Realisasi APBN-P 2015 akan menjadi salah satu indikator yang dapat mengatakan pemerintahan Jokowi-JK memiliki kemampuan untuk merencanakan sekaligus mengeksekusi anggaran atau tidak. Seperti diketahui, pemerintahan Jokowi-JK mengawali tahun 2015 dengan cara yang kurang mulus; yaitu mereka perlu mengubah APBN 2015 yang disusun oleh pemerintahan SBY-Boediono. Karena itu, APBN-P 2015 baru dapat disepakati pada 13 Februari 2015.
Sudah benar subsidi BBM dipangkas dan penghematannya dialokasikan ke belanja infrastruktur, transfer daerah, dan perlindungan sosial. Namun, target pajak yang naik 19,5 persen dari Rp1.246 triliun pada 2014 menjadi Rp1.489 triliun pada 2015—di tengah lesunya perekonomian—mencemaskan. Dengan target ini, belanja negara menjadi ambisius (Rp 1.984 triliun), meski lebih kecil dibandingkan APBN 2015.
Target pajak yang ambisius itu kini menuai masalah. Sampai dengan 30 Oktober 2015 realisasi penerimaan pajak (minus bea dan cukai) hanya mencapai Rp758 triliun, atau 58 persen dari target. Dengan sisa 2 bulan pada tahun 2015 ini, shortfall pajak bisa mencapai Rp293 triliun lebih.
Bila shortfall ini ditambahkan pada defisit APBN-P 2015 yang berjumlah Rp 222 triliun, tanpa adanya pengurangan belanja, kebutuhan pembiayaan bisa mencapai Rp515 triliun. Dengan pertumbuhan PDB riil tahun ini yang diperkirakan hanya mencapai 4,7 persen dan inflasi 3 persen, PDB nominal diperkirakan akan tumbuh 7,7 persen pada 2015. Jika PDB nominal pada 2014 sejumlah Rp10.543 triliun, maka pada tahun 2015, PDB nominal Indonesia akan menjadi Rp11.354,8 triliun. Dengan demikian, rasio defisit fiskal terhadap PDB bisa membengkak dari 1,9 persen dalam APBN-P 2015 menjadi 4,5 persen dari PDB (Rp515 tiliun dibagi Rp11.354,8 triliun). Dengan angka ini, pemerintah bisa jadi melanggar undang-undang yang membatasi defisit fiskal, baik pusat maupun daerah, maksimal sebesar 3 persen dari PDB.
Tak ayal, Pemerintah “terpaksa” mengerem belanja. Terkait ini, meski tidak diakui, lambatnya penyerapan belanja modal menjadi blessing in disguise. Bila defisit fiskal dibatasi 2,7 persen dari PDB, ini berarti secara nominal defisit tak bisa melebihi Rp306 triliun. Bila defisit dalam APBN-P 2015 sebesar Rp222 triliun, ini berarti pemerintah harus berhemat sebesar Rp84 triliun. Angka ini bisa dicapai jika penyerapan belanja tahun ini tak lebih dari 95,7 persen. Akrobat keuangan seperti ini berbahaya karena bisa-bisa pemerintah tekor dan didikte oleh pasar dengan menuntut bunga tinggi—belum termasuk dampaknya pada penilaian dari lembaga pemeringkat.
Karena pemerintah tidak mungkin memotong belanja belanja pegawai, pembayaran utang (beserta bunganya), subsidi, dan transfer ke daerah, maka penghematan pengeluaran sangat mungkin dilakukan dengan memotong belanja modal sebesar 30 persen. Masalahnya adalah pengurangan belanja modal tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pembangunan infrastruktur (yang merupakan bagian dari belanja modal) memberikan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.