Stabilitas ekonomi makro ASEAN secara umum memburuk dilihat dari meningkatnya inflasi di beberapa negara anggota dan melemahnya mata uang pada hampir semua negara kawasan. Demikian juga indeks harga saham gabungan kawasan banyak yang merosot, sehingga laju pertumbuhan ekonomi kawasan cenderung menurun.
Gambar 21 : Tingkat Inflasi Negara Anggota ASEAN Tahun 2000-Agustus 2013 (yoy, dalam %)
Tekanan inflasi meningkat
Sumber: Bloomberg (2013)
(Catatan: Myanmar pada tahun 2001 mengalami inflasi 53,8% dan pada tahun 2002 mengalami inflasi 54%)
Tingkat inflasi pada negara-negara ASEAN hingga bulan Agustus 2013 cenderung meningkat terutama untuk negara Indonesia (8,79%), Vietnam (7,50%) dan Laos (7,43%). Indonesia mengalami tekanan tinggi pada inflasi terutama diakibatkan dari terganggunya pasokan sejumlah komoditas pangan seperti bawang merah, cabai, daging sapi dan daging ayam serta momentum penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdekatan dengan hari besar keagamaan serta tahun ajaran baru pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Sementara inflasi tinggi yang terjadi di Vietnam terutama didorong oleh dampak penuh dari implementasi penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada bulan Agustus 2013 diiringi dengan peningkatan biaya oleh otoritas terkait pada biaya kesehatan, biaya pendidikan, biaya air rumah tangga serta biaya transportasi umum. Kebijakan bank sentral yang lemah diiringi dengan pelayanan perbankan umum yang masih sangat terbatas menyebabkan aktivitas perbankan yang dapat menjadi penyeimbang terhadap kecenderungan peningkatan harga menjadi berjalan tidak optimal di Vietnam. Lonjakan tingkat inflasi di beberapa negara utama di ASEAN ini ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan moneter oleh bank sentral masing-masing negara serta kebijakan price pegging oleh otoritas terkait pada beberapa sektor di Vietnam terutama pada biaya layanan kesehatan.
Tabel 8: Nilai Tukar Negara ASEAN Terhadap USD, Tahun 2009- 2013* (yoy, dalam %)
Nilai Tukar Mata Uang Negara ASEAN Cenderung Melemah
Sumber: Bloomberg (2013)
* = 30 Agustus 2013
(Catatan: Myanmar pada tahun 2012 mengalami penyesuaian nilai mata uang)
Tabel 9 : Indeks Saham Negara ASEAN: 2009-30/8/2013 (yoy, dalam %)
Pasar Saham Menunjukkan Pelemahan: Arus Balik Modal Asing
Sumber: Bloomberg (2013)
Tanda-tanda instabilitas ekonomi di negara ASEAN juga terekam pada aktivitas di pasar saham maupun nilai tukar mata uang. Pasca krisis keuangan global 2008-2009, terlihat bahwa hampir semua negara anggota mengalami pertumbuhan pada harga-harga saham hingga tahun 2012. Namun hingga transaksi per-30 Agustus 2013 terdapat 7 dari 10 negara ASEAN mengalami penurunan pertumbuhan harga saham yang menunjukkan bahwa adanya kecenderungan keluarnya arus modal para investor dari negara-negara ASEAN akibat ekonomi Amerika Serikat mengirimkan sinyal perbaikan ekonomi serta antisipasi kebijakan tapering the Fed sementara persepsi para pelaku bisnis terhadap ekonomi ASEAN tidak terlalu baik. Ketersediaan modal yang mengering diiringi dengan neraca pembayaran yang mengalami defisit di beberapa negara mendorong terjadinya juga pelemahan pada nilai tukar mata uang tercatat hingga 30 Agustus 2013, seluruh mata uang negara anggota ASEAN mengalami pelemahan terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Pelemahan mata uang terutama pada negara-negara utama ASEAN (ASEAN-5) seperti Indonesia dan Malaysia yang memiliki pangsa ekonomi yang besar diperkirakan akan memberikan dampak pada ekonomi ASEAN secara keseluruhan.
Gambar 22: Tingkat Pertumbuhan PDB Negara Anggota ASEAN Berdasarkan Harga Konstan, Tahun 1998–Q2/2013 (yoy, dalam %)
Perekonomian ASEAN cenderung melambat ditengah ketidakpastian ekonomi global dan instabilitas ekonomi makro kawasan
Sumber: IMF, CEIC (2013)
Pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota Association of South East Asian Nation (ASEAN) menunjukkan kecenderungan perlambatan selama tengah tahun pertama 2013 ini terutama disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi global sehingga memangkas ekspornya serta melemahnya konsumsi karena naiknya inflasi. Data pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2013 menunjukkan bahwa dari total 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN, hanya 2 (dua) negara yang mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi year-on-year lebih baik daripada capaian pada tahun 2012 yaitu Filipina (7,5%) dan Singapura (3,7%).
Filipina pada Kuartal II-2013, berhasil menjaga tingkat konsumsi penduduk dengan memanfaatkan remitansi yang hingga sebesar USD 1,7 miliar setiap bulannya serta meningkat pertumbuhan investasi (capital formation) dan pengeluaran pemerintah (public spending) yang kecepatannya melebihi pertumbuhan konsumsi. Keadaan ini ditopang juga karena Filipina ini memiliki tingkat ketergantungan terhadap perdagangan internasional yang lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sementara Singapura berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya berkat kejelian para pelaku usaha Singapura di bidang perdagangan wholesale maupun retail yang mampu mencari kesempatan penurunan ekonomi di China dengan melayani perdagangan internasional Amerika Serikat dan Eropa yang ekonominya cenderung membaik. Menurut beberapa lembaga internasional, perlambatan ekonomi negara ASEAN hanya dapat dicegah menjadi lebih buruk apabila pemerintah masing-masing negara mampu untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik dan tingkat investasi, mengingat negara utama di Asia juga mengalami perlambatan ekonomi seperti China yang mengalami pertumbuhan Kuartal II hanya sebesar 7,5% dibandingkan Kuartal I sebesar 7,7% dan India yang pada Kuartal II tumbuh hanya sebesar 4,4% dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,8%. Dengan situasi tersebut terlihat bahwa ketidakpastian yang terjadi pada ekonomi global diiringi dengan instabilitas ekonomi di kawasan ASEAN terutama pada indicator inflasi, pasar saham dan nilai tukar mata uang menyebabkan terjadinya kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi pada negara-negara anggota ASEAN.