Setelah bawang merah, kini daging sapi yang mengalami kenaikan. Pada saat sebelum puasa, harga daging sapi ada di kisaran Rp90-100 ribu per kilogram. Kemudian meningkat ke Rp110-120 ribu pada saat puasa. Masih terbilang normal, apalagi Rp melemah terhadap USD. Namun, pasca puasa, harga daging khususnya di Jabodetabek, naik hingga Rp140.000 per kilogram. Pedagang yang biasanya ditunjuk sebagai biang kenaikan harga, melakukan mogok berjualan. Alasannya, harga daging kelewat tinggi, sehingga konsumen tidak banyak beli dan mereka merugi.
Ini semua berawal dari mimpi swasembada. Kata-kata suci ini di Indonesia hampir selalu berasosiasi dengan inflasi. Alasannya sederhana: Kementerian Pertanian memegang angka proyeksi produksi dan konsumsi, yang kemudian digunakan sebagai pegangan untuk mengurangi impor. Masalahnya adalah, kita tidak tahu seakurat apa data itu. Kementerian Pertanian sepertinya lupa bahwa angka prakiraan selalu ada error. Belum lagi membedakan antara produksi, stok, dan supply. Seorang peternak (produsen) misalnya, tentu menjadi seorang supplier karena transaction cost menghalangi mereka untuk diterima pasar.
Dan solusi pemerintah menghadapi kenaikan harga ini selalu sama saja: menugaskan BULOG untuk membeli langsung dari peternak kemudian melakukan operasi pasar. Cara ini jelas tidak efektif dan tidak sustainable. Cara lain yang diambil pemerintah adalah, memberikan kuota impor sapi/daging kepada BULOG. Pertanyaannya adalah, apakah memberikan kuota impor pada BULOG lebih baik daripada memberikannya kepada swasta—sedari awal—sehingga tidak ada kenaikan harga? Bukankah BULOG pada akhirnya akan meminta importir untuk melakukan pengadaan sapi/daging impor?
Yang sungguh meletihkan adalah, pemerintah seolah lupa bahwa harga adalah mensinyalkan kelangkaan. Alih-alih menambah stok, setiap kenaikan harga, kini selalu diasosiasikan dengan keberadaan mafia. Polisi pun masuk. Feedlot (perusahaan penggemukan), abattoirs (RPH), jagal, hingga pedagang ditengarai melakukan penimbunan atau kartel. Padahal kartel adalah urusan KPPU, dan penimbunan (rationing) adalah konsekuensi logis dari kebijakan pemerintah yang mengurangi impor secara signifikan dalam waktu singkat. Kalau sudah begini, kita patut bertanya, apakah Pemerintah lupa, atau pura-pura lupa, soal skandal kuota impor sapi beberapa tahun lalu yang juga berlindung di balik upaya swasembada dan bagaimana dampak pengurangan kuota impor sapi terhadap harga?