Di salah satu edisinya yang relatif masih baru, majalah the Economist membuka tajuknya dengan menyatakan bahwa, setiap detik terdapat tambahan tiga orang India pertama kali melek internet, dan pada 2030, lebih dari 1 miliar dari mereka ini akan online. Bayangkan, berapa jumlah pengguna internet seandainya skalanya diperluas tidak hanya di satu negara, melainkan menjadi seluruh negara di bumi ini dalam kurun waktu 14 tahun mendatang? Berdasarkan laporan the World Bank, Indonesia adalah salah satu negara yang dihuni oleh generasi Z (dan bahkan oleh generasi setelahnya, “millennial”) dengan proporsi 47% terhadap jumlah penduduk (2013) menjadi 66% (2030). Generasi Z dan millennial ini adalah sebuah generasi yang sangat mengutamakan kecepatan, jauh lebih risk taker, dan memandang internet security bukan sebuah hal yang perlu dikhawatirkan.
Karena itu, maka tak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi dan internet telah menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia, serta telah merambah ke seluruh aspek dan penjuru bisnis. Lalu, belakangan muncul istilah-istilah yang relatif baru, seperti misalnya, “e-commerce” (electronic commerce), “digital economy”, “digital business”, “fintech” (financial technology), “e-banking” (electronic banking), transaksi “p2p” (peer-to-peer), “e-wallet” (electronic wallet), “aggregator” (agregasi dari informasi spesifik), dan masih banyak yang lain, sering beredar dalam setiap forum.
Kita sadar, bahwa dasar keunggulan kompetitif dunia saat ini telah bergeser. Dulu keunggulan kompetitif dibangun berbasis perangkat keras, seperti sumber daya alam, pabrik, mesin dan peralatan. Namun, saat ini dan ke depan, dasar keunggulan kompetitif lebih banyak didorong oleh faktor manusia (brain-ware) dan perangkat lunak (soft-ware) yang terdiri dari aset intangible (misalnya reputasi), aset pengetahuan yang di dalamnya aset digital begitu dominan, dan aset sosial. Kombinasi aset digital dengan aset sosial ini telah membawa pengaruh yang meluas dalam kehidupan ekonomi dan bisnis individu, perusahaan, maupun otoritas.
Dengan jumlah dan perkembangan teknologi serta penggunaan smartphone yang begitu pesat inilah maka banyak perusahaan berbasis teknologi informasi yang tergolong masih “start-up” bisa maju sedemikian pesat, seperti misalnya, bukalapak.com, blibli.com, tokopedia.com, dan salestockindonesia.com (di sektor e-commerce), dan Investree, Jojonomic, veryFund, Kesles, KreditGoGo, Taralite, Aturduit, Bareksa, dan masih banyak yang lain (di sektor fintech). Mereka ini mengolah pangsa pasar sektor modern dengan solusi finansial langsung ke jemari end-users.
Para pemain pada industri bidang teknologi terkini ini semestinya didorong melesat lebih maju, baik oleh otoritas maupun oleh dunia pendidikan, serta oleh perusahaan-perusahaan, misalnya venture capital, sehingga bisnis ini mampu mendorong perkembangan ekonomi Indonesia lebih cepat. Kerjasama dan kompetisi (co-opetition), serta competitiveness dan productivity masa depan ekonomi Indonesia, sebagian besar terletak di pundak teknologi jenis “Z” atau “millennial” ini.
Bergegaslah!