Memasuki ASEAN Economic Community (AEC) 2015, perekonomian kawasan masih dibayang-bayangi tekanan perekonomian global. The Fed melihat bahwa perekonomian domestik telah mulai stabil sehingga mengambil langkah tapering off yang merupakan kebijakan moneter ketat. Hal ini berdampak pada kecenderungan “keringnya” aliran modal dari Amerika Serikat ke kawasan yang menciptakan depresiasi mata uang nasional lebih dalam dari yang sebelumnya telah terjadi (sebagaimana keseimbangan baru nilai tukar Rupiah yang dialami Indonesia saat ini). Sementara itu dari Uni Eropa, walaupun secara umum kawasan tersebut dapat dikatakan telah melewati periode terburuk dari krisis, namun kinerja perekonomian negara-negara anggota kawasan tersebut masih sangat beragam. Pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut juga belum mampu secara signifikan mendorong pertumbuhan permintaan masyarakatnya terhadap produk-produk global, termasuk dari kawasan ASEAN. Sedangkan Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama negara-negara kawasan ASEAN justru sedang mengalami kecenderungan “pendinginan” perekonomian yang akan berpengaruh pada kinerja perdagangan internasional saat ini.
Instabilitas nasional menjadi tantangan yang semakin penting terhadap perekonomian negara-negara kawasan ASEAN. Instabilitas kawasan ASEAN memiliki berbagai bentuk seperti tantangan politik, tantangan ekonomi bahkan hingga tantangan keamanan. Dampak dari bencana alam hebat yang menghantam Filipina pada tahun 2013, pencabutan berbagai skema subsidi serta penerapan berbagai kebijakan jaminan sosial di negara-negara kawasan, transisi politik yang sedang dialami oleh Indonesia, krisis politik yang terjadi di Thailand, penerapan hukum syariah di Brunei Darussalam, konflik militer terbuka antara Vietnam dan Tiongkok, sengketa kepulauan di kawasan Laut China Selatan antara Tiongkok dengan lebih kurang enam negara anggota ASEAN serta masih belum cepatnya pembangunan infrastruktur adalah beberapa contoh diantaranya. Beberapa contoh tantangan kawasan tersebut menunjukkan bahwa ketidakpastian akan menjadi tantangan laten pemerintah untuk menjaga momentum perekonomian yang ada. Stabilitas nasional menjadi hal yang esensial dalam menjaga daya pikat bagi investor global untuk mengembangkan sektor industri manufaktur. Menjaga stabilitas politik, ekonomi dan menjaga tingkat kepercayaan dari masyarakat dunia adalah “pekerjaan rumah” bagi pemerintah negara-negara ASEAN di tengah tantangan berbagai instabilitas nasional yang terus semakin tinggi intensitasnya.
Menjaga daya saing di tengah tekanan global dan instabilitas domestik menjadi sangat penting demi kesiapan negara kawasan menuju AEC 2015. Daya saing menjadi kata kunci dalam memastikan kesiapan setiap negara di kawasan dalam memasuki AEC 2015. Di tengah berbagai tantangan, baik eksternal maupun internal, pemerintah harus mampu menjaga dan bahkan meningkatkan kemampuan daya saingnya, sehingga ketika “keran” AEC 2015 terbuka maka setiap bagian dari masyarakat kawasan mampu untuk memperoleh manfaat yang optimal.
Tabel 12: Pertumbuhan GDP Negara ASEAN, Constant Price, 1998–Q1 2014 (y-o-y, %)
Pertumbuhan mencatatkan pencapaian lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya
Catatan: rata-rata pertumbuhan untuk periode 1998-1999, 2000-20007, dan 2008-2009
Data Pertumbuhan Q1/2014: Brunei Darussalam, Kamboja, Laos dan Myanmar belum tersedia
Sumber: IMF, CEIC (2014)
Negara-negara kawasan ASEAN belum mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang optimal. Pada kuartal I-2014, capaian pertumbuhan ekonomi negara di kawasan ASEAN secara umum menunjukkan capaian yang masih belum menggembirakan karena masih belum menyiratkan potensi pertumbuhan perekonomian kawasan yang sesungguhnya. Indonesia sebagai kontributor ekonomi terbesar di ASEAN mencatat pertumbuhan ekonomi yang melambat. Sementara Thailand sebagai negara dengan kontributor ekonomi terbesar kedua pada kuartal I-2014 ini, menjadi satu-satunya negara yang mengalami kontraksi perekonomian (-2,10%) di kawasan akibat dari dinamika perpolitikan yang terjadi di negara tersebut. Singapura dan Vietnam walaupun mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif baik, secara umum masih dibawah target yang ditetapkan. Perekonomian kawasan ASEAN secara umum masih ditopang oleh capaian perekonomian Malaysia dan Filipina.
Indonesia sebagai “motor” perekonomian kawasan ASEAN mencatatkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang melambat. Pertumbuhan yang dicapai Indonesia pada Kuartal 1-2014 sebesar 5,21% (y-o-y) atau sebesar 5,56% tanpa Minyak dan Gas adalah tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada Kuartal IV-2013 sebesar 5,72% serta tingkat pertumbuhan tersebut meleset dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu 5,8%. Perlambatan ekonomi ini terutama disebabkan akibat dari penerapan UU Minerba terbaru terutama pada negara-negara tujuan ekspor utama yaitu Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan dampak perekonomian dari penurunan kinerja ekspor tersebut tidak mampu diimbangi oleh sumbangan ekonomi dari proses “pesta demokrasi” atau Pemilihan Umum Legislatif yang terjadi di Indonesia pada periode ini. Penjaga perekonomian Indonesia dari perlambatan pertumbuhan yang lebih dalam dikarenakan masih kuatnya permintaan konsumsi dalam negeri seiring dengan pertumbuhan kelompok menengah di Indonesia.
Filipina masih pencetak pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan. Walaupun dampak dari bencana gempa bumi dan Topan Haiyan di tahun 2013 yang lalu masih membuat kinerja perekonomian Filipina belum mencapai potensi optimalnya, namun pada kuartal I-2014, Filipina berhasil mencetak pertumbuhan ekonomi (y-o-y) sebesar 5,7%. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini merupakan pertumbuhan peringkat ketiga tercepat di Asia, setelah Tiongkok yang mencatatkan pertumbuhan pada kuartal I-2014 sebesar 7,4% dan Malaysia sebesar 6,2%. Keberhasilan Filipina menjaga momentum ekonominya pasca peristiwa bencana alam yang merusak berbagai infrastruktur dan industri kelapa yang cukup dominan di Filipina, adalah dengan mendorong pertumbuhan sektor jasa. Menurut Phillipines National Statistics Coordination (NSC), pertumbuhan sektor jasa pada kuartal I-2014 berhasil mencatat pertumbuhan 3,8% dibandingkan dengan sektor industri dan pertanian yang berturut-turut hanya mampu mencatat pertumbuhan 1,8% dan 0,1%.
Tabel 13: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2000-2014* (y-o-y, %)
Kenaikan harga barang publik utama dan terhambatnya jalur logistik antar negara menjadi penyebab utama masih tingginya tingkat inflasi di kawasan
Catatan: Data-data untuk Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, dan Myanmar, adalah posisi per-April 2014 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam adalah posisi per-Mei 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)
Permotongan berbagai skema subsidi memberikan kontribusi pada capaian tingkat inflasi yang relatif masih tinggi di kawasan. Dampak dari pemotongan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi di Indonesia dan pemotongan subsidi BBM dan gula di Malaysia pada tahun 2013 yang lalu masih memberikan dampak pada capaian inflasi di awal tahun 2014 ini. Pemotongan subsidi ini ternyata secara umum belum mampu memberikan dampak pada pola konsumsi masyarakat yang terus tetap tumbuh, sehingga ikut mendorong inflasi untuk tetap relatif tinggi di berbagai negara di kawasan ASEAN.
Instabilitas politik di kawasan ikut menyumbang pada kenaikan harga-harga secara umum. Krisis politik di Thailand yang juga dibayang-bayangi oleh memanasnya situasi politik di kawasan Laut China Selatan turut memberikan dampak pada harga-harga barang secara umum. Thailand yang merupakan salah satu lokasi transit berbagai produk-produk Tiongkok di kawasan mengalami permasalahan pada jalur distribusi, selain dikarenakan transportasi laut yang relatif dihindari di kawasan Laut China Selatan juga krisis politik di Thailand. Situasi ini mendorong teradinya hambatan pada sistem logistik kawasan yang ikut menunjang kenaikan harga-harga barang secara umum.
Tabel 14: Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009-2014 (y-o-y, %)
Kawasan ASEAN masih menjadi destinasi favorit investasi pasar saham
Catatan: Data posisi 2 Januari dan 30 Mei 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)
Investasi dalam bentuk saham masih menjadi daya tarik kawasan ASEAN. Berbeda dengan kecenderungan pada indikator-indikator ekonomi makro lainnya di kawasan, kinerja pasar saham ASEAN cenderung menunjukkan geliat yang positif. Dalam kuartal I-2014 ini, tercatat tiga negara yang mengalami pertumbuhan indeks saham hingga dua digit yaitu Indonesia (14,5%), Filipina (12,87%) dan Viet Nam (11,37%), bahkan Thailand yang mengalami krisis perpolitikan juga mampu mencatatkan pertumbuhan pasar saham hingga hampir mencapai dua digit (9,10%). Portofolio pasar saham di negara ASEAN yang mayoritas anggotanya adalah perusahaan swasta -kecuali di kawasan Indo-China yang umumnya masih didominasi perusahaan milik negara- menunjukkan secara umum bahwa investor global masih melihat potensi ekonomi yang besar dari aktor usaha swasta di negara ASEAN.
Tabel 15: Nilai Tukar Mata Uang ASEAN Terhadap USD, 2009-2014 (y-o-y, %)
Penguatan nilai tukar negara kawasan tidak secepat yang diharapkan
*= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang
Catatan: Data tersaji pada posisi 30 Mei 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Catatan: Angka (+) menunjukkan apresiasi mata uang dan angka (-) menunjukkan depresiasi mata uang.
Sumber: Bloomberg (2014)
Hingga kuartal I-2014, penguatan nilai tukar mata uang di kawasan belum secepat yang diharapkan. Kinerja mata uang negara-negara kawasan masih menunjukkan laju yang belum dapat mengkompensasi kecepatan penurunan nilai tukar sepanjang tahun 2013 yang lalu. Bahkan untuk Kamboja, Laos dan Vietnam ada kecenderungan nilai tukar mata uang akan terus memburuk. Situasi ini menunjukkan bahwa investor melihat ASEAN sebagai kawasan yang belum menunjukkan tren yang menjanjikan untuk memberikan gain pada investor melalui kegiatan investasi di foreign exchange market.
Kebijakan tapering off yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan defisit neraca perdagangan negara kawasan memberikan imbas negatif pada nilai tukar mata uang kawasan. Kebijakan tapering off yang dilakukan oleh The Fed di Amerika Serikat memberikan dampak pada terbangunnya sentimen positif untuk memiliki mata uang Dolar Amerika Serikat yang pada kelanjutannya memberikan tekanan pada nilai tukar mata uang di kawasan ASEAN. Rencana kenaikan suku bunga di sektor perbankan di Amerika Serikat sebagai bagian dari skema tapering off The Fed mendorong berbagai investor untuk mengalihkan investasi portofolio mereka keluar dari kawasan negara berkembang. Situasi tersebut kemudian diperparah dengan masih belum normalnya perdagangan internasional sehingga negara-negara di kawasan ASEAN masih mengalami defisit neraca perdagangan. Berbagai situasi global ini pada akhirnya memberikan tekanan berat pada mata uang negara-negara ASEAN.