Kinerja perekonomian nasional di tahun 2014 mengalami perlambatan akibat dari tekanan ekonomi dari dalam dan luar negeri. Ketidakpastian di masa transisi pemerintahan dalam negeri saat itu membuat para pelaku ekonomi masih enggan untuk merealisasikan kegiatan bisnisnya dan lebih mengambil strategi “wait and see” berharap akan ada sedikit kepastian. Hal ini diperparah dengan krisis keuangan global yang nampaknya belum akan mencapai keseimbangan baru dalam waktu dekat. Alhasil, capaian kinerja ekonomi makro kebanyakan relatif meleset dari target atau asumsi yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tilik saja, pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,1%, inflasi relatif tinggi 8,36%, nilai tukar IDR 11.878 per USD, suku bunga SPN 3 bulan rata-rata 5,8%, harga minyak Indonesia USD 97 per barel.
Realisasi APBN-P 2014
Realisasi APBN-P (Perubahan) 2014 adalah di bawah yang ditargetkan baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja. Pemerintah dapat mencapai defisit 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini masih di bawah batasan treshold defisit 3% dari PDB. Defisit ini disebabkan oleh dua sisi. Pertama dari sisi pendapatan, pemerintah hanya mampu merealiasikan sekitar 94% dari yang ditargetkan, yaitu IDR 1.635,4 triliun target APBN-P (Perubahan) 2014 sedangkan realisasinya IDR 1.537,2 triliun. Meskipun sebenarnya tren tidak terealisasinya target pendapatan sudah terjadi di beberapa tahun terakhir, namun gap antara realisasi dan target pendapatan terbesar adalah di tahun 2014. Bandingkan, data Bank Indonesia (2015) menunjukkan bahwa di tahun 2012 dan 2013 pemerintah mampu merealisasikan masing-masing sebesar 98% dan 96%.
Tidak terealiasinya target pendapatan di tahun 2014 disebabkan melesetnya penerimaan pajak (terutama pajak pertambahan nilai dan pajak penerimaan non migas) sebagai imbas melemahnya perekonomian di sektor pertambangan dan manufaktur, penurunan impor dan lesunya ekspor produk-produk unggulan seperti CPO, karet, kopi, dan lain lain. Penerimaan pajak yang dominan dalam struktur penerimaan masih didominasi oleh pajak terkait perusahaan (terutama terkait perusahaan pengelola sumber daya alam terutama migas) dan konsumsi. Penerimaan pajak pendapatan perseorangan juga masih belum efektif.
Kedua dari sisi belanja, realisasi lebih rendah dari yang ditargetkan. Realisasi belanja sekitar 94% dari yang ditargetkan, yaitu target APBN-P 2014 IDR 1.876,9 triliun dan realiasi IDR 1.764,4 triliun. Damuri dan Day (2015) mencatat terdapat dua penyebab tidak tercapainya target pengeluaran. Pertama, penurunan subsidi energi (BBM dan listrik) yang dalam APBN-P 2014 adalah 27,4% dari total pengeluaran pemerintah pusat. Kedua, perbaikan efisiensi belanja pemerintah pusat, termasuk larangan untuk mengadakan pertemuan-pertemuan di hotel.
Komparasi APBN 2015 dan APBN-P 2015
APBN 2015 yang diajukan oleh pemerintahan Yudhoyono disetujui oleh DPR pada bulan September 2014. APBN tersebut disusun dengan asumsi relatif optimis yaitu (Kemenkeu, 2014): pertumbuhan ekonomi 5,8%, inflasi 4,4%, suku bunga SPN 6,0%, nilai tukar IDR 11.900 per USD, harga minyak USD 105/barel, lifting minyak 900 ribu barel/hari, lifting gas 1.248 ribu barel setara minyak per hari. Pemerintahan baru terbentuk di bawah kepemimpinan Jokowi mengajukan revisi APBN-P 2015 pada bulan Januari 2015 dan mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Februari 2015. Revisi tersebut urgent untuk dilakukan untuk penyesuaian perkembangan kondisi dan nasional dan internasional. Asumsi pertumbuhan ekonomi diturunkan menjadi 5,7%, nilai tukar didepresiasi dari IDR 11.900 per USD menjadi IDR 12.500 per US, harga minyak diturunkan dari USD 105/barel menjadi USD 60/barel, target lifting minyak diturunkan 8,3% (Damury dan Day, 2015).
Secara nyata, perbandingan asumsi-asumsi APBN 2015 dan APBN-P 2015 mengindikasikan kehilangan beberapa pendapatan dan pemerintah harus telah mengantisipasi hal tersebut. Pertama, dari sisi pendapatan pemerintah akan berusaha meningkatkan penerimaan pajak sebesar 7,9% (atau sekitar 30,3% dibanding penerimaan pajak tahun lalu). Peningkatan penerimaan pajak tersebut akan diusahakan dari peningkatan penerimaan pajak pendapatan perseorangan IDR 679,4 triliun. Damuri dan Day (2015) mencatat bahwa target peningkatan dari pajak pendapatan perseorangan ini sedikit ambisius mengingat Direktur Jendral Pajak seringkali luput dari yang apa ditargetkan. Saat ini belum ada kejelasan tentang apa yang akan dilakukan olen Kementrian Keuangan (Kemenkeu) akan hal tersebut, apakah akan dilakukan dengan perbaikan administrasi perpajakan.
Kedua, dari sisi belanja upaya efisiensi akan dilakukan. Penyesuaian asumsi APBN-P 2015 juga perlu memperhatikan dampak dari pengurangan subsidi BBM secara besar-besaran ‘big bang’ pada bulan November 2014. Kebijakan ini akan menghemat belanja pemerintah secara signifikan dari IDR 414.7 triliun di APBN 2015 menjadi hanya separonya IDR 212 trilun dalam APBN-P 2015. Kebijakan penurunan subsidi ‘big bang’ ini memang mengejutkan banyak pengamat, pebisnis dan rumah tangga yang memiliki prediksi penurunan subsidi gradual, misal penurunan 20% subsidi setiap tahunnya sehingga di akhir masa jabatan 5 tahun Presiden Jokowi sudah tidak ada subsidi. Namun kenyataan, Presiden Jokowi lebih memilih penurunan subsidi ‘big bang’ di awal masa jabatannya. Mungkin harapannya adalah kebijakan tersebut masih mendapatkan dukungan legitimasi masyarakat atas kepemimpinannya dan memberikan shock inflasioner dan spekulatif sekali saja.
Alhasil, dari sisi fiskal penurunan subsidi BBM ‘big bang’ ini akan memberikan kelonggaran fiskal untuk pemerintah, untuk pengeluaran lainya (realokasi) atau paling tidak menurunkan tekanan defisit. Realokasi akan lebih diprioritaskan pada belanja infrastruktur terkait dengan peningkatan konektivitas darat dan laut (jalan tol, kereta api, pelabuhan, tol laut, irigasi dsb), terutama yang menjadi domainnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian Transportasi, dan Kementerian Pertanian.
Penutup
Kondisi perekomian Indonesia saat ini membutuhkan policy mix: kebijakan fiskal dan moneter yang ekpansif. Dampak ekonomi fiskal APBN-P 2015 akan relatif tidak begitu terasa ekspansinya dengan defisit akan hanya sekitar -1,9% dari GDP. Defisit tersebut akan didanai dari sumber domestik memungkinkan tarik-menarik dengan investasi swasta domestik. Potensi geliat ekonomi dari desa harus bisa ditangkap oleh pelaku-pelaku pembangunan desa karena kenaikan pengeluaran alokasi Dana Desa IDR 9,1 triliun di APBN menjadi IDR 20,8 triliun di APBN-P 2015. Alokasi Dana Desa tersebut merupakan wujud dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan adanya alokasi Dana Desa, diharapkan akan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam memperkuat upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang makin merata.
Daftar Pustaka
Damuri, Y.R dan C.Day, 2015. ‘Survey of Recent Developments’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 51, No. 1: 3–27.
Bank, Indonesia, 2015. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Diakses 10 Maret 2015. Website: http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/keuangan-pemerintah/Contents/Default.aspx
Kementrian Keuangan, 2014. Budget in Brief APBN 2015. Diakses 10 Maret 2015. Website: http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/bibfin.pdf