Nilai rupiah menurun
Tingginya tekanan inflasi di Indonesia seringkali dipicu oleh faktor non-moneter seperti infrastruktur yang buruk, banjir, serta bencana alam. Serangkaian kejadian ini mendorong naiknya harga pangan, akibatnya inflasi Januari 2014 melonjak dibandingkan inflasi Desember 2013 yang tercatat sebesar 8,08% (y-o-y). Selain itu, naiknya harga komoditi yang diatur pemerintah—seperti naiknya harga gas LPG di awal tahun—turut mendorong terjadinya lonjakan inflasi.
Pada bulan Februari 2014, tingkat inflasi mampu ditekan pemerintah, tercatat sebesar 7,75% (y-o-y), menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,22% (y-o-y). Terkendalinya inflasi di bulan Februari 2014 tidak lepas dari upaya pemerintah menerapkan kebijakan kuota impor pangan dengan sistem buka tutup yang masih diberlakukan hingga saat ini. Kuota impor pangan terus dijalankan hingga harga-harga cukup stabil. Jika pasokan pangan telah mencukupi, kuota impor kembali ditutup.
Gambar 15: Tingkat Inflasi, Februari 2011 – Februari 2014 (y-o-y, dalam %)
Inflasi Februari 2014 mencapai 7,75% (y-o-y)
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Untuk mengendalikan tekanan inflasi, pemerintah harus menjaga distribusi pangan agar tidak terganggu serta harus segera memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur nasional. Pada bulan Februari 2014, secara year-on-year, inflasi inti mencapai 5,26%, harga diatur pemerintah tercatat sebesar 16,76%, dan harga bergejolak sebesar 8,73%. Sementara itu, secara month-to-month, angka inflasi Februari 2014 tercatat sebesar 0,26%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 1,07%.
Tabel 3: Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, Tahun 2011 – 2014 (2012=100, m-t-m, dalam %)
Harga makanan masih tinggi, inflasi bulan Februari 2014 mencapai 0,26%
Catatan: (1) Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Komposisi inflasi Februari 2014 relatif lebih merata pada semua kelompok barang, dibandingkan pada bulan sebelumnya yang didominasi oleh kelompok Bahan Makanan. Komponen inflasi terbesar pada Februari 2014 adalah kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau. Kelompok pengeluaran ini menyumbang 0,08% dari total inflasi Februari 2014 yang sebesar 0,26%. Sedangkan inflasinya sebesar 0,36% (m-t-m) atau 9,62 % (y-o-y). Komponen inflasi bulan Januari 2014 terbesar adalah kelompok Bahan Makanan dengan share sebesar 0,56% dari inflasi Januari 2014 dengan tingkat inflasi sebesar 11,43% (y-o-y) atau 2,77% (m-t-m). Selain itu, kelompok pengeluaran Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar juga turut mendorong inflasi Januari 2014. Kelompok pengeluaran ini menyumbang 0,25%, dengan inflasi sebesar 7,63% (y-o-y) atau 1,01% (m-t-m).
Sementara itu, dilihat dari 82 kota besar di Indonesia, sebagian besar kota di Indonesia mengalami inflasi pada Januari dan Februari 2014. Dari data yang dirilis BPS, Februari 2014 terjadi inflasi di 55 kota. Pontianak menjadi kota dengan tingkat inflasi tertinggi dengan sebesar 2,73% (m-t-m). Namun, deflasi juga terjadi di 27 kota pada Februari 2014. Sibolga menjadi kota dengan deflasi tertinggi, tercatat sebesar 2,43% (m-t-m). Sedangkan pada Januari 2014, 78 kota mengalami inflasi. Inflasi tertinggi dari 78 kota tersebut terjadi di Pangkal Pinang, tercatat sebesar 3,79%. Sedangkan, deflasi dialami oleh empat kota. Kota dengan tingkat deflasi tertinggi adalah Sorong, yang tercatat sebesar 0,17%.
Tingginya inflasi diikuti oleh cadangan devisa yang masih di bawah tahun-tahun sebelumnya dan nilai tukar rupiah yang masih lemah. Posisi cadangan devisa Indonesia per Januari 2014 tercatat USD 100,65 miliar, atau naik USD 1,26 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan per Februari 2014, cadangan devisa melonjak mencapai USD 102,74 miliar, naik sebesar USD 2,09 miliar. Tren positif ini berlanjut sejak Agustus 2013. Meskipun demikian, pada level tersebut cadangan devisa Indonesia telah melebihi standar kecukupan. Peningkatan cadangan devisa pada Januari dan Februari 2014 tidak lepas dari upaya Bank Indonesia memperbaiki neraca perdagangan dengan memberlakukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/17/PBI/2013 terkait Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, serta penerbitan SUN oleh pemerintah pada akhir Januari dan pertengahan Februari 2014 lalu.
Gambar 16: Cadangan Devisa Indonesia (miliar USD) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), Februari 2011 – Februari 2014
Level cadangan devisa Februari 2014 tertinggi selama 9 bulan terakhir
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Selain itu, PBI tentang Transaksi Swap Lindung Nilai juga merupakan strategi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah serta melakukan pendalaman pasar valuta asing. Hasilnya, rupiah mulai memunculkan sentimen positif dengan menguat 4,84% ke tingkat IDR 11.643 per USD pada Februari. Hal tersebut mengakhiri tren pelemahan rupiah sejak November 2013. Pada Januari 2014, posisi rupiah berada di IDR 12.226 per USD melemah 0,3% dibandingkan pada Desember 2013. Penguatan rupiah ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah menerbitkan obligsi berdenominasi dolar senilai USD 4 miliar dalam upayanya menarik aliran dana masuk dari investor global. Penjualan obligasi tersebut juga ditujukan untuk memperkuat nilai tukar rupiah mengingat bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mulai memangkas dana stimulusnya Januari 2014. Surat utang yang diterbitkan pemerintah terdiri dari obligasi bertenor 10 tahun dengan kupon 5,95% dan obligasi bertenor 20 tahun dengan kupon 6,85%, masing-masing senilai USD 2 miliar.
Berkaitan dengan pengendalian kurs rupiah, Bank Indonesia melalui JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) berhasil mendapatkan pengakuan internasional. Otoritas Moneter Singapura (MAS) mulai 27 Maret 2014 efektif mengadopsi JISDOR sebagai rate resmi untuk denominasi rupiah pada pasar uang di Singapura. Hal ini sejalan dengan tujuan Bank Indonesia saat meluncurkan JISDOR pada 20 Mei 2013 lalu, untuk mengendalikan kurs rupiah pada rate yang wajar. Dengan begitu, efisiensi pasar dapat terjadi, financial deepening dapat tercapai.
Meskipun dalam tekanan inflasi dan pelemahan rupiah, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat BI rate. Berdasarkan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 13 Februari 2014, BI rate tetap dipertahankan pada level 7,5%. Kebijakan ini melanjutkan komitmen Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi dan memperbaiki neraca pembayaran Indonesia. Sebagai catatan, BI rate terakhir kali berubah pada November 2013 dengan kenaikan sebesar 0,25 basis poin.
Gambar 17: Perkembangan BI Rate, Februari 2011 – Februari 2014 (dalam %)
BI rate dipertahankan tetap 7,5% pada Februari 2014
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Perkembangan tingkat suku bunga secara umum pada Januari dan Februari di tahun 2014 juga relatif tidak banyak berubah dibanding pada Desember 2013. Tingkat suku bunga penjaminan LPS naik 0,25 basis poin menjadi 7,5% (denominasi rupiah) dan 1,5% (denominasi mata uang asing) pada Januari 2014 dan tetap dipertahankan pada Februari 2014. Kenaikan tersebut sebagai upaya LPS menjamin simpanan nasabah perbankan di tengah kenaikan tingkat suku bunga secara umum di bulan Desember 2013. Di sisi lain, suku bunga deposito berjangka tiga bulan bergerak terus naik hingga melebihi tingkat suku bunga penjaminan serta BI rate. Pada bulan Desember 2013, tingkat suku bunga deposito berjangka 3 bulan ada pada level 7,61%. Sedangkan pada Januari 2014 meningkat menjadi 7,95%. Hal ini bisa menjadi sinyalemen perbankan sedang menghadapi masalah likuiditas.
Gambar 18: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, 2011 – 2014* (dalam %)
LPS menaikkan tingkat suku bunga penjaminan, deposito berjangka 3 bulan melebihi BI Rate dan suku bunga LPS
*= Januari 2014 (deposito berjangka) dan Februari 2014 (suku bunga penjaminan)
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Pasar keuangan menunjukkan optimisme di akhir tahun
Di pasar finansial, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan positif, dan obligasi Surat Utang Negara bergerak fluktuatif di bulan Januari dan Februari 2014. IHSG meningkat 3,38% ke level 4.418,757 (Desember 2013 – Januari 2014) kemudian 4,56% ke level 4.620,216 (Januari – Februari 2014). Penguatan IHSG pada Januari dan Februari 2014 bisa menjadi sinyal investor asing mulai masuk ke Indonesia. Di sisi lain, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi SUN di pasar fluktuatif di kisaran 8,6% (Desember 2013), 9,01% (Januari 2014), dan terakhir 8,4% (Februari 2014). Hal tersebut dikarenakan yield SUN mengikuti perkembangan tingkat inflasi. Yield akan naik ketika inflasi meningkat, seperti yang terjadi pada bulan Januari 2014, dan menurun pada Februari 2014. SUN dengan tenor menengah, seperti tenor 10 tahun, menjadi favorit investor sebagai investasi aman sebagai antisipasi terjadinya sentimen negatif di pasar finansial, selain cukup likuid di pasar sekunder.
Gambar 19: Pergerakan IHSG dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun, Februari 2011-Februari 2014 (dalam %)
IHSG terus menguat sejak Desember hingga Februari; yield SUN turun di akhir Februari 2014