Sebuah permasalahan tengah dihadapi oleh salah satu bank investasi terbesar di dunia, Deutsche Bank. Pada 16 September 2016, Department of Justice Amerika Serikat meminta penalti sebesar US$ 14 milyar atas Deutsche Bank untuk menyelesaikan kasus kesalahan penjualan subprime mortgage. Kesalahan penjualan tersebut terjadi sebelum krisis global 2008 pada saat harga perumahan Amerika Serikat mengalami bubble. Publik merespon dengan peningkatan kewaspadaan, tidak terkecuali publik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa interkoneksi keuangan global telah meningkat, mengingatkan kita untuk lebih waspada terhadap kondisi perekonomian global.
Tuntutan Department of Justice Amerika Serikat atas kasus kesalahan penjualan aset subprime mortgage tidak hanya dialami oleh Deutsche Bank. Sebelumnya, bank investasi raksasa Amerika Serikat JP Morgan Chase, Bank of America, Citigroup, dan Goldman Sachs telah menyelesaikan tuntutan atas kasus yang sama dengan Department of Justice Amerika Serikat. Denda yang dibayarkan oleh bank-bank tersebut akhirnya berhasil dinegosiasi menjadi lebih sedikit, seperti Citigroup yang hanya membayar denda US$7 miliar atas tuntutan awal US$ 12 miliar. Deutsche Bank menyatakan akan berusaha menegosiasi angka penalti tersebut hingga hanya menjadi US$ 5,4 miliar. Hingga saat ini, usaha untuk menegosiasi besaran pinalti yang diminta Department of Justice belum membuahkan hasil.
Pasar Merespons dengan Kekhawatiran
Pasar merespons tuntutan tersebut secara negatif, terbukti dari merosotnya saham Deutsche Bank pada hari Selasa (20/9). Saham Deutsche Bank termasuk dalam kategori saham blue chip yang menjadi andalan para investor karena likuiditasnya yang tinggi dan dikeluarkan oleh perusahaan yang terbukti sangat kredibel. Selain mengalami penurunan harga saham, harga credit-default swap atas obligasi Deutsche Bank mengalami peningkatan sebanyak 37 basis poin menjadi 536 basis poin, nilai tertinggi sejak 2007. Peningkatan ini menunjukkan naiknya persepsi resiko atas obligasi Deutsche Bank.
Meningkatnya kekhawatiran pasar atas kondisi Deutsche Bank bukan tidak beralasan. Pelaku pasar menganggap pinalti sebesar US$ 14 miliar tersebut dapat mendestabilisasi bank dan mengundang krisis finansial baru. IMF sebelumnya melaporkan bahwa Deutsche Bank memiliki potensi resiko sistemik global karena interkonektivitasnya yang tinggi. Ia digolongkan oleh IMF ke dalam kelompok G-SIBs (Globally Systematically Important Banks) dan menempati urutan pertama di atas HSBC dan Credit Suisse.
Resiko Contagion Diperkirakan Tidak akan Sampai Indonesia
Bursa Efek Indonesia menyatakan (31/10) bahwa kejadian ini tidak akan menyebar ke Indonesia. Mereka berpendapat bahwa dampaknya hanya akan terasa pada negara-negara di mana head office Deutsche Bank berada. Sebaliknya, OJK melaporkan bahwa Deutsche Bank memiliki pengaruh cukup besar di Indonesia karena ia menguasai 42 persen kelolaan kustodian di Indonesia. Deutsche Bank juga memiliki 24,5 persen total kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia.
Perwakilan Deutsche Bank Indonesia menyatakan bahwa isu kebangkrutan Deutsche Bank tidak benar. Kondisi keuangan Deutsche Bank Indonesia masih tergolong baik, terbukti dari laporan keuangan Kuartal III nya yang menunjukkan net revenue 7,5 miliar euro dan net income 270 juta euro.
Pelajaran Apa yang Dapat Diambil?
Kasus Deutshe Bank ini menunjukkan bahwa kewaspadaan publik atas kesehatan institusi keuangan global semakin meningkat pasca krisis keuangan global 2008. Publik merespon berita permintaan penalti kepada Deutsche Bank dari Department of Justice dengan kehawatiran bahwa bank tersebut akan menjadi too big to fail dan mengakibatkan krisis keuangan. Tidak dapat dipungkiri, lembaga keuangan dan sektor perbankan merupakan bagian dari perekonomian yang paling rentan terkena krisis. Kerentanan ini salah satunya disebabkan oleh konsep fundamental perbankan yaitu liquidity mismatch, aset tidak likuidnya ditopang oleh sekumpulan kewajiban yang sangat likuid. Sebuah shock pada persediaan kewajibannya dapat mempengaruhi kesehatan aset perbankan.
Selain itu, kerentanan juga disebabkan oleh pasar finansial yang semakin terinterkoneksi, baik melalui transaksi maupun respon emosional publik yang mengalami panik dan euforia (Financial Times, 2016). Espinosa-Vega dan Sole (2010), yang mengembangkan model interkoneksi keuangan dengan pendekatan network analysis, membuktikan bahwa perbankan Eropa dan Amerika Serikat saling berkaitan erat. Kerangka network analysis tersebut digunakan dalam simulasi stress testing perbankan Jerman oleh IMF (2016) untuk mengetahui resiko sistemiknya. IMF menemukan bahwa perbankan Jerman memiliki risiko outward spillover yang lebih besar dibandingkan inward spillover (lihat Gambar 1). Artinya, Jerman memiliki kecenderungan untuk menjadi negara “penyebar” risiko capital loss dalam krisis perbankan dibandingkan “penerima” risiko tersebut. Krisis perbankan Jerman mudah untuk menyebar ke negara-negara lainnya seperti Perancis, Inggris, dan Amerika.
Gambar 1: Efek spillover keluar dan masuk pada perbankan Jerman
Sumber: International Monetary Fund (2016)
Di tengah-tengah interkoneksi perbankan global terdapat Deutsche Bank yang memiliki net kontribusi terhadap resiko sistemik paling besar. Ia menjadi sumber atas efek spillover keluar dalam estimasi network analysis. Hasil simulasi IMF juga menunjukkan bahwa bank-bank Eropa dan Amerika seperti HSBC, Credit Suisse, dan JP Morgan memiliki potensi untuk berkontribusi positif terhadap risiko sistemik global. Sebaliknya, bank-bank Asia seperti Bank of China, Mizuho, dan Sumitomo cenderung menjadi net penerima dampak sistemik. (lihat Gambar 2)
Perluasan interkoneksi keuangan global memaksa kita untuk lebih “melebarkan pandangan” atas kondisi perekonomian luar negeri. Sudah bukan saatnya lagi pengamatan kita terkotak-kotak antara Eurozone, Amerika, Asia, dan ASEAN karena batas-batas tersebut semakin kabur.
Gambar 2: Globally Systematically Important Banks (GSIBs)
Sumber: kalkulasi International Monetary Fund (2016) berdasarkan metodologi Diebold dan Yimaz (2014).
REFERENSI
Cheng, Evelyn. 2016. “How US Regulators May Be Creating Panic around Deutsche Bank.” CNBC Market Insider. http://www.cnbc.com/2016/09/30/how-us-regulators-may-be-creating-a-panic-around-deutsche-bank.html.
Espinosa-Vega, Marco A., dan Juan Solé. 2010. “Cross-Border Financial Surveillance: A Network Perspective.” IMF Working Paper WP/105. doi:10.1108/17576381111152191.
International Monetary Fund. 2016. “Stress Testing the Banking and Insurance Sectors-Technical Note.”
Linsell, Katie, dan Tom Beardsworth. 2016. “Deutsche Bank Junior Debt Swaps Jump to Record CMA Prices Show.” Bloomberg. http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-09-27/deutsche-bank-junior-debt-swaps-jump-to-record-cma-prices-show.
Reuters. 2016. “IMF Says Deutsche Bank’s Global Links Make It Biggest Potential Risk.” CNBC News. http://www.cnbc.com/2016/06/30/reuters-america-imf-says-deutsche-banks-global-links-make-it-biggest-potential-risk.html.
Reuters. 2016. “Deutsche Bank Says DoJ Wants It to Pay $14 Billion to Settle Mortgages Case.” Fortune. http://fortune.com/2016/09/16/deutsche-bank-doj-mortgages-case/.
Sukmana, Yoga. 2016. “Deutsche Bank Tepis Isu Bangkrut Dan Gagal Bayar Utang 425 Miliar Dolar AS.” KOMPAS.com Ekonomi. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/11/03/203336426/deutsche.bank.tepis.isu.bangkrut.dan.gagal.bayar.utang.425.miliar.dollar.as.
Suryowati, Estu. 2016. “BEI Yakin Bursa Tak Akan Terkena Dampak Deutsche Bank.” Kompas.com Ekonomi. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/10/31/140033426/bei.yakin.bursa.tak.akan.terkena.dampak.deutsche.bank.
Wolf, Martin. 2016. “Deutsche Bank Offers a Tough Lesson in Risk.” Financial Times. https://www.ft.com/content/56be629e-896e-11e6-8aa5-f79f5696c731.