Home » Tak Berkategori » Perkembangan Keuangan Pemerintah dan Fiskal 2015:III

Perkembangan Keuangan Pemerintah dan Fiskal 2015:III

1. Anggaran Pemeritah dalam RAPBN 2016 telah disahkan
Tabel 1 Perbandingan Asumsi Makro dalam APBNP 2013, 2014, 2015 dan RAPBN 2016
Penyesuaian asumsi makro setelah disahkannya RAPBN 2016
t1
Sumber: Kementerian Keuangan

 

RAPBN 2016 telah disahkan dan asumsi makro disesuaikan. Penyesuaian asumsi makro telah menyesuaikan seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di asumsikan tumbuh 5,5 persen lebih tinggi dari target APBNP 2015 sebesar 5,7 persen. Pertumbuhan tahun 2016 diperkirakan relatif baik dilihat dari asumsi makro 2016 dibandingkan asumsi makro tahun 2015. Perbaikan ini ditopang oleh faktor eksternal seperti membaiknya perekonomian global dan oleh faktor internal seperti terjaganya laju inflasi serta kebijakan pemerintah yang dapat mendorong penguatan permintaan domestik. Sedangkan inflasi diperkirakan masih menghadapi beberapa risiko oleh faktor eksternal seperti harga komoditas energi dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, sehingga ditetapkan asumsi inflasi sebesar 4,7 persen. Suku bunga SPN 3 bulan dan nilai tukar ditetapkan masing-masing 5,5 persen dan IDR 13.400 yang diperkirakan tahun 2016 mendapat tekanan dari kondisi perekonomian global serta kenaikan suku bunga The Fed. Namun, tekanan tersebut diperkirakan lebih moderat dibandingkan tahun 2015. Harga minyak mentah Indonesia diasumsikan sebesar USD 60/barel dimana adanya pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut pada tahun 2016 diperkirakan mendorong permintaan energi khususnya minyak dunia. Asumsi yang terakhir yaitu lifting minyak dan gas ditetapkan masing-masing sebesar 830 ribu/hari dan 1.155 ribu/hari. Lifting minyak dan gas bumi tahun 2016 diperkirakan tidak mengalami perubahan signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penurunan produksi minyak bumi karena besar sumur-sumur yang beroprasi saat ini adalah sumur tua, sementara kegiatan investasi di sektor migas masih rendah akibat tingginya biaya eksplorasi.

 

Tabel 2 Ringkasan RAPBN 2016 (IDR Triliun)
Postur anggaran RAPBN 2016 mengalami kenaikan
Sumber: Kementerian Keuangan
t2
Anggaran RAPBN 2016 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2015. Pendapatan negara direncanakan mencapai 1.848 triliun naik 4,9 persen dari target APBNP 2015. Total pendapatan dalam negeri masih ditopang oleh penerimaan pajak yang mencapai IDR 1.565,1 triliun atau naik 5,1 persen dari target APBNP 2015. Di sisi lain, belanja negara untuk tahun 2016 direncanakan sebesar IDR 2.121,3 triliun atau naik 6,9 persen dari target APBNP 2015. Besaran belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar IDR 1.339,1 triliun dan anggaran transfer daerah sebesar 782,2 triliun. Dengan besaran pendapatan dan belanja negara tersebut, RAPBN tahun 2016 mengalami defisit anggaran sebesar IDR 273,2 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB, yang artinya naik dari defisit pada APBNP tahun 2015 sebesar 1,9 persen. Defisit RAPBN 2016 di rencanakan akan dibiayai oleh pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri sebesar IDR 272 triliun dan pembiayaan dari luar negeri sebesar IDR 1 triliun.

 

Tabel 3 Realisasi Belanja Dan Penerimaan APBNP 2014–2015
t3
Sumber: Kementerian Keuangan

 

Proporsi realisasi belanja dan penerimaan APBNP 2015 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan APBNP 2014. Pada tahun 2015, belanja negara turun menjadi 53,1 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 55,9 persen. Selain itu, persentase pencapaian realisasi penerimaan APBNP 2015 mencapai 49,2 persen dari total target penerimaan negara dalam APBNP 2015, lebih rendah dari APBNP 2014 sebesar 57,6 persen.

Penerimaan pajak hingga agustus 2015 hanya mencapai 46,9 persen. Realisasi penerimaan pajak hanya mencapai IDR 699 triliun atau 46,9 persen dari target APBNP yang ditetapkan sebesar IDR 1.489,3 triliun. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya persentase penerimaan pajak lebih tinggi dari APBNP 2014 sebesar 40,1 persen. Penerimaan perpajakan paling besar masih didominasi oleh PPH Migas sebesar IDR 957,2 triliun atau 73,3 persen terhadap APBNP 2015, lebih tinggi sebesar IDR 51,8 triliun atau 61,7 persen terhadap APBNP 2014. Dari sisi penerimaan pajak non-migas mencapai IDR 394,6 triliun atau 31,7 persen terhadap APBNP 2015. Bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya persentase penerimaan pajak non-migas lebih rendah dari APBNP 2014 IDR 619,1 triliun atau 62,6 persen. Sedangkan, penerimaan pajak dari bea dan cukai sebesar IDR 100,4 triliun atau 51,5 persen terhadap APBNP 2015, dibandingkan dengan bulan sebelumnya lebih rendah sebesar IDR 106,6 triliun atau 61,4 persen terhadap APBNP 2014. Menurut Direktorat Jendral Pajak (DJP) tahun 2015 ini adalah tahun terakhir bagi masyarakat yang belum memenuhi kewajiban perpajakan untuk meningkatkan kepatuhannya, sebelum pada tahun 2016 dilakukan penegakan hukum besar-besaran.

 

Tabel 4 Realisasi Penerimaan Pajak APBNP 2014–2015 (triliun IDR)
Penerimaan perpajakan APBNP 2015 baru mencapai 46,9 persen
t4
Sumber: Direktorat Jendral Pajak, Kementerian keuangan

 

Pajak barang mewah dihapuskan. Aktivitas ekonomi yang masih lambat yang berakibat pada kegiatan konsumsi menurun membuat pemerintah memutuskan untuk menghapus pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) pada beberapa kelompok barang. Peraturan ini diberlakukan mulai tanggal 9 Juli 2015. Barang-barang tergolong mewah yang dilakukan penghapusan diantaranya peralatan elektronik, alat olahraga, alat musik, branded goods, serta perabot rumah tangga dan kantor. Di sisi lain penghapusan ini dalam jangka pendek mempengaruhi hilangnya penerimaan PPnBM pada tahun lalu sebesar IDR 800 miliar. Namun hal ini menimbulkan efek lain, yaitu terciptanya stimulasi ekonomi, sehingga produk dalam negeri akan lebih berdaya saing/ kompetitif dan produsen dalam negeri dapat beroprasi lebih banyak barang.

 

2. Indikator Bahaya Utang Meningkat, CDS Melonjak
Gambar 1 Utang Luar Negeri Indonesia (Miliar USD), Kuartal II-2010 – Kuartal II-2015*
Utang luar negeri Indonesia meningkat
g17
Keterangan: *(Sementara)
Sumber: Bank Indonesia (2015)

 

Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 304,4 miliar pada akhir kuartal II-2015 (Juni). Jumlah utang luar negeri tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,73 persen dibandingkan dengan akhir kuartal I-2015 (Maret) dan sebesar 6,43 persen dibandingkan dengan akhir kuartal yang sama pada tahun 2014. Kenaikan utang luar negeri Indonesia disebabkan oleh meningkatnya dua komponen utang luar negeri yaitu utang luar negeri pemerintah serta swasta. Utang luar negeri swasta mengalami pertumbuhan tertinggi secara quarter-to-quarter yang mencapai 2,12 persen menjadi sebesar USD 169,8 miliar. Sementara utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan sebesar 1,27 persen menjadi sebesar USD 129,4 miliar. Hal yang berbeda terjadi pada utang luar negeri bank sentral yang mengalami penurunan sebesar 36,4 persen menjadi sejumlah USD 5,2 miliar.

Di sektor publik, sumber utang luar negeri pemerintah sebagian besar masih bersumber dari penjualan surat berharga negara (SBN) baik domestik maupun internasional. Pada akhir kuartal II-2015, utang dari hasil penjualan SBN domestik mencapai USD 40 miliar atau sebesar 31 persen dari total utang pemerintah sedangkan utang dari hasil penjualan SBN internasional mencapai USD 37,4 miliar atau 28,9 persen dari total utang pemerintah. Sebaliknya, sumber utang dari perjanjian utang baik bersifat multilateral maupun bilateral mengalami penurunan pada akhir kuartal tersebut.

Di sektor swasta, berdasarkan kelompok peminjam, swasta nasional baik bank maupun bukan bank mendominasi sekitar 38,67 persen total utang luar negeri sektor swasta pada akhir kuartal II-2015. Sementara BUMN baik bank maupun bukan bank hanya mendominasi sekitar 19,25 persen dari total. Selain itu, instrumen hutang swasta pada kuartal II-2015 sekitar 53,8 persen masih bergantung pada instrumen penjanjian pinjaman non-Special Purpose Vehicle (SPV). Berdasarkan tujuan penggunaanya, sekitar 35,36 persen dari total utang luar negeri swasta digunakan untuk investasi sehingga diharapkan dapat lebih produktif dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 

Gambar 2 Utang Luar Negeri Berdasarkan Jangka Waktunya (Miliar USD), Kuartal II-2010 – Kuartal II-2015*
Utang luar negeri jangka panjang meningkat sementara utang luar negeri jangka pendek mengalami penurunan
g18
Keterangan: *(Sementara)
Sumber: Bank Indonesia (2015)

 

Berdasarkan jangka waktunya, total utang luar negeri jangka pendek Indonesia pada akhir kuartal II-2015 (Juli) mengalami penurunan sebesar 0,78 persen (q-t-q) atau menjadi USD 56,9 miliar. Penurunan tersebut disebabkan oleh menurunnya utang luar negeri jangka pendek pemerintah yang mengalami penurunan sebesar 5,36 persen atau menjadi sejumlah USD 9,98 miliar. Sementara utang luar negeri jangka pendek swasta mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen atau menjadi sejumlah 46,88 persen. Utang luar negeri jangka pendek swasta juga masih mendominasi utang luar negeri jangka pendek secara keseluruhan yang pangsanya mencapai 82,43 persen.

Sementara itu, utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada akhir kuartal II-2015 (Juli) mengalami peningkatan sebesar 2,41 persen (q-t-q) atau menjadi USD 247,5 miliar. Meningkatnya utang luar negeri jangka panjang Indonesia disebabkan oleh peningkatan masing-masing komponennya yaitu sektor pemerintah dan bank sentral serta swasta. Khusus untuk utang luar negeri jangka panjang swasta, mengalami peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pemerintah dan bank sentral. Tercatat pada akhir kuartal II-2015, utang luar negeri jangka panjang swasta mengalami peningkatan sebesar 2,85 persen menjadi sejumlah USD 122,9 miliar. Sedangkan sektor pemerintah hanya mengalami peningkatan sebesar 1,97 persen menjadi sejumlah USD 124,6 miliar. Meskipun demikian, sektor pemerintah dan bank sentral masih mendominasi utang luar negeri jangka panjang dengan persentase mencapai 50,34 persen.

Secara umum, pada akhir kuartal II-2015 sektor publik dan terutama sektor swasta, mulai menunjukkan kewaspadaan terhadap nilai tukar rupiah yang semakin terdepresiasi. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan utang luar negeri jangka pendek sektor publik maupun swasta yang mulai mengalami perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir kuartal yang sama tahun 2014. Sektor publik dan swasta lebih memilih untuk memperoleh pembiayaan dari luar negeri dalam jangka panjang.

 

Gambar 3 Indikator Utang Luar Negeri Indonesia (%), Kuartal II-2013 – Kuartal II-2015**
Secara umum indikator utang luar negeri Indonesia memburuk
g19
Keterangan: (DSR Tier 1 merupakan pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek)
(DSR Tier 2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada non-afiliasi)
*(Sementara), **(Sangat Sementara)
Sumber: Bank Indonesia (2015)

 

Indikator sustainabilitas eksternal utang luar negeri Indonesia memburuk. Peningkatan utang luar negeri ketika perekonomian Indonesia melambat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin melemah membuat kemampuan untuk membayar utang tersebut melemah. Rasio utang luar negeri terhadap PDB Indonesia pada kuartal II-2015 mengalami peningkatan sebesar 2,55 percentage point (q-t-q) menjadi sebesar 34,43 persen. Sementara itu, meski nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah namun hal tersebut tidak mampu meningkatkan ekspor Indonesia karena permintaan global cenderung menurun akibat melemahnya perekonomian mereka. Imbas dari melemahnya ekspor tersebut dan utang luar negeri yang tetap meningkat adalah meningkatnya rasio utang terhadap ekspor hingga mencapai 153,05 pada kuartal II-2015. Secara umum, indikator kemampuan membayar utang luar negeri Indonesia memburuk, di mana secara tahunan, Debt Service Ratio (DSR) Tier 2 mengalami peningkatan sebesar 1,47 percentage point menjadi sebesar 52,09 persen meski untuk DSR Tier 1 mengalami penurunan tipis menjadi sebesar 23,15 persen. Kemampuan utang luar negeri Indonesia pada kuartal ke depan juga diperkirakan akan semakin memburuk di mana salah satu indikasinya adalah rencana pemerintah untuk mencari tambahan pembiayaan sebesar USD 5 miliar guna menutup budget deficit dan di sisi lain, ekspor masih akan tertekan akibat ekonomi global.

 

Gambar 4 IBPA Effective Yield Index (EYI) dan Credit Default Swap (CDS, tenor 5 tahun), September 2013 – September 2015
Rata-rata yield obligasi dan CDS bertenor 5 tahun Indonesia mengalami peningkatan tajam
g20
Sumber: Bloomberg (2015)

 

Persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia meningkat tajam. Hal tersebut diindikasikan oleh meningkatnya rata-rata yield obligasi semua tenor (IGB EYI) dan benchmark bertenor 10 tahun selama kuartal II-2015 (Juli – September). Tingkat IGB EYI pada akhir September 2015 secara month-to-month mengalami peningkatan sebesar 2,81 percentage point atau menjadi sebesar 8,54 persen dan 21,40 percentage point dibandingkan awal tahun 2015 (2 Januari). Sementara untuk yield obligasi 10 tahun, pada akhir September 2015 mengalami peningkatan sebesar 8,92 percentage point dibandingkan Agustus 2105 dan 11,92 percentage point dibandingkan 2 Januari 2015. Volatilitas yield obligasi local currency bertenor 10 tahun Indonesia memiliki rata-rata dari awal tahun hingga akhir September 2015 sebesar 8,8 persen atau tertinggi dibandingkan dengan ASEAN 5 yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

Kombinasi tekanan ekonomi dari internal maupun eksternal telah menghidupkan “emergency lamp” bagi pasar obligasi Indonesia. Dari sisi internal, inflasi masih menjadi faktor utamanya di mana meski melambat pada Agustus 2015 menjadi sebesar 0,39 persen (m-t-m), inflasi pada Juli 2015 sebesar 0,96 persen merupakan inflasi yang tertinggi pada tahun 2015 dan secara year-on-year juga merupakan yang tertinggi di ASEAN. Sementara itu, dari sisi eksternal, masih berlanjutnya ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dan devaluasi mata uang China pada 11 dan 12 Agustus 2015, semakin memberikan tekanan pada pasar obligasi di negara berkembang termasuk Indonesia. Tekanan pasar obligasi negara berkembang yang tercermin dari penurunan level EMBIG CORE spread pada bulan Akhir September 2015 sebesar 444,74 bps padahal pada 2 Januari 2015 masih berada pada level 449,72 bps. Kewaspadaan investor terhadap risiko obligasi Indonesia yang meningkat juga tercermin dari meningkatnya tingkat credit default swap (CDS) obligasi Indonesia. Pada akhir September 2015, tingkat CDS sebesar 276,48 bps atau mengalami peningkatan sebesar 41,14 persen dibandingkan akhir Juli 2015 dan 114,31 bps dibandingkan 2 Januari 2015.

 

Gambar 5 Kepemilikan Asing atas SBN dan Jual Neto/Beli SBN, Agustus 2014 – Agustus 2015
Kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan dan jual neto
g21-1
g21-2
Sumber: CEIC, DJPPR, dan Bank Indonesia (2015)

 

Kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan. Pada akhir Agustus 2015, kepemilikan asing atas SBN tradable sebesar IDR 526 triliun atau menurun sebesar 1,5 persen dibandingkan Juli 2015, meski dibandingkan dengan awal 2 Januari 2015 terjadi peningkatan sebesar 13,9 persen. Proporsi kepemilikan asing atas SBN tradable juga hanya sebesar 26,03 persen dari total SBN outstanding tradable pada akhir Agustus 2015. Padahal pada akhir Juni 2015 (akhir kuartal II-2015), kepemilikan asing mencapai IDR 537,5 triliun atau 28,12 persen dari total SBN outstanding tradable. Selain itu, proporsi kepemilikan asing juga mengalami penurunan dibandingkan dengan awal tahun 2015 sebesar 38,11 persen dari total outstanding SBN tradable. Penurunan kepemilikan asing atas SBN tersebut salah satunya dipicu oleh aksi jual dari investor asing selama kuartal II-2015 sehingga terjadi jual neto sebesar 3,9 pada Juli 2015 dan sebesar IDR 7,96 triliun pada Agustus 2015. Aksi jual SBN tersebut juga dipengaruhi oleh rekomendasi dari JP Morgan yang menyarankan investor asing untuk menjual surat berharga Indonesianya. Aksi jual SBN yang dilakukan oleh investor asing pada akhirnya berimbas pada turunnya harga SBN.

Meski kepemilikan asing atas SBN tradable mengalami penurunan, total outstanding SBN Indonesia pada Agustus 2015 mengalami kenaikan sebesar 2,85 persen dibandingkan Juli 2015 atau menjadi sejumlah IDR 2.281 triliun. Sementara outstanding SBN tradable juga mengalami kenaikan sebesar 3,31 persen atau menjadi sebesar IDR 2.019 triliun. Hal yang berbeda terjadi pada outstanding SBN non-tradable di mana terjadi penurunan sebesar 0,59 persen atau menjadi sebesar IDR 261 triliun.

 

Gambar 6 Inter Dealer Market Agency (IDMA), September 2010 – September 2015
Harga obligasi mengalami penurunan
g22
Sumber: Bloomberg

 

Harga obligasi Indonesia mengalami penurunan seiring meningkatnya persepsi risiko dan aksi jual SBN oleh investor asing. Persepsi risiko yang terus meningkat dan aksi jual SBN selama kuartal II-2015 telah menjatuhkan harga obligasi Indonesia pada level terendahnya selama 5 tahun terakhir pada September 2015. Harga obligasi yang tecermin dalam IDMA price index dan IGB CPI tersebut mengalami tren menurun pada kuartal tersebut. Meski sempat mengalami peningkatan hingga mencapai 106,57 bps pada Februari 2015, IDMA price index terus mengalami penurunan hingga menyentuh level 89,88 bps pada September 2015 atau terendah selama 5 tahun terakhir. Level tersebut mengalami penurunan sebesar 4,99 bps dibandingkan dengan Agustus 2015 dan sebesar 10,34 bps dibandingkan dengan awal tahun 2015. Selain itu, rata-rata harga obligasi pemerintah yang ditunjukkan oleh IGB CPI juga mengalami penurunan sebesar 4,97 bps menjadi 103,16 bps dan mengalami penurunan sebesar 11,64 bps dibandingkan dengan 2 Januari 2015.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.