Perkembangan Fiskal
Kinerja perekonomian nasional di tahun 2014 mengalami perlambatan akibat dari tekanan ekonomi dari dalam dan luar negeri. Ketidakpastian di masa transisi pemerintahan dalam negeri saat itu membuat para pelaku ekonomi masih enggan untuk merealisasikan kegiatan bisnisnya dan lebih mengambil strategi “wait and see” berharap akan ada sedikit kepastian. Hal ini diperparah dengan krisis keuangan global yang nampaknya belum akan mencapai keseimbangan baru dalam waktu dekat. Alhasil, capaian kinerja ekonomi makro kebanyakan relatif meleset dari target atau asumsi yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tilik saja, pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,1%, inflasi relatif tinggi 8,36%, nilai tukar IDR 11.878 per USD, suku bunga SPN 3 bulan rata-rata 5,8%, harga minyak Indonesia USD 97 per barel.
Mengurai Sasaran Makro RPJMN Jokowi
Sebagai salah satu dokumen yang paling ditunggu oleh publik, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencerminkan aspirasi dua arah: visi Presiden dan pendekatan praktis-teknokratik. RPJMN 2015-2019 secara garis besar diawali paparan kondisi kebangsaan dan pembangunan selama beberapa tahun terakhir, diikuti dengan kerangka kebijakan dan sasaran pembangunan ke depan, dan ditutup dengan agenda pembangunan dan kaidah pelaksanaan. Karena RPJMN merupakan bentuk kompromi politik-teknokratik, maka “rasa” dari RPJMN tiap periode menjadi berbeda-beda dan kental dipengaruhi apa yang diinginkan oleh presiden terpilih.
Pertimbangan Fiskal dan Nonfiskal dalam Kebijakan Pemberdayaan Aparatur Negara
Salah satu gebrakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah moratorium penerimaan CPNS selama lima tahun ke depan. Kebijakan ini jelas memiliki implikasi fiskal berupa perkiraan turunnya beban belanja pegawai hingga sebesar 30 persen dari APBN atau sekitar Rp70 triliun per tahun. Apabila hanya melihat dari perspektif keuangan negara tentu penurunan beban belanja negara ini berarti pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas. Namun tepatkah kebijakan ini apabila dilihat dari kacamata yang lebih lebar seperti pendayagunaan aparatur negara?
Kebijakan pendayagunaan aparatur negara semestinya merupakan kebijakan komprehensif untuk “mendayagunakan aparatur negara” dan kebijakan moratorium ini hanyalah upaya membeli waktu agar pemerintah dapat fokus merencanakan strategi pendayagunaan para pengawal birokrasi ini. Misalnya bagaimana menempatkan para aparatur negara sesuai kebutuhan baik dilihat dari sisi kompetensi maupun lokasi, dan tidak hanya dilihat dari sisi fiskal saja. Selain itu, meskipun memberi ruang fiskal yang lebar, namun kebijakan moratorium menyebabkan generation gap akibat hilangnya tenaga muda birokrasi selama 5 tahun ke depan. Munculnya generation gap ini tentu mengkhawatirkan karena para tenaga muda birokrasi ini biasanya memiliki semangat dan idealisme tinggi serta skill yang dibutuhkan untuk kerja birokrasi modern.
Oleh karena itu kebijakan pendayagunaan aparatur negara lain yang perlu didorong adalah program pensiun dini yang dikaitkan langsung dengan kinerja aparatur, misalnya dikaitkan dengan analisis beban kerja dan kebutuhan pegawai. Program pensiun dini saat ini masih diberlakukan secara sukarela dan terfragmentasi yang artinya kebijakan ini masih belum menjadi mainstream kebijakan di tingkat nasional. Selain itu, program pensiun dini yang tidak dikaitkan dengan kinerja aparatur berpotensi menghilangkan aparatur yang kompeten. Tentu beban fiskal juga tentu akan meningkat seiring makin banyaknya pensiunan, namun hal ini bisa diantisipasi apabila program pensiun dini sudah jelas pengaturan dan perkiraan jumlah orang yang akan dipensiunkan.
Kebijakan pendayagunaan aparatur negara dan fiskal juga erat terkait dengan sistem pensiun. Saat ini Indonesia masih menerapkan sistem pay-as-you-go (PAYG) dimana tiap tahun pemerintah mengalokasikan anggaran dalam APBN (sebagai tambahan atas iuran pensiun yang dibayarkan PNS tiap bulannya) untuk dibayarkan kepada para pensiunan. Meskipun relatif praktis, namun sistem ini membebani APBN hingga mencapai Rp85,7 triliun atau sekitar 4,72% belanja negara pada tahun 2014. Sistem yang tidak fully funded seperti ini sudah jarang ada di dunia dan pemerintah negara tetangga di ASEAN bahkan turut berkontribusi yang besarnya sekitar 10% dari penghasilan. Lebih penting lagi, UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jelas menyebutkan bahwa sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS yang bersangkutan.
Hitungan cepat dari Tim MacroDash memperkirakan dana yang murni dihimpun dari iuran pensiun hanya cukup untuk membayar pensiun selama sekitar 3 tahun setelah pensiun. Sehingga seorang PNS yang pensiun pada usia 60 tahun harus ditalangi pembayaran pensiunnya oleh pemerintah selama 8 tahun dengan asumsi usia harapan hidup mencapai 71 tahun. Angka ini konservatif karena mengasumsikan besar pensiun 50-75% dari gaji pokok meskipun anecdotal evidences menyatakan besar pensiun hanya sekitar 25% dari gaji pokok. Sementara itu jika pemerintah berkontribusi (fully funded) sama besar dengan iuran PNS, dan diasumsikan besar manfaat pensiun yang dibayarkan sama dengan sistem PAYG, maka dana pensiun yang dihimpun diperkirakan cukup hingga 12 tahun setelah pensiun.
Satu pekerjaan rumah besar terkait penerapan sistem fully funded ini adalah integrasi dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sementara itu UU No. 24 tahun 2011 mengamanahkan transformasi program tabungan pensiun PNS melalui PT Taspen dilakukan paling lama tahun 2029, artinya pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan sistem pensiun fully funded yang lebih manusiawi ini. Saat ini PT Taspen sebagai lembaga pengelola iuran pensiun mengakui bahwa secara kelembagaan mereka belum siap beralih ke sistem fully funded dan membutuhkan suntikan dana dari pemerintah sebagai modal awal pembentukan dana pensiun. Oleh karena itu proses transformasi dan integrasi ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat banyaknya permasalahan kelembagaan di sistem jaminan sosial kesehatan (BPJS Kesehatan) yang bisa dijadikan pelajaran.
Sebagai penutup, kebijakan pendayagunaan aparatur negara dapat dilihat dari perspektif fiskal maupun nonfiskal. Kebijakan moratorium penerimaan CPNS, misalnya, jelas memiliki implikasi penghematan anggaran negara, namun kebijakan ini juga harus dilihat sebagai satu dari sekian kebijakan pendayagunaan aparatur negara. Contoh lain, kebijakan pensiun dini berpeluang membebani negara namun di sisi lain apabila kebijakan ini dikaitkan dengan kinerja maka diharapkan akan terjadi organisasi birokrasi yang lebih efektif. Sistem fully funded lebih manusiawi mengingat iuran pensiun PNS dihitung dari persentase gaji pokok yang besarnya acap kali jauh dibawah take home pay income dan tidak terlalu membebani keuangan negara meskipun pemerintah harus memberi setoran modal awal pembentukan dana pensiun yang akan dikelola PT Taspen (atau badan lain yang ditunjuk). Terakhir, harus dipertimbangkan pula opportunity cost kontribusi dana pensiun dari pemerintah kepada PNS mengingat jumlah PNS hanya sekitar 4% dari total pekerja, padahal sekitar 63% pekerja bekerja di sektor informal. Oleh karena itu Tim MacroDash merekomendasikan agar pemerintah segera bergerak lebih dari sekedar melakukan moratorium penerimaan CPNS dan segera mencari jalan tengah dalam mencari keseimbangan fiskal dan nonfiskal dalam isu pensiun dini maupun sistem dana pensiun di Indonesia.