Menyongsong ASEAN Economic Community 2015 dengan Penuh Keraguan
Kesiapan Menuju AEC 2015: Ditengah Tantangan Internal dan Eksternal
Sepuluh negara-negara anggota ASEAN (Assosiation of South East Asian Nation) akan segera memasuki tahapan baru dalam perekonomian kawasan yang dikenal sebagai ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015), dimana pada tahapan perekonomian ini menjadi tonggak resmi terjadinya pembebasan arus faktor produksi tenaga kerja terampil dan investasi pada ruang lingkup kawasan Asia Tenggara. Namun dalam menyongsong situasi perekonomian yang sangat ambisius tersebut, masih terdapat banyak indikator perekonomian yang masih belum menunjukkan tanda-tanda positif yang menjanjikan bagi perekonomian kawasan dalam memasuki era awal implementasi AEC 2015. Belum disepakatinya harmonisasi tarif eksternal untuk perdangan non-anggota, sementara akan terjadi aliran bebas faktor produksi tenaga kerja terampil dan modal, akan menyisakan pertanyaan besar terkait masalah-masalah yang mungkin muncul.
Prospek dan Tantangan Pemerintahan yang Baru
Di bulan Agustus, paling tidak ada 2 tanggal penting dan menarik serta menjadi perhatian masyarakat, yakni: pertama, 17 Agustus 2014, hari HUT RI ke 69 dan sekaligus diluncurkannya uang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan kedua, tg 21 Agustus 2014, yang ditandai dengan keluarnya keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan Presiden dan Wakil Presidan terpilih (Joko Widodo dan Jusuf Kala). Munculnya mata uang NKRI tidak saja sebagai perujudan UU No.7/2011 tentang Mata Uang, tetapi sekaligus merupakan tonggak perubahan penting mengenai konsep uang di Indonesia dari uang Bank Indonesia (UBI) menjadi uang NKRI (UNKRI). UBI—yang selama ini dikenal dan digunakan sebagai media pertukaran, alat pembayaran dan pengukur nilai—atau uang kartal BI merupakan kewajiban moneter otoritas moneter (BI) kepada masyarakat. Jadi memang sungguh luar biasa otoritas yang dimiliki BI, padahal BI hanyalah lembaga negara yang independen terhadap pemerintah. Di sisi lain, munculnya uang NKRI (UNKRI) berarti yang mempunyai kewajiban moneter kepada masyarakat adalah Negara yakni NKRI yang diwakili oleh pemerintah (c.q. Menteri Keuangan) dan lembaga negara BI. UNKRI tidak saja sebagai uang kartal tetapi juga menunjukan keberadaan negara dalam semua sendi dan sisi kehidupan serta kegiatan ekonomi masyarakat selama mereka berada di NKRI. Memang munculnya UNKRI dapat memberi indikasi semakin berkurangnya otoritas dan independensi yang dimiliki Bank Indonesia setelah lahirnya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan penetapan target inflasi oleh pemerintah (Insukindro, 2009). Namun, langkah tsb penting dan harus dilakukan agar biaya pencetakan dan jumlah uang yang dicetak, misalnya, tidak saja dapat diketahui oleh BI dan pemerintah tetapi juga oleh masyarakat melalui wakil-wakil mereka di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Di masa yang akan datang, rasanya akan lebih baik lagi jika jumlah UNKRI yang dicetak dan diedarkan juga dikaitkan dengan rencana pembangunan negara baik yang tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) maupun RAPBN (Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Dua hal yang disebut terakhir, tentunya akan tercermin dalam neraca interen (internal balance) seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kestabilan sistem keuangan, dan neraca eksteren (external balance), seperti keseimbangan neraca pembayaran internasional. Tentu saja semua ini perlu pula diwujudkan dalam perubahan Undang-Undang Bank Indonesia.
Membangun Optimisme Ekonomi Kepemimpinan Nasional
Muhammad Edhie PURNAWAN, PhD1
Berikut ini adalah pandangan saya mengenai judul di atas. Semaksimal mungkin, penulis menghindarkan diri dari sitasi-sitasi yang menjauhkan tulisan ini dari gagasan asli penulis serta menghindarkan diri dari padding yang akan mengaburkan gagasan orisinal.
Membangun perekonomian Indonesia yang optimistik adalah membangun sumber daya manusianya. Sumber daya manusia ini saya bagi menjadi dua aspek. Pertama adalah aspek kerja-kerasnya, dan ini diarahkan terutama untuk menjaga stabilitas perekonomian. Dengan kerja keras yang optimal maka orang akan mendapatkan penghasilan cukup untuk memenuhi penghidupannya sehingga perekonomian nasional dalam tataran agregat menjadi stabil. Kedua, membangun manusia melalui optimisme otak kanannya. Ini artinya adalah bekerja dengan innovation, creativity, dan loncatan productivity. Kapasitas pengembangan diri manusia secara umum sesungguhnya baru mencapai 25%. Karena itu, 75% sisanya yang belum dikembangkan dapat diberdayakan untuk meningkatkan produktivitas nasional. Inilah mengapa kita harus meningkatkan semaksimal mungkin nilai tambah per unit sumber daya manusia supaya perekonomian mampu tumbuh jauh di atas nilai rata-ratanya.
Mengapa saya fokus kepada aspek sumber daya insani ini? Karena sumber daya inilah yang sebenar-benarnya merupakan central-gravity dan pusat utama roda penggerak perekonomian nasional. Dengan sumber daya manusia yang berdaya-juang kuat, niscaya faktor produksi lainnya seperti kapital, tanah, dan teknologi menjadi jauh lebih produktif yang diubah olehnya sedemikian rupa sehingga memiliki nilai tambah yang mahabesar. Sebaliknya, dengan sumber daya manusia yang lemah, maka tiga faktor produksi lain tersebut tak akan meningkat pesat nilai tambahnya.
Membangun lonjakan nilai tambah sumber daya manusia berarti pula membangun perekonomian yang unggul. Hal ini bisa dimulai dengan mengembangkan tiga jenis kekuatan. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan kejujuran. Kekuatan yang kedua adalah kekuatan inovasi/imaginasi, dan kekuatan ketiga adalah kekuatan network. Dengan tiga jenis kekuatan ini, Indonesia akan menjadi bangsa yang kompetitif, tumbuh pesat, dan percaya diri menghadapi bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dahulu maju. Penjelasan ketiga kekuatan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kekuatan kejujuran. Kekuatan jenis ini adalah fondasi dasar dari segala jenis pembangunan sumber daya manusia. Dengan kekuatan kejujuran ini, maka bangunan ekonomi akan menjadi sangat kokoh. Tak mudah digoyang gempa, diterpa badai dan tak rontok diterjang bencana apapun. Tanpa kekuatan kejujuran sebagai fondasi, maka bangunan ekonomi yang berada di atasnya, meski terlihat megah nan kokoh, akan mudah roboh. Karena itu, jangan pernah menunda kejujuran karena kejujuran adalah ibu dari segala macam kebaikan.
Kedua, kekuatan inovasi/imaginasi. Bayangkan saja dua peristiwa ini. Pertama adalah peristiwa Korea Selatan. Negara ini berdasarkan sejarah loncatan nilai tambahnya telah menaruh perhatian luar biasa pada inovasi teknologi semikonduktor. Founding fathers negara ini dahulu telah menancapkan gagasan besar semikonduktor untuk pembangunan industri dasarnya. Sekarang kita saksikan, inovasi semikonduktor ini telah melaju dahsyat menjadi industri telekomunikasi yang menggurita seperti Samsung dan LG serta industri otomotif yang spektakuler seperti Hyundai, Daewoo dan Kia. Rahasia terbesar mereka sehingga mampu melompat seperti saat ini adalah kekuatan inovasi technopreneur yang membudaya. Peristiwa kedua, adalah fenomena Steve Jobs. Dengan biaya produksi hanya sekitar 10 dollar US, iPhone dijual seharga 400 dollar US. Artinya, imaginasi lompatan nilai tambah 390 dollar adalah inovasi yang luar biasa, bukan keringat. Kecerdasan jenis ini tak akan pernah bisa disemai hanya melalui pengumpulan pengetahuan, namun dengan pengembangan daya imaginasi.
Setelah jujur dan penuh inovasi memanfaatkan daya imaginasi, maka kekuatan ketiga adalah kekuatan network. Tak akan pernah ada burung terbang sangat jauh melewati batas wilayah negara hanya dengan sayap-sayapnya sendiri. Karena itu, kekuatan network menjadi sedemikian sentral dalam pembangunan ekonomi. Dengan kekuatan ini maka sebuah bangsa tak hanya akan dikenal, namun juga akan dijadikan sahabat baik. Untuk menjadi sahabat baik diperlukan interpersonal skill yang baik. Menanamkan pola pikir yang didasari penghargaan kepada pihak lain adalah syarat utama membangun network yang luas. Telah terbukti sepanjang sejarah peradaban bahwa hubungan antarmanusia yang sangat baik mampu menghantarkan individu maupun institusi terbang tinggi. Karena itu, networking yang baik adalah syarat mutlak lompatan nilai tambah ekonomi.
* * *
Memandang dua calon pemimpin nasional yang bertarung saat ini (Prabowo vs Jokowi), saya menyampaikan gagasan supaya keduanya fokus dan antusias pada peningkatan nilai tambah manusia yang disuntikkan ke dalam perekonomian nasional. Hal ini bisa dimulai dari paradigma dan konsep dasar yang melambungkan nilai tambah dan setelah itu harus mampu mencari teknik implementasinya, sehingga bisa menggerakkan secara cepat roda perekonomian nasional. Keringnya paradigma dan konsep maupun visualisasi pencapaian nilai tambah yang berasal dari sumber daya manusia ini telah menjadi akut pada bangsa ini. Selayaknya, pemimpin nasional ke depan selain menjadi the father of central gravity, maka dia juga harus punya pemikiran besar yang dapat menggerakkan perekonomian dengan lonjakan yang besar, dan memecahkan kebuntuan solusi persoalan peningkatan nilai tambah sumber daya manusia. Karena itu, kunci utama pada semua jenis pintu-pintu pembangunan ekonomi nasional sejatinya terletak pada sumber daya manusianya dan ledakan nilai tambahnya. Setelah itu: Silakan kencangkan sabuk pengaman Anda, lalu dengan penuh optimistis kita saksikan, perekonomian nasional kita akan melaju dengan sangat kencang. InsyaAllah.