Home » Id » Editorial » Tax Amnesty dan Perangkap Fiskal 2016

Tax Amnesty dan Perangkap Fiskal 2016

Kebijakan fiskal Pemerintah Jokowi kembali menjadi sorotan setelah tax amnesty diwacanakan. Tax amnesty direncanakan untuk menambal defisit anggaran karena keterbatasan penerbitan utang baru. Sementara itu, target penerimaan pajak masih terlalu ambisius.

Target penerimaan pajak (minus bea dan cukai) dalam APBN 2016 tercantum sebesar Rp1.360 triliun, naik 9,25 persen dari APBNP 2015. Hingga Februari 2016, realisasi penerimaan pajak (minus bea dan cukai) APBN 2016 sebesar Rp124 triliun, atau baru 9 persen. Pencapaian tersebut lebih rendah dari Februari 2015 dengan realisasi 10,5 persen. Hal ini tentu menjadi sinyal buruk, mengingat kondisi ekonomi Indonesia sudah berangsur membaik sejak kuartal III-2015, dan menimbulkan pertanyaan bagaimana realisasi penerimaan pajak di akhir tahun 2016. Sebagai gambaran, pada Desember 2015, realisasi penerimaan pajak (minus bea dan cukai)  APBNP 2015 tercatat hanya 82 persen, sedangkan untuk keseluruhan pendapatan pajak terealisasi 83,3 persen. Hasil itu pun didapatkan Direktorat Jenderal Pajak dengan bekerja sangat keras di penghujung tahun.

Kemudian, Kementerian Keuangan mewacanakan untuk kembali menaikkan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tentunya, ini dilakukan sebagai stimulus fiskal untuk memacu pertumbuhan ekonomi pada 2016. PTKP terendah naik dari Rp24,3 juta per tahun (2014), lalu Rp36 juta per tahun (2015), dan akan menjadi Rp4,5 juta per tahun tahun ini. Kebijakan terbaru ini membuat potensi pendapatan pajak diperkirakan berkurang Rp18,9 triliun. Di satu sisi, langkah doveish ini dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi yang lain timbul kekhawatiran akan jebolnya defisit APBN, seperti halnya di akhir tahun 2015 lalu. Beban otoritas perpajakan akan bertambah berat untuk menjaga defisit APBN di bawah 3 persen sesuai amanat undang-undang. Investment grade Indonesia dipertaruhkan dan tentu akan mempengaruhi kinerja pasar obligasi negara.

Pemerintah memerlukan akselerasi yang luar biasa untuk mengejar setoran. Setidaknya, dengan sisa waktu 10 bulan, sekitar Rp120 triliun setiap bulannya harus didapat. Dengan kata lain, dibutuhkan dua kali lipat ekstra kinerja sekarang. Shortfall realisasi penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai Rp140,2 triliun (dengan asumsi penerimaan pajak meningkat 15 persen, angka rata-rata antara 2001 – 2015). Angka defisit anggaran akan membengkak dari Rp273,2 triliun, dalam APBN 2016, menjadi 413,4 triliun, satu setengah kali lipatnya. Tentu pelebaran defisit tersebut akan membuat rasio defisit terhadap PDB melonjak. Dengan menggunakan asumsi makro dalam APBN 2016 (skenario optimis), pertumbuhan PDB riil tahun ini mencapai 5,3 persen sementara inflasi 4,7 persen, sehingga PDB nominal diperkirakan tumbuh hingga 10 persen pada 2016. Kemudian, PDB nominal tahun 2015 tercatat Rp11.540,8 triliun, maka PDB nominal di akhir 2016 diperkirakan mencapai Rp12.694,8 triliun sehingga rasio defisit anggaran lebih dari tiga persen (Rp413,4 triliun dibagi Rp12.694, triliun). Jika hal tersebut terjadi, Pemerintah akan melanggar undang-undang mengenai ketentuan defisit fiskal. Namun, perhitungan tersebut belum memasukkan potensi penurunan penerimaan pajak akibat kenaikan PTKP sehingga potensi defisit akan lebih lebar lagi.

Kebutuhan pembiayaan tersebut sepertinya tidak mungkin ditutupi dengan penerbitan surat utang baru. Maka, jalan yang paling memungkinkan bisa ditempuh adalah ekstensifikasi pajak, pemotongan anggaran, atau lebih konservatif lagi dengan merevisi APBN 2016 untuk penyesuaian penerimaan pajak dan juga belanja. Tax amnesty pun dijadikan opsi untuk ekstensifikasi penerimaan pajak. Namun, perkiraan penerimaan pajak dari tax amnesty tidaklah besar apalagi mencukupi shortfall. Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan tax amnesty berkisar Rp60 – Rp100 triliun. Lembaga lain bahkan memperkirakan kurang dari Rp60 triliun. Jadi untuk jangka pendek, tax amnesty tidak akan banyak menolong. Pun tax amnesty merugikan negara dari sisi potensi penerimaan saat ini karena wajib pajak tidak melaporkan asetnya untuk dikenai pajak.

Di sisi lain, tax amnesty akan dapat signifikan menaikkan tax base Indonesia, sesuai dengan jumlah dana yang “pulang kampung”. Dengan kata lain, potensi penerimaan pajak di periode setelahnya akan bertambah besar. Hal tersebut bisa terjadi jika kebijakan tersebut berhasil. Indonesia sendiri telah dua kali menerapkan kebijakan tax amnesty yang hasilnya gagal: ketidaksiapan administratif pada tahun 1984 dan penerimaan pajak tidak signifikan naik pada tahun 2008—bahkan justru menurun pada 2009 meski jumlah wajib pajak bertambah signifikan. Jadi perlu persiapan yang sangat matang untuk menetapkan kebijakan ini. Pilihan investasi yang terbatas kerap menjadi sorotan dari wajib pajak yang tidak menaruh asetnya di dalam negeri. Selain itu, kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan asetnya dan ketegasan penagihan pajak dari aparatur juga harus menjadi perhatian. Jika tidak, tax amnesty tidak akan berdampak banyak bagi perekonomian.

Momen “pengejaran” tax amnesty—pembahasan yang tak kunjung selesai antara Pemerintah dan DPR—jangan sampai mengganggu konsentrasi Pemerintah dalam mengejar target pajak. Jika kinerja terhambat, target penerimaan pajak bukan tidak mungkin akan makin sulit tercapai. Alih-alih meringankan, hal ini justru menjadi “perangkap” fiskal.

Pada 2016 ini, akan lebih bijak jika Pemerintah melakukan langkah konservatif dengan merevisi target penerimaan pajak juga sekaligus memotong anggaran belanja yang lebih rasional. Tujuannya adalah jelas, defisit aggaran penting untuk dimitigasi segera, baik dengan atau tanpa tax amnesty. Tidak perlu menunggu hingga sirine berbunyi untuk bertindak jika sinyal sudah terlihat jelas. Meski demikian, anggaran infrastruktur tetap harus diprioritaskan agar mendukung pertumbuhan ekonomi yang sustainable.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.