Indonesia terpukul dengan anjloknya harga batu bara di pasar global. Setelah mencapai puncaknya pada tahun 2011, harga acuan batu bara Indonesia turun dari USD 127,05 per ton ke USD 54,43 per ton. Kinerja industri batu bara Indonesia menjadi terganggu. Bagaimana mungkin?
Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar kelima di Dunia setelah Tiongkok, AS, India, dan Australia. Terhadap PDB, kontribusi sektor pertambangan batu bara dan lignit sebesar 1,93 persen pada kuartal III-2015. Penurunan harga membuat laju pertumbuhan sektor ini terus melambat bahkan tumbuh negatif saat ini yakni -2,22 persen year on year (y-o-y), dibandingkan dengan pertumbuhan yoy kuartal IV-2011 yang sangat fantastis 33,73 persen.
Perlambatan ini juga dikonfirmasi oleh data keuangan perusahaan-perusahaan batu bara. Laba PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang merupakan produsen batu bara terbesar di Indonesia pada tahun 2014 turun 18,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) bahkan sejak tahun 2012 sudah merugi. Kerugian dari bisnis batu bara juga dialami oleh PT Bayan Resources Tbk (BYAN). Nilai kerugian pada tahun 2014 melonjak hingga 246,95 persen dari periode yang sama tahun 2013. Akibatnya, harga saham perusahaan-perusahaan batu bara yang listing di BEI ikut anjlok.
Bagi pemerintah daerah kondisi ini juga tidak bagus, khususnya bagi provinsi-provinsi yang merupakan lumbung batu bara Indonesia seperti Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Sumatera Selatan (Sumsel). Provinsi Kaltim yang 37 persen ekonominya berasal dari kegiatan pertambangan batu bara paling terimbas oleh penurunan harga ini. Laju pertumbuhan PDRB Kaltim turun drastis dari 14,24 persen pada tahun 2012 menjadi hanya sebesar 4,02 persen pada tahun 2014, di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional 5,02 persen. Di Kalsel, pertumbuhan tahunan Sektor Pertambangan dan Penggalian sempat mencapai 28,61 persen sebelum turun menjadi tinggal 6,22 persen.
Tiongkok sebagai importir batu bara Indonesia terbesar kedua tengah merestrukturisasi industrinya melalui inovasi pada teknologi informasi. Dengan demikian industri-industri yang banyak menggunakan batu bara sebagai input —industri baja, semen, dan pupuk— bisa mengurangi pemakaian batu baranya. Selain itu polusi udara yang parah di kota-kota besar mendorong Pemerintah Tiongkok mengeluarkan seperangkat rencana aksi salah satunya adalah membatasi penggunaan batu bara di daerah pesisir Tiongkok (Coastal China). Selain Tiongkok, importir utama lain yang nampaknya akan mengurangi penggunaan batu bara Indonesia adalah Jepang. Ekonomi Jepang saat ini terancam kembali mengalami resesi, ditunjukkan oleh penurunan tingkat inflasi selama dua kuartal terakhir, mendekati deflasi.
Turunnya harga batu bara memang tidak menguntungkan bagi Indonesia, sekitar 80 persen volume ekspor komoditas nonmigas adalah batu bara. Namun demikian kondisi ini dapat kita manfaatkan sebagai momentum untuk melepas ketergantungan terhadap batu bara. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, semestinya menggali potensi lain dan mengembangkan industri pengolahannya, sehingga ekspor Indonesia tidak lagi berupa barang mentah namun berupa barang jadi yang memiliki nilai tambah. Sebagai catatan Tiongkok sedang beralih dari pertumbuhan berbasis investasi menuju pertumbuhan berbasis konsumsi. Terlebih lagi, jumlah kelompok menengah ke atas Tiongkok diprediksi akan bertambah sehingga peluang pasar barang menjadi terbuka semakin lebar.