Apabila kita membandingkan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia pada era ini dengan PDB per kapita Indonesia di era awal kemerdekaan, maka jelas terlihat peningkatan kesejahteraan bangsa ini. Di tahun 2016, PDB per kapita Indonesia tercatat sebesar Rp 36 juta bandingkan dengan tahun 1945 yang hanya sebesar Rp 3,2 juta (menurut Van der Eng, 1992 data menggunakan tahun dasar 2010). Peningkatan PDB per kapita ini jelas menunjukkan trend jangka panjang peningkatan kemakmuran penduduk Indonesia. Akan tetapi apakah ini cukup?
Meskipun tingkat kesejahteraan Indonesia melonjak cukup pesat namun hal ini belum cukup baik. Berita yang kurang menyenangkan adalah selama 20 tahun terakhir, secara compounded, pendapatan per kapita Indonesia hanya mampu tumbuh 3,32 persen, capaian yang relatif rendah dibandingkan beberapa negara lain. Dengan periode observasi yang sama, beberapa negara mampu tumbuh lebih cepat seperti Korea Selatan (tumbuh 4,37 persen), India (6,71 persen), dan Tiongkok (tumbuh 10,8 persen). Negara-negara tersebut notabene berdiri pasca perang dunia ke II. Bukan hanya dalam hal pertumbuhan saja, secara absolut pendapatan per kapita negara diatas lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia (kecuali India, PDB per kapita Tiongkok dan Korea Selatan masing-masing US$ 6.900 dan US$ 11.028).
Mengapa hal ini penting? Dengan pendapatan per kapita hampir mencapai US$ 4.000, Indonesia masuk dalam kategori negara-negara berpenghasilan menengah (middle-income). Apabila melihat teori pertumbuhan neoklasik, maka secara potensial Indonesia masih memiliki banyak ruang untuk tumbuh menjadi negara kaya (high-income). Akan tetapi pertumbuhan pendapatan per kapita Indonesia yang relatif rendah membuat Indonesia terjebak di posisi berpenghasilan menengah (middle-income trap). Terjebak dalam middle-income trap akan membuat suatu negara kehilangan daya saingnya. Untuk memproduksi barang-barang dengan muatan teknologi rendah, negara yang terjebak dalam middle-income trap kalah saing dibanding negara-negara berpendapatan rendah (karena upah di negara-negara ini umumnya rendah). Sedangkan untuk memproduksi barang-barang berteknologi tinggi, negara berpendapatan menengah belum memiliki kapabilitas dan daya saing yang sama seperti negara maju.
Secara tersirat kenaikan pendapatan per kapita menjelaskan peningkatan kualitas fundamental perekonomian suatu negara (seperti produktivitas, daya saing, infrastruktur serta kelembagaan yang lebih baik). Oleh karena itu dengan logika yang sama, pertumbuhan pendapatan per kapita yang lamban mengindikasikan kelambanan peningkatan fundamental perekonomian suatu negara. Permasalahan fundamental inilah yang menurut hemat penulis menjadi penyebab lambatnya Indonesia keluar dari middle income trap.
Infrastruktur Sebagai Pemicu
Berita baiknya adalah pemerintah mampu melihat permasalahan ini. Pengembangan infrastruktur menjadi salah satu alat pemerintah untuk mendorong perekonomian Indonesia keluar dari middle-income trap. Selama periode 2015 hingga 2017, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tercatat rata-rata sebesar 16,5 persen dari anggaran belanja pemerintah. Bahkan dalam RAPBN 2018, pemerintah mengalokasikan Rp 409 triliun rupiah untuk infrastruktur atau hampir 19 persen dari total belanja pemerintah.
Infrastruktur sejatinya memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang besar. Karakteristik inilah yang kemudian membuat infrastruktur menjadi pemicu bagi suatu negara untuk keluar dari middle-income trap. Pembangunan infrastruktur akan mendorong sektor privat untuk melakukan investasi, yang kemudian akan memberikan banyak eksternalitas positif bagi masyarakat. Selain itu infrastruktur yang layak juga memampukan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi yang sebelumnya tidak dapat dijangkau oleh mereka.
Pembangunan infrastruktur sejatinya tidak hanya soal pembangunan fisik dari tidak ada menjadi ada, melainkan juga tentang membuka potensi suatu negara. Ya, infrastruktur memang bukan sufficient condition, namun infrastruktur merupakan necessary condition untuk keluar dari jebakan pendapatan yang medioker.