Sebagai salah satu dokumen yang paling ditunggu oleh publik, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencerminkan aspirasi dua arah: visi Presiden dan pendekatan praktis-teknokratik. RPJMN 2015-2019 secara garis besar diawali paparan kondisi kebangsaan dan pembangunan selama beberapa tahun terakhir, diikuti dengan kerangka kebijakan dan sasaran pembangunan ke depan, dan ditutup dengan agenda pembangunan dan kaidah pelaksanaan. Karena RPJMN merupakan bentuk kompromi politik-teknokratik, maka “rasa” dari RPJMN tiap periode menjadi berbeda-beda dan kental dipengaruhi apa yang diinginkan oleh presiden terpilih.
RPJMN juga diharapkan menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan pelaku usaha. Sebagai sebuah dokumen resmi pemerintah untuk perencanaan pembangunan jangka menengah, seharusnya RPJMN menjadi driving force kementerian dan lembaga dengan mengesampingkan kepentingan dan ego sektoral. RPJMN juga semestinya memberi panduan terhadap target-target pembangunan yang achievable. Tapi benarkah demikian? Sebagai salah satu dari enam sasaran dalam RPJMN 2015-2019, pencapaian sasaran makro menjadi fokus pada tulisan kali ini.
RPJMN 2004-2009 dan 2010-2014
Sebagai sebuah dokumen perencanaan, sudah sewajarnya apabila publik ingin mengetahui bagaimana pencapaian sasaran ekonomi makro dalam RPJMN, meskipun harus diakui bahwa selama lima tahun umur RPJMN banyak hal yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh pemerintah. Mari kita mulai dari era pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) 2004-2009.
Periode pemerintahan SBY-JK diwarnai dengan berbagai gejolak, mulai dari tsunami Aceh (2004) hingga pencabutan sebagian subsidi BBM yang memicu inflasi tinggi (2005). Berbagai indikator makroekonomi yang menjadi sasaran RPJMN 2004-2009 pun tidak tercapai sebagaimana tampak dalam Tabel 1. Tingkat kemiskinan, misalnya, jauh diatas sasaran yang ditetapkan dengan selisih yang cukup besar yaitu 5,95%. Begitu pula dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang meleset hingga 2,97%. Tingkat kemelesetan yang tinggi ini menjadi catatan penting dan menjadi pelajaran saat SBY menjabat kali keduanya.
Sasaran dan capaian indikator makroekonomi dalam RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014
Catatan:
Warna merah berarti lebih buruk dari sasaran, warna hijau berarti lebih baik dari sasaran. Error dalam RPJMN 2010-2014 dihitung dari batas atas sasaran RPJMN.
*Dikonversi dari angka aktual yang memakai PDB per kapita harga konstan 2010.
**Dikonversi dari proyeksi dalam RPJMN 2015-2019 yang menggunakan PDB per kapita harga konstan 2010.
Kondisi perekonomian pada periode kedua pemerintahan SBY (kali ini didampingi wakil presiden Boediono) relatif lebih stabil meskipun dampak krisis ekonomi global 2008 masih membayangi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sasaran makroekonomi dalam RPJMN 2010-2014 relatif moderat dan sebagian ditentukan dalam suatu rentang tertentu. Hasilnya, tingkat kemelesetan pencapaian sasaran makro lebih rendah dibandingkan pada RPJMN sebelumnya, terutama tingkat pengangguran terbuka yang berhasil mencapai sasaran, begitu pula dengan PDB per kapita. Dari lima indikator yang tidak memenuhi sasaran, hanya nilai tukar nominal saja yang tingkat kemelesetannya lebih buruk dibandingkan pada capaian RPJMN 2004-2009. Hal ini menunjukkan perbaikan pemerintahan SBY dalam upayanya mencapai sasaran-sasaran pembangunan.
Agenda dan tantangan pencapaian sasaran ekonomi makro dalam RPJMN 2015-2019
Melihat capaian sasaran makroekonomi dalam dua era pemerintahan SBY, kini saatnya kita berpaling pada sasaran RPJMN 2015-2019 yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara garis besar sasaran makroekonomi RPJMN ini lebih ambisius dibandingkan pada RPJMN 2010-2014. Hanya nilai tukar dan inflasi saja yang relatif moderat yang mungkin disebabkan oleh disadarinya keterbatasan kendali pemerintah terhadap kedua indikator ini. Satu pertanyaan menarik: seberapa ambisiuskah sasaran makroekonomi RPJMN 2015-2019 ini?
Visi pembangunan nasional 2015-2019 adalah “terwujudnya indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong”. Untuk menunjang visi ini, 7 misi pembangunan dicanangkan yang diantaranya mencakup keamanan nasional dengan penekanan pada konsep kemaritiman dan bangsa yang berdaya saing. Selain 7 misi pembangunan, RPJMN juga memasukkan 9 agenda prioritas (Nawa Cita) yang dua diantaranya terkait langsung dengan tantangan ekonomi makro Indonesia: a) “Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya”, dan; b) “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Terkait dengan upaya mencapai kedua agenda tersebut, pemerintahan Jokowi menetapkan sasaran makro dalam RPJMN (Tabel 1 kolom paling kanan) dengan relatif lebih ambisius dibandingkan pada RPJMN era SBY. Sebagai contoh, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2014 sebesar 5,02% dan sasaran pada tahun 2019 sebesar 8% maka dibutuhkan kurang lebih peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 60 basis points (0,60%) tiap tahunnya. Padahal, peningkatan pertumbuhan ekonomi pada era SBY 2010-2014 hanya sebesar 8 basis points (0,08%). Kecuali ada perubahan besar pada produktivitas nasional, ini artinya pemerintah harus bekerja tujuh kali lebih keras untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi ini. Contoh lain, pengorbanan apa saja yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi untuk bisa mencapai target defisit APBN sebesar 1% dari PDB, jika selama 10 tahun pemerintahan SBY defisit justru merangkak naik dari -1,44% (2004) menjadi -2,40% (2014)?
Satu hal yang patut diwaspadai oleh pemerintahan Jokowi adalah kekhawatiran masyarakat, dan terutama dunia usaha, terhadap konsistensi upaya pencapaian berbagai sasaran makro ini. Situasi yang disebut dynamic inconsistency oleh para ekonom ini dapat diekstrapolasi untuk isu RPJMN. Misalnya, disebutkannya sasaran makro secara eksplisit diharapkan bisa menggiring pelaku usaha dan pemerintah untuk mencapai sasaran tersebut, namun bagaimana hal ini bisa terwujud bila publik tidak memiliki keyakinan bahwa pemerintah akan bersungguh-sungguh berupaya mencapai sasaran makro tersebut?
Great leap forward?
Analisis RPJMN di atas menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi sepertinya ingin melakukan lompatan besar—meminjam istilah dari literatur pembangunan, great leap forward—pada pembangunan ekonomi Indonesia. Meskipun tidak seekstrem Great Leap Forward Tiongkok pada era 1958-1961 yang menekankan pada perubahan struktural perekonomian, great leap forward ala Jokowi menekankan pada pencapaian target pembangunan—terutama sasaran makro—yang ambisius melalui 9 agenda prioritas. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa perubahan gradual, terukur, dan berpihak pada kreativitas pelaku usaha—misalnya selama proses reformasi ekonomi Tiongkok yang dimulai sejak 1978—kerap memberi hasil optimal dibandingkan perubahan mendadak melalui perubahan struktural.
Pembangunan gradual dan terukur dapat dilakukan misalnya dengan mempelajari dan meneruskan program dan kebijakan pembangunan yang telah terbukti berhasil dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sebagai contoh, sejumlah program penanggulangan kemiskinan seperti program beras miskin telah dievaluasi oleh Tim TNP2K, sedangkan Tim UKP4 telah melakukan berbagai upaya untuk mengurai problem implementasi program pembangunan. Sementara itu pemihakan pada kreativitas pelaku usaha sejalan dengan argumen Schumpeter (1947) yang mengatakan bahwa spirit kewirausahaan (entrepreneurship), terutama terkait inovasi, memiliki peran besar dalam pembangunan ekonomi, termasuk untuk pembangunan di negara berkembang (Szirmai et al., 2011).
Tidak sulit sebenarnya bagi Jokowi untuk meyakinkan publik bahwa strategi pembangunan dalam RPJMN 2015-2019 ini achievable, mengingat rincinya program dan agenda pembangunan yang ada baik dalam RPJMN dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Selain itu patut diingat bahwa selama pemilu lalu Jokowi mendapat dukungan kaum intelektual muda yang cenderung rasional. Hanya saja masyarakat pada umumnya—dan kaum intelektual muda pada khususnya—berharap bahwa pemerintahan Jokowi ini konsisten dan memberi insentif yang tepat (berupa reward dan punishment) bagi aparatur pemerintah maupun pelaku usaha dalam upayanya mencapai target-target makro dalam RPJMN ini. Jika tidak, maka aset besar berupa dukungan rakyat justru bisa berbalik arah dan menjadi kontraproduktif.
Daftar pustaka
Schumpeter, J. A. (1947). Capitalism. Socialism, and Democracy. New York and London: Harper & Brothers Publishers.
Szirmai, A., Naudé, W., & Goedhuys, M. (2011). Entrepreneurship, innovation, and economic development: An overview. Entrepreneurship, Innovation, and Economic Development, 3-32.