Perekonomian yang sehat adalah perekonomian dengan pertumbuhan dan inflasi yang stabil dan ketimpangan antar daerah yang menurun. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil diperlukan kebijakan-kebijakan yang pro pertumbuhan, misalnya pengembangan infrastruktur dan penciptaan iklim usaha yang kompetitif. Selain itu perlu adanya identifikasi mengenai sektor mana yang maju dan berpotensi berkembang di tiap-tiap daerah.
Dari 33 provinsi, hanya 9 provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2012 ke 2013. Provinsi tersebut adalah Jambi (7,88%), DIY (5,4%), Kalimantan Barat (6,08%), Kalimantan Tengah (7,37%), Sulawesi Tengah (9,38%), Gorontalo (7,76%), NTB (5,92%), NTT (5,56%), dan Papua (14,84%). Sedangkan provinsi lain mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menarik untuk diketahui bahwa ada beberapa provinsi yang mengalami percepatan tersebut secara year-on-year pada kuartal I-2014 ternyata melambat, yaitu DIY, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, NTT, dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi ekonomi daerah di Indonesia sejatinya memang belum cukup kuat. Perlambatan regional ini tentu akan berpengaruh terhadap perekonomian secara nasional.
Jika dilihat dari pertumbuhan kuartalan yang sudah terjadi di kuartal I dan II-2014, hanya 12 provinsi yang mengalami ekspansi. Provinsi-provinsi tersebut adalah DI Aceh (didukung oleh Sektor Jasa dan Perdagangan, Hotel dan Restoran), Kepulauan Riau, Lampung (Sektor industri pengolahan), DKI Jakarta (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Transportasi dan Komunikasi; dan Jasa), Banten (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran), Jawa Barat (Perdagangan, Hotel dan Restoran), Kalimantan Tengah (sektor Pertambangan dan Jasa), Bali (sektor Pertanian dan Perdagangan, Hotel dan Restoran), Sulawesi Tenggara (Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran), NTT (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Jasa), Papua (Sektor Industri Pengolahan), dan Papua Barat (Sektor Industri Pengolahan), di mana Aceh dan NTT pertumbuhan ekonominya masih di bawah nasional.
Salah satu kebijakan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah adalah UU Minerba. Undang-undang Minerba yang disetujui oleh DPR 16 Desember 2008 lalu diharapkan dapat meningkatkan value added pada komoditas pertambangan Indonesia. Komoditas tambang yang diregulasi dilarang untuk langsung diekspor tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Diharapkan di masa mendatang kebijakan ini akan berdampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014 lalu ini atau 5 tahun setelah disahkan ternyata belum sesuai yang diharapkan. Banyak polemik yang terjadi dimana dalam jangka waktu 5 tahun ternyata masih banyak daerah yang belum siap membangun smelter atau instalasi pengolahan hasil tambang. Akibatnya adalah banyak daerah mengalami gangguan dalam perekonomian, terutama daerah yang memiliki komoditas tambang dan pembangunan smelter yang terhambat, seperti Sulawesi Tengah.
UU Minerba ini juga akan berdampak pada negara mitra perdagangan Indonesia, terutama mitra perdagangan komoditas tambang yang selama ini melakukan impor komoditas tambang mentah dari Indonesia. Pada masa perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012 (dan diperkirakan masih akan berlanjut), kebijakan yang terkait migas sangat sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Terutama untuk menghadapi UU Minerba, dibutuhkan infrastruktur pabrik pengolahan barang tambang seperti pembangunan smelter agar ekspor bahan tambang Indonesia memiliki nilai tambah lebih. Pembangunan infrastruktur sangat penting untuk dilaksanakan untuk meningkatkan daya dukung perekonomian yang diharapkan akan menjaga pertumbuhan di atas 5%.
Perkembangan inflasi di beberapa provinsi di Indonesia hingga kuartal II- 2014 cukup mengkhawatirkan di mana 12 provinsi memiliki inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional (mencapai 2% year-to-date dari awal tahun hingga Juni 2014). Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara.
Tabel 11: Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di 33 Provinsi (%, y-o-y)
Pertumbuhan ekonomi melambat di berbagai provinsi
catatan:
* = y-o-y
** = tahun kalender
Sumber: BPS dan BI (2014)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2013 di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa kualitas hidup yang terdiri dari faktor kesehatan, pengetahuan, dan penghidupan yang layak semakin baik. Dari 33 provinsi di Indonesia, 5 provinsi dengan IPM tertinggi dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta (78,59), DI Yogyakarta (77,37), Kalimantan Timur (77.33), Sulawesi Utara (77,36), dan Riau (77,25).
Ketimpangan pendapatan tahun 2013 yang ditunjukkan oleh rasio gini di berbagai provinsi di Indonesia secara umum meningkat. Penurunan ketimpangan pendapatan terjadi di 9 provinsi antara lain Sumatera Selatan (dari 0,4 ke 0,38), Riau (dari 0,4 ke 0,37), Jawa Barat (dari 0,41 ke 0,40), Kalimantan Selatan (dari 0,38 ke 0,36), Bali (dari 0,43 ke 0,4), Sulawesi Utara (dari 0,43 ke 0,42), NTT (dari 0,36 ke 0,35), Maluku (dari 0,38 ke 0,37), dan Maluku Utara (dari 0,34 ke 0,32). Provinsi dengan ketimpangan pendapatan tertinggi antara lain DI Yogyakarta (0,44), Gorontalo (0,44), Papua (0,44). Sedangkan ketimpangan pendapatan terendah ada di Provinsi Bangka Belitung (0,31). Menarik untuk diketahui adalah DI Yogyakarta dengan IPM tertinggi di Indonesia ternyata mengalami masalah ketimpangan pendapatan yang dilihat dari tingginya rasio Gini sebesar 0,44. Sedangkan Riau dan Sulawesi Utara sebagai provinsi dengan IPM tertinggi berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya.
Tabel 12: Ketimpangan Pendapatan dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
Ketimpangan Pendapatan di berbagai provinsi secara umum meningkat begitu juga dengan IPM
Sumber: BPS (2014)