Pada 2017, perekonomian global berada pada fase recovery (pemulihan) seiring dengan membaiknya harga-harga komoditas (BI, 2017). Secara umum, harga-harga komoditas utama seperti minyak mentah, tambang, dan agrikultur mengalami peningkatan. Membaiknya perekonomian global tersebut tidak hanya dialami oleh sektor riil, tetapi juga dialami oleh sektor finansial. Sepanjang tahun 2017, sektor finansial terus mengalami pertumbuhan yang pesat, baik di Indonesia maupun secara global. Hal ini tecermin dari beberapa indikator kinerja pasar keuangan yang bergerak positif di tahun 2017.
Gambar 1. Tingkat Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan di Beberapa Negara, 2013-2018
Sumber: CEIC (2018)
Secara umum, bursa saham global mengalami tren bullish pada 2017, terutama bursa saham Asia yang tercatat tumbuh cukup tinggi. Pada Januari 2018, Indeks Hang Seng mampu tumbuh 48,58 persen y-o-y, diikuti IHSG yang tumbuh 24,60 persen y-o-y, dan Tokyo Nikkei yang tumbuh 17,88 persen y-o-y. Sementara itu, bursa Amerika Serikat juga tercatat mengalami pertumbuhan yang signifikan, di mana indeks Dow Jones naik 24,05 persen y-o-y. Adapun di Eropa, indeks FTSE hanya tumbuh 4,78 persen y-o-y.
Gambar 2 dan 3 Tingkat IHSG dan Kapitalisasi Pasar di Indonesia, 2017-2018
Sumber: CEIC (2018)
Sejak tahun 2016, tingkat kapitalisasi pasar di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan. Hal ini didukung oleh munculnya sejumlah emiten baru di pasar modal Indonesia. Walaupun terjadi net foreign sell secara besar-besaran sepanjang semester kedua 2017, tingkat kapitalisasi pasar di Indonesia berhasil tumbuh 27,76 persen y-o-y pada Januari 2018 menjadi Rp7.345,74 triliun, tingkat tertinggi sepanjang sejarah di indonesia. Selain itu, tingkat pembelian saham oleh pihak asing kembali tumbuh positif sebesar Rp1,77 triliun pada Januari 2018.
Tingkat kapitalisasi pasar yang tumbuh signifikan sepanjang 2017 menandakan bahwa kinerja pasar saham selama 2017 sangat baik. Menjelang akhir 2017, indeks harga saham gabungan (IHSG) meningkat pesat sebesar 6,78% m-t-m. Pesatnya peningkatan nilai IHSG tersebut terus berlanjut hingga mencapai 6.605,631, tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini menjadikan pertumbuhan indeks saham di Indonesia terbesar ke 4 se-Asia Pasifik pada 2017 (OJK, 2018). Selain itu, volatilitas IHSG sepanjang 2017 relatif rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Gambar 4 dan 5. Tingkat Kepemilikan SBN dan Yield SBN di Indonesia, 2013-2018
Sumber: CEIC (2018)
Tingkat kepemilikan SBN oleh non-residen terus mengalami peningkatan sejak tahun 2017. Berlawanan dengan yang terjadi di pasar saham, terdapat aksi net foreign buy SBN yang cukup masif selama 2017. Terdapat indikasi switching non-residen dari saham ke obligasi. Per Januari 2018, tingkat kepemilikan SBN oleh non-residen berhasil tumbuh 26,72 persen y-o-y menjadi Rp869,77 triliun, tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Secara umum, hal ini disebabkan ekspektasi perolehan peringkat layak investasi (investment grade) dari lembaga peringkat internasional, Standard and Poor’s. Ekspektasi tersebut kemudian menjadi kenyataan pada Mei 2017. Penurunan risiko investasi SBN juga tecermin dari yield-nya yang cenderung stabil dan menunjukkan tren penurunan sepanjang 2017. Pada Januari 2018, tingkat yield SBN tenor 1, 5, dan 10 tahun masing-masing telah turun sebesar 1,76 persen, 2,03, dan 0,66 persen m-t-m.
Meskipun demikian, kepemilikan non-residen pada SBN yang mencapai 59,1 persen pada SBN di Januari 2018, patut diwaspadai mengingat non-residen cenderung lebih sensitif terhadap sentimen global. Dalam waktu dekat, pasar obligasi sedang dibayangi oleh penguatan dollar AS dan kenaikan yield US treasury yang terpicu oleh kebijakan pemangkasan pajak bagi perusahaan. Namun, tren net buy asing diprediksi berpotensi berlanjut di tengah stabilnya kondisi fundamental perekonomian domestik.
Gambar 6. Kurs Rupiah terhadap Dolar AS, Januari 2013 – Januari 2018
Sumber: CEIC (2018)
Indikator lain yang dapat menjelaskan kondisi pasar finansial adalah nilai tukar. Gejolak apresiasi maupun depreasi kurs tersebut dapat menggambarkan kondisi dari pasar finansial suatu negara. Sepanjang tahun 2017, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderung stabil dan bergerak di sekitar nilai rata-ratanya yang sebesar Rp 13.398/US$. Meskipun demikian, pada Juni 2017, rupiah sempat menguat hingga mencapai level Rp 13.319/US$. Akan tetapi memasuki bulan Oktober 2017, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami depresiasi hingga menyentuh level Rp 13.572/US$. Memasuki bulan pertama tahun 2018, nilai rupiah kembali menguat hingga menyentuh level Rp 13.413/US$.
Gambar 7. Kurs Riil Rupiah terhadap Dollar AS, Januari 2013 – Januari 2018
Sumber: CEIC, 2018
Pada Januari 2018, nilai tukar riil rupiah terhadap dollar AS berada pada level 89,42 poin atau overvalued sebanyak 0,82 poin dibanding rata-rata jangka panjangnya. Meskipun demikian, pergerakan nilai tukar riil rupiah selama tahun 2017 hingga Januari 2018 cenderung tidak mengalami fluktuasi yang tinggi. Hal ini mengindikasikan kecenderungan nilai tukar riil rupiah terhadap dollar AS untuk kembali pada rata-rata jangka panjangnya. Di samping itu, nilai tukar riil rupiah terhadap sekelompok (bundle) mata uang global lainnya yang dinyatakan dalam nilai tukar efektif riil (Real Effective Exchange Rate/REER) juga mengalami trend pergerakan serupa. Sejak awal tahun 2017 besaran overvalued rupiah dalam REER selalu mengalami penurunan yang menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap bundle mata uang global lain cenderung kembali pada rata-rata jangka panjangnya. Hingga Januari 2018, tercatat bahwa REER rupiah berada pada level 106.85 poin atau overvalued 0,21 poin dibandingkan rata-rata jangka panjangnya.
Gambar 8. Kurs Rupiah terhadap Kurs Beberapa Negara Lain, Februari 2013 – Februari 2018
Sumber: CEIC (2018)
Sepanjang tahun 2017 pergerakan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata global seperti poundsterling, euro, yuan, dan yen di atas cenderung tidak memiliki banyak fluktuasi atau bisa dikatakan relatif stabil. Selanjutnya, meskipun terdapat kecenderungan depresiatif rupiah terhadap mata uang global, namun hal utama yang perlu diperhatikan adalah stabilitas nilai tukar rupiah yang cukup baik sepanjang 2017 akan memberikan dampak yang baik pula terhadap perekonomian Indonesia.
Gambar 9. Suku Bunga Deposito, LPS, dan 7-days Repo Rate, Januari 2013 – Januari 2018
Sumber: CEIC (2018)
Sepanjang tahun 2017, BI 7-days Reverse Repo Rate tetap bertahan di tingkat 4,750 sejak Oktober 2016 sebelum akhirnya diturunkan menjadi 4,50 pada Agustus 2017, diikuti penurunan pada bulan berikutnya menjadi 4,250. Selanjutnya hingga Januari 2018 lalu BI 7-days Reverse Repo Rate tetap dipertahankan di tingkat yang sama yakni pada level 4,250. Kebijakan yang diambil tersebut konsisten dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung pemulihan ekonomi domestik.[1]
Outlook kondisi finansial 2018: Optimisme yang persistent atau transient?
Kondisi pasar finansial yang cukup optimis pada tahun 2017 memunculkan pertanyaan: apakah pada tahun 2018 pasar finansial global dan Indonesia akan melanjutkan pola optimisme dan stabilitas yang sama? Jika optimisme pada 2017 bersifat persistent, pasar finansial pada 2018 dipastikan masih memiliki pergerakan yang kurang lebih mirip dengan tahun sebelumnya.Namun, sebenarnya ada berbagai isu yang mungkin akan muncul dan mempengaruhi pergerakan perekonomian global dan domestik. Maka dari itu, hal yang terpenting untuk dilakukan saat ini adalah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan perubahan trajectory pasar finansial Indonesia pada 2018.
Sentimen optimisme memang ditunjukkan oleh International Monetary Fund (IMF) yang memprediksi pertumbuhan global untuk tahun 2018 secara optimis, yaitu sebesar 3,9 persen. Angka ini lebih optimis dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan output global di tahun 2017, yaitu sebesar 3,7 persen. Prediksi tersebut merefleksikan momentum pertumbuhan global yang meningkat.
Proyeksi yang optimis terhadap pertumbuhan ekonomi global mencerminkan ekspektasi pada kondisi keuangan global yang baik dan sentimen positif yang akan membantu menjaga akselerasi permintaan saat ini, terutama pada investasi. Langkah AS dalam melakukan reformasi pajak akan membawa dampak terhadap lanskap pajak global. Beberapa negara ASEAN juga turut mempertimbangkan pemangkasan tarif pajak yang mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Vietnam akan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) perusahaan dari 20% menjadi 17%. Malaysia merencanakan memangkas tarif PPh perusahaan hingga 15%. Tren reformasi perpajakan dapat berimplikasi pada perubahan pola investasi global. Kondisi tersebut tentunya memiliki dampak bagi negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Perpindahan arus modal akan terjadi, menuju ke negara yang memiliki beban tarif pajak yang rendah dan dapat menyebabkan pelemahan mata uang negara-negara terhadap dolar AS.
Reformasi kebijakan pajak AS diperkirakan mampu merangsang aktivitas perekonomian. Pemerintah AS melakukan pemangkasan pajak penghasilan perusahaan dari 35% menjadi 15%. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong investasi dalam jangka pendek dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi AS yang diprediksi akan tumbuh positif dengan akumulasi peningkatan sebesar 1,2 persen hingga tahun 2020. Dorongan stimulus fiskal AS ini akan memperkuat pertumbuhan output global kedepannya.
Penggantian Gubernur The Fed dari Janet Yellen ke Jerome Powell, tentunya membawa potensi perubahan arah kebijakan The Fed di tahun 2018. Per Desember 2017, The Fed telah menaikkan tingkat suku bunga sebesar 0,25 basis poin. Kenaikan ini juga diperkirakan akan terus berlanjut secara bertahap di tahun 2018 dan 2019. Indonesia harus mengantisipasi gelombang kenaikan tingkat suku bunga Fed Funds Rate pada bulan-bulan ke depan. Indikator perekonomian Amerika Serikat telah menunjukkan tanda-tanda yang menjanjikan: tingkat pengangguran turun menjadi 4,1 persen, indeks-indeks keyakinan konsumen meningkat, dan pertumbuhan ekonomi Kuartal IV ada pada tingkat 2,6 persen. Keadaan ini dapat menjadi pendukung The Fed untuk merealisasikan rencana kenaikan tingkat suku bunga acuannya.
Merespon kecenderungan interest rate hike tersebut, Indonesia dan negara-negara berkembang lain perlu mengantisipasi dengan menawarkan imbal hasil obligasi yang lebih tinggi. Tren penurunan imbal hasil obligasi sepanjang 2017 yang salah satunya dipicu oleh isu pemberian investment grade oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor’s kemungkinan akan berhenti pada kuartal pertama 2018. Tanda-tanda kenaikan imbal hasil sudah mulai terlihat pada Januari 2018. Tidak hanya di pasar obligasi, rencana kenaikan ini—jika terealisasi—akan membuat Bank Indonesia perlu mulai mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya.
Faktor krisis geopolitik juga turut memberikan implikasi pada kondisi ekonomi global. Belajar dari pola-pola pergerakan pasar finansial pada tahun 2016-2017, dapat dikatakan bahwa isu-isu politik global sangat berperan penting dalam menentukan arah pasar keuangan. Gejolak IHSG dan kurs menjelang akhir 2016 terjadi akibat isu terpilihnya presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ketegangan isu nuklir Korea Utara pada pertengahan 2017 juga sempat mempengaruhi pergerakan pasar modal Amerika Serikat dan Asia. Dampak yang ditimbulkan oleh British Exit (Brexit) di Eropa juga diperkirakan masih akan berlanjut di tahun 2018. Kondisi ini tercermin dari Jerman sebagai negara yang dianggap paling stabil di jajaran Uni Eropa, namun masih belum mampu membentuk pemerintahan baru pasca pemilihan umum. Kekhawatiran juga ditimbulkan oleh ketegangan politik yan terjadi di kawasan Korea Utara dan Timur Tengah yang dapat berdampak pada ketidakstabilan regional.
Tidak hanya karena signifikansinya terhadap pergerakan pasar finansial, isu politik menjadi sentral mengingat kondisinya yang semakin fluktuatif. Kira-kira apa saja isu politik yang berpotensi muncul di tahun 2018? Sebuah lembaga independen Council on Foreign Relations merilis informasi mengenai potensi konflik di tahun 2018, di antaranya adalah (1) isu Korea Utara, (2) konfrontasi bersenjata di Iran, (3) konfrontasi teritorial Laut China Selatan, dan (4) kekerasan domestik di Amerika Serikat. Isu – isu ini berpotensi menghadang optimisme pelaku pasar finansial global.
Resiliensi Sistem Keuangan Domestik
Melihat kemungkinan shock eksternal untuk mempengaruhi pasar domestik, sekilas optimisme pasar hanya bersifat transient. Namun, dampak shock-shock tersebut akan menjadi minor jika dapat dibendung oleh resiliensi sistem keuangan Indonesia. Sepanjang tahun 2017, stabilitas sistem keuangan Indonesia terpantau cukup baik, menunjukkan fundamental sistem keuangan yang kuat. Hal ini ditunjukkan oleh kurs rupiah yang cukup stabil, inflasi yang terjaga dalam target Bank Indonesia, pasar modal yang relatif tidak volatile, dan situasi sektor perbankan yang masih dalam batas aman.
Faktor pendukung resiliensi keuangan domestik juga datang dari kondisi perekonomian Indonesia yang terpantau tumbuh stabil selama dua tahun terakhir. Walaupun begitu, pertumbuhan ekonomi pada periode 2016-2017 belum bisa dibilang cukup tinggi mengingat levelnya tidak mencapai periode 2011-2012 yang lalu. Stabilitas perekonomian akan cenderung memperkuat kepercayaan pelaku pasar karena berpotensi mengurangi persepsi risiko. Hal ini tercermin dari credit default swap atas government bonds Indonesia yang terus mengalami penurunan dari sebesar 148 poin pada Januari 2017 menjadi hanya 92,91 poin pada November 2017.
Fakta-fakta di atas menunjukkan pola yang kemungkinan besar akan terus prevail selama tahun 2018: resiliensi keuangan domestik mengalami gempuran isu-isu dan pengaruh global. Hal ini merupakan keadaan yang wajar terjadi pasca krisis keuangan global 2008 di mana integrasi keuangan global menyebabkan negara-negara emerging market tidak dapat lepas dari pengaruh isu global sementara mereka berusaha memperkuat fundamental keuangan domestiknya. Hal ini meninggalkan pekerjaan rumah bagi Indonesia: dapatkah kita menghadapi berbagai shock eksternal tersebut dengan baik?
[1] http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_200618.aspx