperti diketahui, BI mulai menaikkan BI Rate sejak 13 Juni 2013 dari 5,75% secara bertahap hingga ke tingkat 7,75% pada 18 November 2014. Kenaikan tingkat suku bunga ini dipicu antara lain oleh dimulainya tapering tantrum pada Mei 2013 dan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan. Karena suku bunga tinggi, permintaan agregat turun, harga-harga ikut turun dan pertumbuhan ekonomi turun.

Meskipun tampak meyakinkan, argumen-argumen tersebut lemah. Pertama, meskipun Januari 2015 terjadi deflasi, namun satu-satunya sektor penyumbang deflasi adalah sektor transpor, komunikasi dan jasa keuangan (ketiga sektor ini digabung menjadi satu dalam laporan BPS). Deflasi sektor transpor ini (sebesar -4,04%) jelas disebabkan oleh penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang pada Januari lalu turun lebih dari 20%. Namun ternyata, penyesuaian harga ke bawah akibat penurunan harga BBM ini belum atau tidak terjadi di sektor lainnya. Yang ada justru semua sektor mulai dari bahan makanan hingga pendidikan mengalami kenaikan harga antara 0,26 hingga 0,85% dari Desember 2014 ke Januari 2015. Jadi, event deflasi sebulan kemarin tidak cukup untuk menjadi bukti bahwa deflationary spiral mulai terjadi.

Argumen kedua, juga tidak tepat. Apa yang Bank Sentral Eropa dan Jepang lakukan, tidak serta merta dapat di-copy and paste di Indonesia hanya karena kita sama-sama mengalami perlambatan ekonomi seperti mereka. Indonesia adalah small open economy yang mengalami defisit neraca transaksi berjalan selama 12 kuartal terakhir dan inflasi tinggi (rata-rata 6,36% per tahun selama 2010-2014). Eropa dan Jepang sebaliknya adalah large open economy (dengan segala privilege-nya). Mata uang mereka adalah bagian dari cadangan devisa bank sentral seluruh dunia. Sudah begitu, Euro area dan Jepang pada tahun 2014 lalu malah mengalami surplus neraca transaksi berjalan, masing-masing sebesar 2,4% dan 0,4% terhadap GDP dan inflasi di Euro area sangat rendah, hanya 0,4%; sedangkan di Jepang inflasi “cukup tinggi” (untuk ukuran Jepang) yaitu 2,7%—itupun akibat kebijakan ekspansioner Bank of Japan sejak April 2014.

Sementara itu argumen ketiga lemah karena secara implisit sepertinya mengasumsikan bahwa suku bunga tinggi adalah satu-satunya faktor yang memperlambat ekonomi. Padahal, pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok (yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia) dan perekonomian global juga melambat. Data BPS jelas menunjukkan bahwa yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2014 anjlok menjadi 5,02% adalah ekspor dan pengeluaran pemerintah, yang masing-masing hanya tumbuh sebesar 1,02 dan 1,98%; sedangkan konsumsi, meskipun sedikit melambat, namun masih tumbuh di atas 5%. Teori memang menghipotesiskan adanya hubungan negatif antara investasi dan suku bunga. Namun, hubungan ini terjadi dalam situasi ceteris paribus. Menurunkan BI Rate saat ini, ketika aktivitas ekonomi melambat, belum tentu dapat menaikkan kredit atau investasi. Karena, para pengusaha barangkali akan khawatir dengan return dari investasi ini ketika permintaan agregat melemah.

Merekomendasikan agar BI Rate segera diturunkan hanya dengan melihat deflasi Januari dan pertumbuhan yang melambat, dengan demikian, terlalu prematur dan reaktif. Dalam situasi tertentu, perlambatan ekonomi bisa jadi adalah optimal. Artinya, perlambatan permintaan atau produksi barangkali adalah respon optimal dari para pelaku ekonomi, given konteks atau situasi yang mereka hadapi. Memaksakan perekonomian agar tumbuh tinggi ketika konteks ekonominya tidak kompatibel, justru dapat membawa pada fluktuasi yang tidak perlu, bahkan pada boom-bust cycle alias krisis. Menurunkan BI Rate ketika pasar sedang khawatir dengan meningkatnya Fed Fund target juga dapat menimbulkan capital reversal yang berlebihan karena pasar membaca BI mengubah policy stance-nya dari stability (external balance) ke growth (internal balance).

Adalah normal, pemerintah—yang berisi para politisi—menghendaki pertumbuhan ekonomi tinggi. Karena, pertumbuhan ekonomi does count dalam Pemilihan Umum. Karena itulah wajar bila posisi kebijakan fiskal seringkali adalah ekspansif. Defisit fiskal kemudian menjadi hal yang lumrah (padahal semestinya dalam anggaran, harus ada siklus surplus-defisit). Bila defisit anggaran menjadi norm, ini berbahaya. Karena, utang pemerintah bisa mendesak keluar utang swasta (atau biasa disebut sebagai crowding out) dan bisa menjadi sumber kerentanan eksternal.

Karena “sifat alamiah” dari pemerintah inilah, maka ilmu ekonomi menyarankan agar otoritas moneter dipisahkan dari pemerintah (baca: dari politik). Institutional setting berupa pemisahan otoritas kebijakan fiskal dan moneter ini sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara growth dan stability. Pemisahan ini tidak berarti bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus saling bertolak belakang—ibaratnya pemerintah injak gas, dan BI injak rem—namun lebih pada pemberian kewenangan pada masing-masing pihak untuk mengambil kebijakan yang dianggapnya terbaik. Pengalaman Indonesia ketika menghadapi krisis finansial tahun 2008 dimana kebijakan fiskal dan moneter bergerak pada arah yang sama menjadi salah satu bukti bahwa antara fiskal dan moneter tidak selalu bertolak belakang. Begitu juga dengan pengalaman buruk di masa lalu ketika kedua otoritas ini digabung hingga berujung pada krisis 1997-1998 juga semestinya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Namun karena, sekali lagi, nature dari pemerintah adalah mengejar growth, maka tak ayal Bank Sentral seringkali berfungsi menjadi pengerem. Mengusung kebijakan yang mengerem pertumbuhan ekonomi—ketika semua pelaku ekonomi apakah itu produsen, konsumen, investor maupun pemerintah, menginginkan adanya pertumbuhan tinggi—memang tidak populer. Itulah kenapa literatur seringkali mengatakan central banker haruslah seorang yang konservatif. Namun, sekali lagi, ini perlu dilakukan agar inflasi (overheating) dan menggelembungnya harga aset (asset price bubble) dapat dicegah.

Merekomendasikan agar BI Rate segera diturunkan—pada saat ini—dapat juga meningkatkan kerentanan. Pasar akan melihat bahwa Bank Indonesia dovish alias pro-growth. Masalahnya adalah, mandat utama yang diberikan kepada Bank Indonesia bukanlah untuk mengejar growth, namun menjaga stabilitas. Dalam situasi seperti sekarang dimana, (i) inflasi inti (yang merupakan komponen yang bersifat persisten akibat dari ekspektasi inflasi produsen dan konsumen) masih sekitar 4,44% per tahun, (ii) ekspor melemah (baca: suplai dolar seret), (iii) investor global sedang galau dalam menempatkan dana mereka, (iv) Rupiah sudah terdepresiasi 3,44% sejak awal tahun hingga 6 Maret ini, kebijakan yang konservatif atau hati-hati menjadi dominant strategy; sebaliknya, kebijakan yang akomodatif terhadap growth bisa dibaca sebagai sebuah inkonsistensi atau kecerobohan.

Inkonsistensi, karena pasar baru saja melihat BI menaikkan BI Rate pada 18 November 2014, sebagai respon atas kenaikan harga BBM. Karena outside lag kebijakan moneter cenderung lama, pasar barangkali bingung bila BI terlalu cepat menurunkan suku bunga—apalagi atas dasar realisasi deflasi 1 bulan. Bisa jadi ceroboh, karena pasar mungkin overreact atas keputusan ini. Karena, selain galau, marjin mereka makin tipis bila Rupiah terdepresiasi lebih lanjut. Yang paling parah, pasar juga bisa berspekulasi apakah BI dipengaruhi oleh pihak lain atau tidak. Dengan semua risiko ini (berikut efektivitasnya dalam mengungkit pertumbuhan yang masih diragukan), sepertinya BI rate belum saatnya untuk diturunkan dalam waktu dekat.

 

Daftar Pustaka
Prubasari, Denni P. 2015. ‘Quo Vadis Suku Bunga Acuan Bank Indonesia’. Kompas.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.