Home » Tak Berkategori » Brexit dan Kita

Brexit dan Kita

Pada akhir Juni lalu, dunia dikejutkan dengan keputusan 52 persen rakyat Inggris untuk keluar/meninggalkan Uni Eropa (UE, European Union/EU) atau lebih dikenal dengan istitah Brexit. Keputusan ini merupakan hasil referendum yang dilaksanakan pada 23 Juni lalu. Perdana Menteri Inggris, David Cameroon, memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 24 Juni. Opini di Inggris pun berbeda-beda, generasi yang lebih muda menginginkan untuk tetap di UE sedangkan generasi tua sebaliknya—hal ini dikenal sebagai generation gap. Cameroon sendiri merupakan salah satu pendukung mosi agar Inggris tetap bergabung dalam Uni Eropa.

Bukan tanpa alasan memang, bagi Cameroon dan 48 persen penduduk Inggris lainnya untuk menolak “perceraian”antara Inggris dengan UE. Pada kuartal-III tahun 2015, total ekspor Inggris sebesar US$ 105.54 miliar, dengan 42% (US$ 44,52 miliar) dari total ekspor Inggris berlabuh di negara-negara UE. Perdagangan bebas antara negara-negara UE merupakan salah satu pendorong tumbuh suburnya hubungan dagang ini. Kini dengan keluarnya Inggris dari UE maka hubungan dagang bebas tersebut tidak lagi dapat dinikmati, hal ini dikhawatirkan akan menurunkan total ekspor Inggris.

Salah satu manfaat penting yang dirasakan oleh anggota UE adalah adanya kebebasan gerak tenaga kerja dan modal (free movement of labour and capital). Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara Eropa lainnya. Keluarnya Inggris dari UE bermakna investor dari negara-negara anggota UE tidak dapat lagi menggerakkan modalnya secara bebas di Inggris, begitu juga sebaliknya dengan Inggris. Hal inilah yang kemudian membuat para pelaku pasar kemudian berbondong-bondong mengungsingkan dananya dari Inggris.

Berita buruk lainnya dapat kita lihat pada Neraca Pembayaran (balance of payment) Inggris, sejak kuartal-III 2011, Neraca Tranksaksi Berjalan Inggris (current account) selalu bernilai negatif. Pada kuartal-I 2016, Neraca Tranksaksi Berjalan Inggris bersaldo negatif sebesar £ 32,70 miliar, defisit ini berhasil ditutup dengan Neraca Finansial (financial account) yang bernilai £ 45,37 miliar. Larinya dana dari Inggris dikhawatirkan akan memperkecil saldo Neraca Finansial, selain itu turunnya ekspor Inggris terhadap negara-negara UE dikhawatirkan akan memperparah defisit Neraca Tranksaksi Berjalan Inggris.

Kombinasi antara ekspektasi melemahnya ekspor Inggris, kepanikan pasar dan krisis Neraca Pembayaran membuat beberapa indikator perekonomian Inggris berdering merah. Nilai tukar poundsterling Inggris terhadap dollar Amerika terjun 8 persen pada tanggal 24 Juni, sehari setelah referendum dilangsungkan. Poundsterling terus mengalami penurunan nilai hingga mencapai 1,29 £/US$ pada 7 Juli, atau turun sebesar 13 persen dibandingkan pada hari referendum. Hal yang sama juga dialami oleh pasar modal Inggris, FTSE 100 Index jatuh ke level 6138,69 pada tanggal 24 Juni atau turun 3,1 persen dari hari sebelumnya. Bahkan Standard & Poor’s menurunkan rating kredit Inggris dari AAA menjadi AA

Inggris Tak Jatuh Sendiri

Keputusan rakyat Inggris untuk keluar dari UE ternyata membawa efek domino bagi negara-negara Eropa lainnya. Bukan hanya Inggris yang bergantung pada UE, namun negara-negara UE juga bergantung pada Inggris. Pada tahun 2015, Inggris berkontribusi sebesar 12,57 persen pada anggaran belanja UE. Inggris juga merupakan salah satu negara tujuan bagi imigran negara-negara Eropa lainnya untuk mencari lapangan pekerjaan. Hal inilah yang kemudian membuat negara-negara Eropa lainnya terkena dampak dari Brexit. Sehari setelah referendum, indeks Euro Stoxx 50 mengalami penurunan sebesar 8.62 persen , hal yang sama juga terjadi dengan pasar modal lainnya di Eropa seperti DAX Index (Jerman), CAC 40 Index (Prancis) dan IBEX 35 Index (Spanyol). Setali tiga uang dengan pasar keuangan, mata uang euro juga mengalami penurunan. Sehari pasca referendum, euro melorot dari 1,14 €/US$ menjadi 1,11 €/US$ atau turun sebesar 2.63 persen. Selain itu keputusan Inggris untuk “bercerai” juga membawa dampak non-ekonomi, Brexit dikhawatirkan akan memicu gelombang referendum susulan pada negara-negara UE lainnya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Merupakan hal yang umum bagi pelaku pasar untuk mencari pasar yang aman ketika terjadi turbulensi. Langkah itu pulalah yang diambil oleh investor ketika Inggris memutuskan untuk meninggalkan UE. Indonesia merupakan salah satu tujuan dari exodus dana ini. Salah satu indikatornya adalah pada pasar modal. IHSG akhirnya berhasil menembus batas psikologi dengan mencetak angka sebesar 5.016,65 pada awal Juli lalu. Indikator lainnya adalah nilai tukar Rupiah baik terhadap euro dan dollar yang terapresiasi.

Berita baik lainnya yang dibawa oleh Brexit adalah menurunnya probabilitas kenaikan suku bunga bank sentral AS (Fed rate). Pada kuartal-I 2016 lalu pertumbuhan ekonomi AS mengalami peningkatan sebesar 0.11 basis poin (dari 1.97 persen menjadi 2.09 persen) , akan tetapi pada bulan Juni lalu tingkat pengangguran AS mengalami peningkatan dari 4.7 persen menjadi 4.9 persen. Pasca Brexit, nilai tukar AS menguat terhadap euro maupun poundsterling (masing-masing menguat sebesar 2,64 persen dan 13,15 persen), kenaikan ini dikhawatirkan akan membuat produk-produk AS menjadi relatif lebih mahal—implikasinya ekspor AS akan mengalami penurunan. Kenaikan fed rate dikhawatirkan akan memperkuat nilai dollar lebih tinggi lagi—artinya ekspor produk AS menjadi semakin tidak kompetitif. Kombinasi dari meningkatnya penganguran dan penguatan dollar inilah yang membuat fed rate kemungkinan tidak akan naik. Melihat hal-hal diatas, maka probabilitas rupiah untuk mengalami penguatan menjadi sangat besar.

Akan tetapi ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan. Berita buruknya adalah perekonomian dunia saat ini masih belum stabil. AS belum benar-benar pulih dari krisisnya, China sudah mulai berkurang appetite-nya (pada kuartal-I 2016 ini perekonomian China turun 0.1 basis poin Q-to-Q dan turun 4.28 persen YoY), dan Brexit menambah ketidakstabilan UE yang juga belum selesai (masalah di Yunani-red). Kombinasi hal-hal di atas dikhawatirkan akan membawa ketidakstabilan terhadap perekonomian global. Dalam pencariannya terhadap ekuilibrium yang baru, Inggris telah cukup mampu membawa beberapa tantangan bagi perekonomian global. Semoga, semua akan baik-baik saja.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.