Melemahnya nilai tukar rupiah dan merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan membuat panik pelaku bisnis. Pengusaha tahu-tempe, barang elektronik, dan sejumlah usaha yang memiliki kandungan impor tinggi mulai berteriak karena dollar tinggi. Benarkah faktor eksternal semata ataukah fundamen ekonomi Indonesia yang “rapuh” sehingga rawan terhadap guncangan eksternal?
Gambar 24 : Perkembangan Kurs dan IHSG pada masa SBY
Penyebab utama anjloknya IHSG dan terpuruknya nilai tukar rupiah sebetulnya adalah struktur ekonomi kita yang sejak lama ”tidak sehat”, tetapi diberi obat yang tak cespleng. Tanpa perubahan mendasar kebijakan makro dan sektoral, ancaman krisis di pasar modal dan valas, cepat atau lambat akan merembet ke semua sektor, termasuk pasar tradisional dan UMKM. Selama kurun 1 Januari-23 Agustus 2013, nilai tukar rupiah melemah sekitar 12 persen terhadap dollar AS dan IHSG melorot sekitar 4,1 persen. Pada 23 Agustus 2013, kurs rupiah bertengger di angka IDR 10.848 per USD dan IHSG pada 4.169,83 (lihat Gambar 24). Bahkan pada tanggal 28 November 2013, kurs rupiah merosot hingga IDR 11.870-11.990 per USD, atau mengalami depresiasi sekitar 24% dalam satu tahun. Bandingkan dengan awal 2013, saat kurs IDR 9.685 dan IHSG 4.346,48.
Faktor Eksternal
Dari sisi eksternal, ada beberapa faktor di balik rentannya pasar valas dan modal kita. Pelemahan rupiah dipengaruhi sentimen negatif terkait dengan meningkatnya ketidakpastian global akibat pertumbuhan ekonomi dunia cenderung turun. Sejak Januari 2012, rupiah terdepresiasi terus-menerus, dari IDR 9.000-an awal Januari 2012 menembus di atas IDR 11.000 per USD minggu terakhir Agustus 2013. Rupiah dan rupee India melemah paling tajam dua minggu terakhir akibat banyak investor asing menarik investasi mereka di Asia seiring dengan rencana bank sentral AS (The Fed) mengurangi kebijakan quantitative easing (QE).
QE adalah kebijakan moneter yang diterapkan The Fed untuk mendorong perekonomian karena kebijakan moneter yang standar menjadi tak efektif dan suku bunga sudah amat rendah mendekati nol. Caranya, The Fed membeli sejumlah aset finansial (obligasi jangka panjang dan US Treasury Notes) di bank komersial ataupun lembaga keuangan lain. The Fed melakukan QE yang pertama (QE1) pada 25 November 2008 hingga akhir Maret 2010, tadinya hanya 600 miliar dollar AS, tetapi akhirnya mencapai USD 1,75 triliun. Pada tahap kedua (QE2), The Fed membeli USD 600 miliar selama November 2010-Juni 2011. Pada 12 September 2012, The Fed mengumumkan akan membeli surat berharga jangka panjang USD 40 miliar per bulan.
Gejolak di Bursa Efek Indonesia (BEI), banyak terpengaruh program QE AS, telah mendorong investor membeli aset-aset berisiko, terutama yang dimiliki negara berkembang, termasuk Indonesia. Setelah QE1, QE2, dan QE3 diberlakukan, terjadi tren yang sangat bullish pada indeks Dow Jones dan IHSG (lihat Gambar 25). Namun, sebaliknya apabila QE dikurangi, likuiditas di pasar AS menurun seiring dengan dikuranginya pembelian aset. Hal ini membawa performa indeks saham negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memasuki tren bearish seiring keluarnya dana asing. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia, kepemilikan saham asing per kuartal II-2013 adalah 57-58%dari total saham yang diperdagangkan di BEI.
Gambar 25 : Pergerakan Nilai Kurs IDR/USD, IHK, dan Indeks Dow Jones
Sumber: Kemenkeu (2013); BI (2013)
Penyakit Kronis
Faktor internal yang memperburuk adalah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang masih berlanjut (lihat Tabel 7). Inilah penyakit kronis yang menggerogoti ekonomi kita dan membuat tak sehat. Statistik BPS 1 Agustus 2013 mencatat nilai ekspor Indonesia Juni 2013 mencapai USD 14,74 miliar, turun 8,63% dibandingkan dengan Mei 2013, atau penurunan 4,54% dibandingkan dengan Juni 2012. Ekspor migas turun 5,81% (dari USD 2.926,3 juta menjadi USD 2.756,3 juta), sedangkan ekspor nonmigas merosot 9,26%(dari USD 13.207,1 juta menjadi USD 11.984,4 juta). Meski harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari USD 99,01 menjadi USD 99,97 per barrel selama Mei-Juni 2013, volume ekspor migas Juni 2013 dibandingkan dengan Mei 2013 untuk minyak mentah dan hasil minyak turun 21,6%dan 4,2%, gas naik 4,2%. Secara kumulatif, ekspor Indonesia Januari−-Juni 2013 sebesar USD 91,05 miliar, turun 6%dibandingkan dengan periode sama pada 2012.
Tabel 10: Neraca Pembayaran Indonesia, 2011-2013.Q3
Sumber: Bank Indonesia (2013)
Selama beberapa tahun terakhir, hampir semua produk dan sektor Indonesia mengalami penurunan kinerja dari surplus menjadi defisit perdagangan. Jika tadinya defisit perdagangan hanya dialami sektor migas, mulai triwulan II-2013 neraca perdagangan defisit USD 0,6 miliar akibat penurunan kinerja ekspor nonmigas dan neraca perdagangan migas terus defisit. Defisit ini pertama kali terjadi selama tiga dasawarsa terakhir. Penyebabnya adalah menurunnya lifting minyak, hingga kini kita importir neto minyak, dan iklim investasi sektor migas yang kurang mendorong eksplorasi ladang minyak baru. Menurunnya ekspor nonmigas disebabkan banyaknya perusahaan yang menutup usaha akibat krisis global ataupun kalah bersaing dengan negara-negara pengekspor produk sama. Selain itu, harga dan permintaan komoditas ekspor di pasar internasional masih cenderung menurun akibat pelambatan ekonomi di negara mitra dagang utama kita.
Masalah mendasar perdagangan kita adalah menurunnya kinerja perdagangan dan lemahnya daya saing produk ekspor. Pemerintah perlu menyelesaikan sejumlah ”pekerjaan rumah” terkait dengan rantai ekspor dan sejumlah faktor penyebab ekonomi biaya tinggi. Setidaknya masalah yang masih belum dipecahkan dengan tuntas adalah; pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan masih tertinggi di ASEAN. Ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar yang minimal 7,5%dari biaya ekspor masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perizinan, baik di pusat maupun daerah. Ketiga, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen seluruh industri, sebesar 28-90%. Masalah industri lainnya mencakup lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri masih banyak bertipe ”tukang jahit” dan ”tukang rakit”. Padahal kontribusi ekspor produk industri terhadap ekspor nonmigas 62%.
Membaca laporan Bank Dunia yang berjudul Doing Business 2014 (DB2014), Indonesia menempati peringkat 120 dari 189 negara. Ini menurun 4 tingkat dibanding tahun sebelumnya yang menempati peringkat ke-116. Bagi para pengambil keputusan, DB2014 menyajikan bagaimana kemudahan berbisnis di suatu negara dibanding negara lain. Dibanding negara tetangga kita di ASEAN, peringkat Indonesia menempati posisi paling bawah. Malaysia melakukan banyak reformasi kebijakan hingga menempati peringkat ke-6, diikuti Thailand dan Filipina yang masing-masing berada peringkat 18 dan 108. DB2014 mencatat indikator yang masih buruk terutama adalah memulai bisnis, melaksanakan kontrak, mengatasi insolvensi, membayar pajak, dan mendapatkan listrik. Memulai bisnis di Indonesia masih membutuhkan 10 prosedur, memakan waktu 48 hari, memakan biaya hingga 20,5% dari pendapatan per kapita, dan memerlukan modal minimal yang dibayar 38,5% dari pendapatan per kapita.
Faktor internal lain yang perlu dicermati adalah utang swasta yang sebagian besar akan jatuh tempo September 2013. Jumlah kumulatif utang yang jatuh tempo sekitar USD 25,6 miliar. Saat ini total utang luar negeri Indonesia (pemerintah, BI, swasta), telah mencapai 250 miliar dollar AS. Masalahnya, total utang luar negeri ini didominasi swasta yang berjumlah USD 133 miliar. Melorotnya nilai tukar rupiah berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valas. Apalagi 20-22%utang luar negeri swasta nasional, atau USD 26,8 miliar – USD 29,5 miliar, belum memiliki lindung nilai (hedging). Defisit transaksi berjalan tercatat meningkat relatif tinggi. Neraca transaksi berjalan, atau sering disebut current account, mencatat bukan hanya neraca perdagangan barang, melainkan juga neraca jasa, penghasilan, serta transfer berjalan. Defisit terjadi karena didorong terus menurunnya ekspor akibat pelambatan ekonomi global, penurunan tajam harga komoditas global, di tengah masih tingginya impor, baik migas maupun nonmigas. Defisit transaksi berjalan juga dipengaruhi pembayaran bunga utang yang cukup besar pada triwulan II-2013.
Rasio defisit transaksi berjalan terhadap PDB melonjak di atas 3%. Ini menurunkan cadangan devisa, yang akhir Juli 2013 tercatat USD 92,67 miliar atau setara 5,1 bulan impor. Bandingkan dengan posisi cadangan devisa pada akhir tahun 2006 yang hanya sebesar USD 34,7 milyar, merayap naik menjadi USD 55,1 miliar pada 7 Desember 2007, dan melonjak selama 2011-2012 menjadi sekitar USD 110-113 milyar. Laporan Neraca Pembayaran BI edisi Agustus 2013 memberikan peringatan bahwa tingkat kecukupan cadangan devisa untuk memenuhi kewajiban luar negeri jangka pendek menurun.
Butuh Obat ”Cespleng”
Pemerintah dan BI merespons dengan menyampaikan paket kebijakan penyelamatan ekonomi, meliputi paket kebijakan fiskal, moneter, pasar modal, hingga industri, yang mencakup 13 langkah (Kompas, 23/8). BI menerbitkan sejumlah kebijakan moneter guna meningkatkan pasokan valas secara lebih efektif dan dalam rangka pendalaman pasar uang. Agaknya masih perlu ”obat” yang mampu menyembuhkan Indonesia dari penyakit kronis. Melemahnya rupiah dan IHSG perlu dicari akar masalahnya. Faktor eksternal hanya pemicu, tetapi sumber penyakit kronis yang membikin struktur ekonomi tak sehat perlu diprioritaskan dan dipilih obatnya. Tanpa ada QE di AS pun, neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang tak sehat mengakibatkan pelemahan rupiah, hanya tunggu waktu.
Dibandingkan dengan krisis Asia 1998 dan krisis global 2008, penurunan kurs dan IHSG selama Agustus-November 2013 belum masuk tahap ”krisis” sehingga belum bisa diterapkan protokol krisis. Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 45, definisi ”krisis pada sistem keuangan” adalah kondisi sistem keuangan yang sudah gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Implikasinya, masih banyak “pekerjaan rumah” bagi pemerintah pusat dan daerah yang harus diprioritaskan. langkah antisipatif dan proaktif bernuansa jangka pendek dan panjang agaknya amat ditunggu pelaku bisnis dan rakyat. Kita perlu obat yang ”tak generik”, tetapi mengobati ”penyakit kronis” yang beberapa tahun menggerogoti ekonomi Indonesia. Sudah saatnya berhenti menebar pesona dan hanya peduli “politik pencitraan”. Meski kita masuk dalam tahun politik, perubahan orientasi kebijakan, bagaimana respon kebijakan, dan upaya serius memperbaiki implementasi kebijakan perlu diprioritaskan. Semoga harapan perubahan yang diinginkan rakyat, investor, dan pengusaha tidak hanya sekedar ”angin surga” yang bertiup kencang menjelang pemilu dan pilkada.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Statistik (BPS). (2012).Data Strategis BPS. Jakarta: BPS.
BPS. (2011). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Jakarta: BPS, 11 April 2011.
Bank Indonesia. (2013). Indonesia’s Balance of Payments Report second Quarter 2013, Jakarta: BI.
Kuncoro, Mudrajad. (2013a).”Mengobati Penyakit Ekonomi”. Kompas, 3 September 2013.
Kuncoro, Mudrajad. (2013b).”Doing Business 2014”, Investor Daily,11 November 2013.
Kuncoro, Mudrajad. (2012a). Perencanaan Daerah: Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan, Jakarta: Salemba Empat.
Kuncoro, Mudrajad. (2012b). Ekonomika Aglomerasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. (2011a).”Koridor Ekonomi Indonesia”. Investor Daily, 28 Februari 2011.
Kuncoro, Mudrajad. (2011b).“MP3EI: Mitos atau Realitas”, Kompas, 1/8/2011.
Kuncoro, Mudrajad. (2009).”Debottlenecking Infrastruktur”. Investor Daily, 16 November 2009.
Kuncoro, Mudrajad. (2009). Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global. Yogyakarta: STIM YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. (2007). Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara Industri Baru 2030?. Yogyakarta: ANDI Offset.
O’Neil, Jim. (2011). The Growth Map: Economic Opportunity in the BRICs and Beyond, Penguin Books Ltd, London.
World Bank. (2013).Doing Business 2014: Indonesia, Washington DC: WB.
1. Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Manajer Kantor Publikasi FEB UGM