Cita-Cita Swasembada Daging Sapi: Realistiskah?
Setelah sebelumnya terkena imbas lesunya perekonomian global, kini perekonomian Indonesia sedang “mengencangkan ikat pinggang”—bersiap menghadapi persoalan klasik tahunannya, yakni naiknya inflasi menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1437 H di tahun 2016. Pemicunya masih sama, yaitu keterbatasan kapasitas produksi domestik dalam memenuhi kenaikan permintaan. Ini menyebabkan harga komoditas-komoditas penting melonjak di pasaran.
Pada bulan April lalu, terjadi deflasi sebesar 0,45 persen secara month-to-month. Angka tersebut merupakan yang terendah semenjak bulan Maret tahun 2000. Memasuki bulan Mei, kembali terjadi inflasi yang tercatat di angka 0,24 persen seiring naiknya beberapa harga komoditas pangan. Begitu juga dengan komponen inflasi harga bergejolak dan inflasi kelompok makanan yang masing-masing naik ke 0,32 persen dan 0,30 persen, setelah sebelumnya tercatat negatif atau deflasi. Ini merupakan sinyal bahwa perekonomian akan kembali “memanas”, seiring datangnya bulan puasa yang jatuh pada minggu pertama di bulan Juni.
Repatriasi Dana dan Konsekuensinya
Rencana ratifikasi RUU pengampunan pajak atau tax amnesty yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi terus menjadi sorotan sejak awal tahun 2016 ini. Di samping isu normatif terkait kebijakan tersebut (karena beberapa pihak memandang tax amnesty sebagai suatu sikap yang kontradiktif dengan penegakkan hukum perpajakan), berbagai konsekuensi yang mungkin timbul setelahnya juga kerap naik ke permukaan.
Motif awal pemerintah melalui Kementerian Keuangan dalam mengimplementasikan kebijakan pengampunan pajak ini sebenarnya cukup jelas, yakni untuk menutup defisit anggaran yang sempat melampaui target pada akhir tahun 2015. Diharapkan dengan adanya pengampunan pajak ini, dana yang sebelumnya “tak kasat mata” di save haven countries—negara-negara suaka pajak—akan kembali ke Indonesia. Kembalinya dana dari luar negeri tersebut (repatriasi dana) akan meningkatkan tax base dan menjadi semacam “solusi cepat” guna mendongkrak penerimaan pajak negara.
Tax Amnesty dan Perangkap Fiskal 2016
Kebijakan fiskal Pemerintah Jokowi kembali menjadi sorotan setelah tax amnesty diwacanakan. Tax amnesty direncanakan untuk menambal defisit anggaran karena keterbatasan penerbitan utang baru. Sementara itu, target penerimaan pajak masih terlalu ambisius.
Target penerimaan pajak (minus bea dan cukai) dalam APBN 2016 tercantum sebesar Rp1.360 triliun, naik 9,25 persen dari APBNP 2015. Hingga Februari 2016, realisasi penerimaan pajak (minus bea dan cukai) APBN 2016 sebesar Rp124 triliun, atau baru 9 persen. Pencapaian tersebut lebih rendah dari Februari 2015 dengan realisasi 10,5 persen. Hal ini tentu menjadi sinyal buruk, mengingat kondisi ekonomi Indonesia sudah berangsur membaik sejak kuartal III-2015, dan menimbulkan pertanyaan bagaimana realisasi penerimaan pajak di akhir tahun 2016. Sebagai gambaran, pada Desember 2015, realisasi penerimaan pajak (minus bea dan cukai) APBNP 2015 tercatat hanya 82 persen, sedangkan untuk keseluruhan pendapatan pajak terealisasi 83,3 persen. Hasil itu pun didapatkan Direktorat Jenderal Pajak dengan bekerja sangat keras di penghujung tahun.