Perekonomian nasional saat ini berada dalam critical point. Faktor melemahnya nilai tukar rupiah, inflasi yang terus naik bahkan mencapai puncak tertinggi sejak Global Financial Crisis, disertai peningkatan defisit transaksi berjalan dan semakin tergerusnya cadangan devisa akibat capital outflow serta besarnya utang luar negeri swasta jangka pendek yang jatuh tempo membuat instabilitas perekonomian Indonesia meningkat. Memburuknya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia sudah berlangsung lebih dari satu tahun terkahir ini. Selain itu, tekanan yang dihadapi ekonomi nasional disebabkan juga oleh semakin memburuknya ekonomi emerging economies serta kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa berlanjut ke tahapan yang lebih buruk dan menyebabkan Indonesia masuk ke dalam lubang krisis.
Dimulai dengan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB), perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional sudah terjadi sejak empat kuartal terakhir. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3%. Namun, ditengah kondisi perekonomian global yang belum stabil, pencapaian target PDB tersebut tidaklah mudah. Sulitnya pencapaian target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2013 yang masih di bawah ekspektasi pemerintah, tercatat sebesar 6,03% (yoy) dan terus melambat di kuartal II-2013 menjadi 5,81% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2013 yang melambat dari kuartal sebelumnya selaras dengan hasil prediksi GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI). Selama ini GAMA LEI terbukti mampu memprediksi kondisi ekonomi Indonesia secara akurat, bahkan pada edisi sebelumnya prediksi GAMA LEI mampu mematahkan prediksi berbagai lembaga lainnya. Dari sisi pengeluaran, ekonomi Indonesia yang melambat disebabkan karena melambatnya pertumbuhan investasi, yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal II-2013, menjadi 4,67% dari 12,47% pada kuartal II-2012.
Selain itu, Konsumsi Pemerintah juga menurun sangat tajam akibat rendahnya penyerapan anggaran pemerintah hingga sekarang ini. Pada kuartal II-2013, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah hanya 2,13% padahal di kuartal II-2012 mampu tumbuh mencapai 8,64%. Selain itu, meskipun pada kuartal II-2013 Ekspor meningkat 4,78% (yoy) dibandingkan kuartal II-2012 yang tercatat sebesar 2,63%, namun pertumbuhan ini masih tergolong rendah karena dibawah target pertumbuhan ekspor pada APBN-P 2013, yaitu sebesar 6,6%.
Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Pengeluaran, Tahun 2009 – 2013* (yoy, dalam %)
Sejak 10 kuartal terakhir baru sekarang ini laju pertumbuhan PDB berada di bawah 6%
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
Dari sisi lapangan usaha, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2013, secara year on year, dibandingkan kuartal sebelumnya terjadi di semua sektor, kecuali sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang tumbuh sebesar 11,46% dan sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih yang naik tipis menjadi 6,60%.
Gambar 2: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2009 – 2013* (yoy, dalam %)
Target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
Dalam rangka merespon meningkatnya instabilitas ekonomi makro karena merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan. Kebijakan tersebut meliputi penetapan pajak barang mewah lebih tinggi untuk mobil completely build up (CBU) dan barang impor bermerk dari rata-rata 75% menjadi 125% hingga 150%. Selain itu, paket kebijakan pemerintah tersebut juga menegaskan pemberian insentif kepada industri padat karya, termasuk keringanan pajak; pemerintah juga berkoordinasi dengan bank sentral menjaga gejolak harga dan inflasi; serta mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Paket kebijakan ini diharapkan mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia di tengah semakin memburuknya perekonomian emerging economies, serta ketidakpastian ekonomi global. Namun, ternyata paket tersebut tidak mampu meredam volatilitas ekonomi makro, Rupiah terus terdepresiasi, dan IHSG terus turun.
Meskipun pertumbuhan ekonomi melambat, pemerintah mengklaim telah berhasil menekan angka kemiskinan. Namun, penting untuk dicermati apakah batas garis kemiskinan yang dijadikan parameter oleh pemerintah sudah mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dirilis oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia turun dari 11,66% pada September 2012 menjadi 11,37% pada Maret 2013 atau setara 28,07 juta orang . Menurut BPS, garis batas kemiskinan meningkat 4,66% dari IDR 259.520 per kapita per bulan pada September 2012 menjadi IDR 271.626 per kapita per bulan pada Maret 2013. Dengan tidak bermaksud mendiskreditkan pemerintah, namun tentunya akan sulit bagi masyarakat untuk hidup layak dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Meski demikian, pemerintah terus berusaha menurunkan angka kemiskinan. Salah satu usahanya adalah ditingkatkannya anggaran untuk penanggulangan kemiskinan dari IDR 53,1 triliun di tahun 2007 menjadi sebesar IDR 115,5 triliun pada tahun 2013. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan angka kemiskinan tahun 2013 menjadi sekitar 9,5% – 10,5%. Namun, keberhasilan pemerintah mencapai target angka kemiskinan tergantung dari keberhasilan pemerintah menekan inflasi. Jika pemerintah tidak berhasil menjaga inflasi, maka penduduk yang hampir miskin bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Gambar 3: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Tahun 2004 – 2013*
Pemerintah klaim jumlah penduduk miskin menurun, namun jumlah penduduk miskin masih besar
Sumber : Berita Statistik BPS No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 201