Home » Id » Opini » Pemilu Legislatif dan Harapan Perubahan

Pemilu Legislatif dan Harapan Perubahan

Pemilu Legislatif dan Harapan Perubahan
Akhmad Akbar Susamto1

Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 tinggal dalam hitungan hari. Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), proses pemungutan suara untuk memilih calon-calon anggota DPD, DPR dan DPRD akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014. Tercatat, di samping individu-individu calon anggota DPD, ada 12 partai politik yang bersaing memperebutkan kursi-kursi DPR dan DPRD, di mana 11 di antaranya merupakan partai politik lama dan satu partai merupakan partai politik baru.

Pertanyaannya, seberapa jauh kita bisa berharap bahwa Pileg 2014 akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih baik? Mungkinkah Pileg kali ini akan berbeda dengan pemilu-pemilu legislatif sebelumnya dan menjadi awal bagi sebuah perubahan?

Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab. Bukan karena saya tak setuju dengan sebagian besar masyarakat yang kecewa dengan kinerja wakil-wakil rakyat hasil pemilu-pemilu legislatif sebelumnya. Begitu juga, bukan karena saya terlalu percaya bahwa perubahan mungkin akan terjadi hanya dengan bekal hitung-hitungan sederhana jumlah pemilih muda melek informasi yang konon mencapai 40 juta. Tetapi, karena menurut saya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas bersifat endogenous.

Seperti diajarkan para dosen kepada mahasiswa-mahasiswa baru yang menghadiri pertemuan pertama kuliah dengan topik “10 Principles of Economics”, perilaku individu-individu dalam perekonomian bergantung antara lain pada insentif. Baik atau buruknya kinerja anggota legislatif hasil Pileg 2014 bukan hanya akan ditentukan oleh preferensi calon-calon yang terpilih, tetapi juga rentetan rewards dan punishments dari masyarakat kepada mereka, sejak awal masa pencalonan hingga akhir masa jabatan lima tahun ke depan.

Sayangnya, insentif yang diberikan masyarakat cenderung salah. Di awal masa pencalonan, masyarakat sudah menghukum calon-calon wakil rakyat yang sebenarnya potensial dan memiliki catatan masa lalu yang baik dengan ungkapan-ungkapan sinis tentang perebutan kekuasaan, praktik-praktik politik kotor dan korupsi. Hanya dalam waktu satu detik setelah seseorang memutuskan terjun ke politik, semua catatan masa lalunya yang positif seakan luruh menjadi negatif: Independensi menjadi partisanship, obyektivitas menjadi subyektivitas kelompok dan akal sehat menjadi akal jahat. Adverse selection pun terjadi, di mana individu-individu yang bersih enggan terjun ke politik, sementara individu-individu yang memang tak bersih justru dengan bebas masuk ke politik mengingat risiko pengorbanan reputasi yang rendah.

Menjelang hari pemungutan suara, polarisasi muncul. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk menjadi golput. Mungkin dengan alasan semua kandidat atau semua partai politik peserta pileg sama buruknya, mungkin juga dengan alasan kecewa pada pelaksanaan pileg yang dianggap tak jujur dan tak adil. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang mengikatkan pilihan pada kandidat atau partai politik tertentu tanpa memandang apakah kandidat atau partai politik yang dipilihnya bersih atau tidak. Masih lumayan jika ikatan tersebut didasarkan pada alasan ideologis. Tetapi, yang lebih jamak adalah ikatan yang didasarkan pada alasan pragmatis, termasuk janji-janji pembagian rente dan money politics. Dalam hal ini, yang terjadi bukan semacam corollary Mancur Olson (1965),2 tetapi ujian dan godaan bagi calon-calon wakil rakyat yang bersih. Meyakinkan sebagian masyarakat yang kritis agar tak golput terasa sulit, sementara merebut hati sebagian masyarakat lain yang mendasarkan ikatan pada alasan pragmatis juga tak mudah. Pilihannya, ikut-ikutan pragmatis termasuk menebar janji-janji pembagian rente dan money politics atau terlempar dari persaingan mendulang suara. Terlebih sistem perwakilan dalam lembaga legislatif kita lebih mengarah pada representasi proporsional daripada representasi pluralitas sehingga suara-suara untuk kandidat atau partai politik minor pun tetap berarti.

Setelah pelantikan, penilaian masyarakat atas kinerja anggota-anggota legislatif pada umumnya overgeneralized. Bagi sebagian besar masyarakat, apapun yang dilakukan dan diupayakan wakil-wakil rakyat di parlemen terlihat buruk. Tidak ada perbedaan antara anggota-anggota legislatif yang bersih, yang kurang bersih dan yang busuk. Tidak ada perbedaan antara satu urusan dengan urusan lain, antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain. “Pokoknya semua buruk.” Kesalahan insentif pun terjadi, di mana wakil-wakil rakyat yang bersih dan berkinerja baik tak mendapatkan rewards, dan sebaliknya justru mendapatkan punishments dengan cara diperlakukan sama seperti wakil-wakil rakyat yang tidak bersih dan berkinerja buruk.

Insentif kepada wakil-wakil rakyat bisa salah terutama karena berjangkitnya rational apathy dan rational ignorance. Rational apathy mencerminkan kecenderungan untuk mengabaikan persoalan dan pasrah di tengah keadaan yang sulit untuk diubah. Sementara, rational ignorance mencerminkan kecenderungan untuk tak mau tahu, dalam arti belum tahu dan tak ingin mencari tahu (Down, 1957).3

Insentif kepada wakil-wakil rakyat hanya bisa ditata ulang bila kita dari sekarang mau “berkorban” dengan sedikit lebih peduli, mengumpulkan informasi dan membedakan antara calon-calon wakil rakyat yang bersih dan yang tidak bersih. Di hari pemungutan suara, pemilih yang terdaftar dapat berkontribusi dengan sedikit “berkorban” memilih calon yang dianggap paling baik. Setidak-tidaknya, peraturan KPU tentang penetapan calon-calon anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak masih memungkinkan kita untuk memilah-milah kandidat-kandidat yang bersih dan tak bersih dalam satu partai yang sama. Sesudah pelantikan, kita dapat berkontribusi dengan menahan diri untuk tidak gebyah-uyah dalam mengkritik anggota-anggota legislatif, dan bila memang yang mereka lakukan benar, memberi sedikit pujian atas pekerjaannya. Meskipun tidak selalu mudah, pembedaan antara anggota-anggota legislatif yang berprestasi dan tidak berprestasi akan menjadi insentif yang benar bagi mereka.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal tentang seberapa jauh Pileg 2014 akan bisa menjadi awal bagi sebuah perubahan, jawabannya tergantung pada sikap kita! Masalahnya, siapkah kita untuk berubah?

 

 

                                                       

1 Dosen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Mancur Olson menyebut pemungutan suara sebagai barang publik. Seseorang dapat tetap mendapatkan manfaat dari hasil pemungutan suara meskipun tidak ikut memilih. Hanya saja, sebagai konsekuensi (corollary), akan ada kelompok-kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi dengan baik yang akan mempunyai pengaruh lebih besar dalam pengambilan keputusan politik. Lihat Mancur Olson (1965), The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups, Cambridge, MA, Harvard University Press.

3 Anthony Downs (1957), An Economic Theory of Democracy, New York, Harper and Row.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.