Perkembangan berbagai indikator makroekonomi Indonesia menjauh dari asumsi APBN 2014. Hal ini yang menjadi alasan utama pengajuan RAPBNP 2014 oleh pemerintah untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2014. Ambang batas defisit 3% dari PDB yang ditetapkan oleh undang-undang bisa terlampaui jika tidak dilakukan penyesuaian pada anggaran negara. Pendapatan negara berpotensi untuk turun signifikan karena pertumbuhan ekonomi dan lifting migas diperkirakan akan lebih rendah dari target, sementara belanja negara membengkak karena peningkatan beban subsidi energi dan pelemahan nilai rupiah. Perlu dicatat bahwa asumsi makro APBN hanyalah panduan bagi penentuan anggaran negara dan bukan target yang harus dicapai oleh penyelenggara negara.
Tabel 1: Perbandingan Asumsi Makro RAPBNP 2014
Asumsi pertumbuhan ekonomi dikoreksi menjadi hanya 5,5% dalam RAPBNP 2014
Catatan:
* Per 11 Juni 2014, DPR telah menyetujui seluruh perubahan asumsi makro kecuali asumsi nilai tukar yang disetujui IDR/USD 11.600; pembahasan RAPBNP masih terus berlanjut hingga tulisan ini dimuat
Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBNP 2014
Postur APBN akan semakin tidak ‘sehat’ dengan komposisi belanja pemerintah pusat yang semakin terbebani subsidi. Subsidi yang diajukan diperkirakan akan mencapai IDR 444,9 triliun atau lebih besar 33,3% dari alokasi dalam APBN 2014. Jumlah tersebut jika dikombinasikan dengan belanja pegawai melebihi separuh dari total belanja pemerintah pusat (55,9%). Akibatnya, alokasi untuk belanja modal rencananya turun sebesar IDR 32,9 triliun.
Tabel 2: Ringkasan Belanja Pemerintah Pusat (IDR triliun)
Alokasi subsidi yang diajukan membengkak 33,3%; belanja modal menurun 17,9%
Catatan:
* unaudited..
** pembahasan RAPBNP masih terus berlanjut hingga tulisan ini dimuat
Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBNP 2014
Sekitar 88% belanja subsidi yang diajukan dialokasikan untuk subsidi energi. Jumlah ini merupakan akumulasi dari peningkatan subsidi untuk BBM & LPG dan listrik. Alokasi subsidi BBM & LPG 3 kg yang diajukan meningkat menjadi IDR 284,99 triliun atau 35,2% dari yang dialokasikan pada APBN 2014. Sementara itu, subsidi listrik meningkat menjadi IDR 107,15 triliun. Lonjakan ini utamanya terjadi karena revisi asumsi kurs rupiah terhadap dolar AS dan lifting minyak. Dalam RAPBNP 2014, kurs melemah dari IDR/USD 10.500 menjadi IDR/USD 11.600 dan lifting minyak turun dari 870 ribu menjadi hanya 818 ribu barel per hari. Sementara itu, alokasi untuk subsidi non-energi meningkat IDR 1,1 triliun. Peningkatan ini merupakan efek bersih dari peningkatan alokasi untuk subsidi pajak sebesar IDR 1,8 triliun dan penurunan subsidi pangan IDR 0,7 triliun.
Tabel 3: Komposisi Belanja Subsidi (IDR triliun)
Alokasi subsidi energi yang diajukan dalam RAPBNP 2014 mencapai 88,15% dari total subsidi
Catatan:
* unaudited..
** pembahasan RAPBNP masih terus berlanjut hingga tulisan ini dimuat
Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBNP 2014
Pada pembahasan 13 Juni 2014, DPR menyetujui defisit sebesar 2,4% dari PDB atau IDR 241,49 triliun. Jumlah ini meningkat IDR 66,1 triliun dari defisit yang ditetapkan dalam APBN 2014. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan keinginan awal pemerintah untuk mengurangi defisit APBN pada tahun ini. Sebagai perbandingan realisasi defisit tahun lalu sebesar 2,2% dari PDB atau IDR 202,8 triliun.
Pendapatan dan belanja negara telah disepakati masing-masing sebesar IDR 1.635,4 triliun dan IDR 1.876,8 triliun dalam pembahasan sementara yang masih berlangsung di DPR. Target pendapatan negara mengalami penurunan 1,9% dari alokasi pada APBN 2014 atau IDR 31,8 triliun. Penurunan ini akibat perkiraan pendapatan dalam negeri yang turun cukup signifikan baik dari pajak maupun non-pajak. Sementara itu, alokasi belanja negara meningkat 12,7% atau IDR 211 triliun. Hingga tulisan ini dimuat, belum ada publikasi resmi mengenai detail penerimaan dan belanja negara. Namun demikian, dalam pengajuan RAPBNP 2014, peningkatan ini utamanya bersumber dari peningkatan belanja pemerintah pusat yaitu untuk subsidi energi. Peningkatan ini sebenarnya sudah terkurangi dengan pengajuan penghematan di kementerian dan lembaga sebesar IDR 98,5 triliun serta dana perimbangan yang menurun seiring dengan penurunan pendapatan negara sebesar IDR 8,9 triliun.
Tabel 4: Ringkasan RAPBNP 2014, APBN 2014 dan Realisasi 2013 (IDR triliun)
Dalam pembahasan per 13 Juni 2014, DPR menyepakati defisit anggaran naik menjadi 2,4% terhadap PDB
Catatan:
* unaudited..
** per 13 Juni 2014; pembahasan RAPBNP masih terus berlanjut hingga tulisan ini dimuat
Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBNP 2014
Sementara itu, proporsi penyerapan APBN per kuartal I-2014 tercatat lebih rendah dibandingkan pada APBN 2013 kuartal I. Di kuartal I-2013, belanja sudah terealisasi 16,2% dari total belanja APBN 2013, sedangkan pada Maret tahun ini baru mencapai 15,6% dari total belanja negara dalam APBN 2014. Meski demikian, secara nominal realisasi belanja di 2014 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Di lain sisi, pencapaian realisasi penerimaan APBN per kuartal-I 2014 sudah lebih tinggi dibandingkan pada APBN 2013 kuartal I. Per kuartal I-2014, tercatat penerimaan sudah mencapai 17,3% dari total target penerimaan negara dalam APBN 2014. Angka ini lebih tinggi dari 16,6% dari APBN 2013 yang merupakan pencapaian di Maret tahun lalu. Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam optimalisasi penerimaan negara di tahun ini. Meski demikian, pemerintah tetap melakukan revisi dengan target penerimaan yang lebih rendah dalam RAPBNP 2014.
Tabel 5: Realisasi Belanja Negara dan Penerimaan & Hibah 2013:Q1 dan 2014:Q1
Proporsi realisasi belanja APBN 2014:Q1 menurun; pencapaian penerimaan APBN 2014:Q1 meningkat
Catatan: *Nilai yang telah disepakati di DPR dalam pembahasan sementara; pembahasan RAPBNP masih terus berlanjut hingga tulisan ini dimuat
Sumber: Kementerian Keuangan, I-account (diolah)
Manajemen pengelolaan keuangan negara yang lebih baik mutlak dibutuhkan pada pemerintahan baru nanti. Tantangan yang cukup besar akan dihadapi oleh pemerintahan selanjutnya. Namun, rasanya cukup adil untuk optimistis, mengingat isu ini hampir menjadi bahan program ekonomi semua partai maupun calon presiden peserta pemilu. Terlebih lagi alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pemilu yang notabene untuk mencari para wakil rakyat baik di eksekutif maupun legislatif ini semakin besar—tumbuh 9,5% secara riil . Dana Pemilu 2014 dianggarkan IDR 20,5 triliun, sedangkan pada Pemilu 2009 sebesar IDR 15,1 triliun (DJA-Kemenkeu, 2014). Semoga alokasi anggaran untuk pemilu ini berbanding lurus dengan kualitas orang-orang pilihannya.
Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 276,49 miliar pada bulan Maret 2014. Angkatersebut tumbuh9,2% (y-o-y) dibandingkan dengan posisi bulan yang sama tahun 2013.Dengan perkembangan ini, pertumbuhan utang luar negeri pada Maret 2014 tercatat sedikit meningkat bila dibandingkan dengan pertumbuhan Febuari 2014 yang tercatat tumbuh sebesar 8% (y-o-y). Jumlah utang luar negeri yang nilainya terus bertambah akan semakin membebani perekonomian dalam negeri apabila depresiasi nilai rupiah terus terjadi.
Posisi utang luar negeri pada Maret 2014 terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebesar USD 130,51 miliar dan sektor swasta sebesar USD 145,98 miliar. Dari jumlah itu, porsi utang luar negeri sektor publik dan swasta terhadap total utang luar negeri pada Maret 2014 masing-masing mencapai 47,2% dan 52,8%. Besarnya utang luar negeri sektor swasta patut mendapat sorotan karena pada bulan Maret 2014 tumbuh sebesar 13,1% (y-o-y), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 12,8% (y-o-y). Sementara itu,utang luar negeri sektor publik di bulan Maret 2014 tumbuh sebesar 5,1% (y-o-y), lebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 3,2% (y-o-y).
Gambar 6: Utang Luar Negeri Indonesia, September 2011-Maret 2014 (USD Miliar)
Utang luar negeri Indonesiamengalami peningkatan
Sumber: DJPU dan CEIC (2014)
Pemerintah perlu mencermati dan mengambil langkah strategis untuk mencegah terjadinya pembengkakan utang luar negeri. Posisi utang luar negeri Indonesia yang berada pada posisi mengkhawatirkan terlihat pada peningkatan rasio pembayaran utang (debt service ratio) yang mengalami peningkatan tajam pada kuartal IV-2013, tercatat sebesar 52,7%. Angka ini menunjukkan bahwa manajemen utang pemerintah harus menjadi perhatian besar, jika tidak maka sebagian hasil devisa Indonesia hanya akan digunakan untuk membayar utang dan bukan untuk membiayai program-program yang produktif. Utang luar negeri yang terus meningkat juga disebabkan oleh BI rate yang mencapai 7,5%. Hal ini membuat swasta lebih memilih untuk mencari likuiditas dari luar negeri yang memiliki suku bunga pinjaman yang lebih kompetitif dari domestik. Peningkatan BI rate menunjukkan kontraksi atau perlambatan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia.
Gambar 7: Kepemilikan Asing Atas Surat Berharga di Indonesia Oktober 2011-April 2014 (IDR Triliun)
Kepemilikan asing atas surat berharga meningkat
Sumber: DJPU, BI, dan OJK (2014)
Daya tarik Indonesia di mata investor asing masih belum hilang. Tidak hanya pasar saham, pasar obligasi pun tak lepas dari sasaran pemodal asing. Kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah pada April 2014 mencapai IDR 377 triliun atau mencerminkan 41% dari total obligasi yang beredar. Jika dibandingkan dengan April tahun lalu, kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah pada April 2014 meningkat 23.7% dari IDR 304,72 triliun. Sementara itu, kepemilikan asing atas ekuitas pada Maret 2014 mencapai IDR 1.645,52 triliun. Jika dibandingkan dengan Maret 2013, kepemilikan asing atas ekuitas pada Maret 2014 turun 7,1% dari IDR 1.771,25 triliun. Selanjutnya, kepemilikan asing atas SBI pada April 2014 tercatat sebesar IDR 9,9 triliun, meningkat sebesar IDR 8,26 trilun dibandingkan dengan posisinya pada April 2013.
Keberadaan modal asing pada perekonomian suatu negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Pada saat ekonomi sedang mengalami perlambatan, modal baik asing maupun domestik diperlukan untuk suatu aksi ekspansi yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, masuknya modal asing juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan sektor domestik karena kehadiran modal asing seringkali dianggap bisa mengancam keberadaan industri lokal. Selain itu, muncul kekhawatiran jika suatu saat investor asing tiba-tiba menarik dana dan memindahkannya ke luar negeri, terutama terhadap instrumen yang berjangka waktu pendek. Akibatnya, likuiditas berkurang, sehingga investasi berkurang dan perekonomian melambat. Oleh karena itu, kini pemerintah Indonesia terus melakukan penguatan pasar domestik, peningkatan pendalaman pasar keuangan agar likuiditas meningkat, perluasan basis investor, dan diversifikasi instrumen agar lebih bervariasi.
Gambar 8: Komposisi Surat Berharga Negara November 2011-April 2014
Surat BerhargaNegara mengalami peningkatan
Sumber: DJPU dan CEIC (2014)
Penerbitan SBN merupakan satu cara yang paling dipilih oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam negeri. Total SBN outstanding April 2014 sebesar IDR 1.495,74 triliun meningkat sebesar IDR 327,83 triliun (y-o-y) (lihat Gambar 12). Pada April 2014, obligasi bunga tetap sebesar IDR 828,32 triliun naik sebesar IDR 173,47 triliun (y-o-y). Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) April 2014 sebesar IDR 98,90 triliun naik sebesar IDR 23,04 triliun (y-o-y). Tren yang selalu positif ini menunjukkan bahwa SBSN semakin diminati oleh masyarakat dan pasar obligasi syariah semakin berkembang di Indonesia. SBSN juga digunakan oleh pemerintah untuk menarik dana untuk menutup defiistAPBN 2014. Selain itu, kehadiran SBSN ini diharapkan mampu menarik minat investor asing etrutama dari kawasan Timur Tengah untuk berinvestasi di Indonesia. Obligasi denominasi Valuta Asing April 2014 mengalami penurunan sebesar IDR 2,95 triliun menjadi IDR 405,96 triliun dari Maret 2014, meningkat sebesar IDR 112,53 triliun (y-o-y). Surat Perbendaharaan Negara turun tipis sebesar IDR 500miliar dari Maret 2014 menjadi IDR 39,8 triliun dan meningkat sebesar IDR 18,78 triliun (y-o-y).