A. Jumlah Uang Beredar
Pada bulan Juli 2013, bank sentral mencatat jumlah uang beredar M1 dan M2 mencapai IDR 903, 29 triliun dan IDR 3.529,66 triliun. Dengan demikian, terdapat peningkatan dalam jumlah uang beredar M1 dimana pada Juli 2013 MI tumbuh 17% (yoy), naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan M2 juga tercatat meningkat 15,5% (yoy) pada Juli 2013 dibandingkan bulan Juni 2013 yang tumbuh sebesar 11,9% (yoy).
Tingginya pertumbuhan uang beredar di bulan Ramadhan dan Lebaran, mendorong laju inflasi bulan Agustus 2013. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) penarikan uang tunai oleh masyarakat pada periode 10 Juli –2 Agustus 2013 mencapai IDR 97 triliun atau 94,1% dari estimasi kebutuhan uang tunai selama Lebaran yang mencapai IDR 103,1 triliun.
Gambar 4: Jumlah Uang Beredar, Tahun 2011 – 2013*
Meningkatnya jumlah uang beredar turut mendorong laju inflasi Agustus 2013
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
B. Tingkat Inflasi
BPS mengumumkan inflasi Agustus 2013 mencapai 8,79% (yoy), setelah mencatat inflasi yang cukup tinggi pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,61% (yoy). Dengan demikian, maka inflasi tahun kalender Januari-Agustus 7,94%, telah melampaui asumsi inflasi APBN-P 2013 yang sebesar 7,2%.
Pemicu inflasi bulan Agustus 2013 terutama karena tekanan dari beberapa harga komoditas hortikultura dan berlanjutnya tekanan harga bawang merah dan daging sapi sehingga menyebabkan inflasi bergejolak (volatile) masih cukup tinggi yakni mencapai 16,52% (yoy). Sedangkan pada Agustus 2013, inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) mencapai 15,4% (yoy), yang didorong kenaikan tarif angkutan selama periode Lebaran dan kenaikan tariff listrik. Sementara itu, inflasi inti mencapai 4,48% (yoy).
Gambar 5 : Tingkat Inflasi Tahun 2011 – 2013* (yoy, dalam %)
Tingginya inflasi Agustus 2013 terutama berasal dari inflasi harga diatur pemerintah dan harga bergejolak.
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
Dari data yang dirilis BPS, inflasi Agustus 2013 terjadi karena adanya kenaikan harga di seluruh kelompok pengeluaran. Angka tertinggi penyumbang inflasi Agustus 2013 (mtm) adalah kelompok sandang 1,81%, bahan makanan 1,75%, serta kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 1,36%. Tingginya inflasi bulan Agustus 2013 tidak lepas dari dampak bulan Ramadhan dan Lebaran yang menyebabkan meningkatnya permintaan sandang dan bahan makanan.
Selain itu, inflasi Agustus 2013 (mtm) juga didorong oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,68%; kelompok; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,66%; kelompok sandang 1,81%; kelompok kesehatan 0,37%; dan kelompok transport, komunikasi, dan jasa keuangan 0,95%.
Gambar 6 : Tingkat Inflasi Tahun 2011 – 2013* Menurut Kelompok Pengeluaran (mtm, dalam %)
Tekanan inflasi yang semakin meningkat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
C. Tingkat Suku Bunga
Diawal tahun 2013, Bank Indonesia mematok suku bunga acuan (BI rate) sebesar 5,75%. Kemudian, di bulan Juni 2013, bank sentral menaikkan 25 basis poin ke level 6% . Kebijakan ini diambil BI sebagai antisipasi terhadap inflasi dan respon terhadap pelemahan rupiah seiring dengan arus keluar modal asing mulai akhir Mei 2013.
Kemudian pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 11 Juli 2013, bank sentral kembali menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,5%. Kebijakan ini diambil BI sebagai upayanya merespons semakin tingginya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan ditengah ketidakpastian pasar keuangan global.
Gambar 7: Perkembangan BI Rate, Suku Bunga SBI, Deposito, dan Penjaminan Tahun 2009 – 2013* (dalam %)
Suku bunga acuan naik menjadi 7,25%
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Menyikapi pelemahan rupiah yang terus berlangsung serta dinamika perubahan ekonomi global dan nasional, Bank Indonesia mengadakan RDG bulanan tambahan pada Kamis, 29 Agustus 2013 yang memutuskan untuk menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7%.
Selanjutnya, sehubungan dengan tekanan yang masih dihadapi oleh Rupiah, Bank Indonesia kembali menaikkan BI rate dalam RDG tanggal 12 September 2013 menjadi 7,25%. Keputusan BI menaikkan suku bunga acuan diambil untuk membantu menjaga kurs mata uang rupiah agar tidak jatuh lagi karena suku bunga dalam rupiah jadi lebih atraktif. Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah bank sentral dalam menekan defisit transaksi berjalan. Selain menaikkan BI rate, bank sentral juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Lending Facility (LF) menjadi 7,25% dan suku bunga Deposit Facility (DF) menjadi 5,5%.
Selain itu, BI juga mengeluarkan kebijakan untuk memperpendek jangka waktu month-holding-period kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6 bulan menjadi 1 bulan. BI juga memutuskan untuk memperhitungkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) sebagai komponen Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder.
Kebijakan lainnya adalah bank sentral memutuskan untuk memperkuat kerjasama antara bank sentral dengan memperpanjang Bilateral Swap Arrangement (BSA) antara Bank Indonesia dengan Bank of Japan . Bank Indonesia telah menandatangani perpanjangan BSA dengan Bank of Japan sebagai agen Menteri Keuangan Jepang sebesar USD 12 miliar, berlaku efektif 31 Agustus 2013.
Gambar 8: Cadangan Devisa Indonesia Tahun 2011 – 2013* (dalam USD Miliar)
Cadangan devisa semakin tergerus
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Cadangan devisa Indonesia merupakan aset eksternal yang dapat langsung tersedia dan berada di bawah kontrol bank sentral selaku otorita moneter untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran, serta melakukan intervensi di pasar dalam rangka memelihara kestabilan nilai tukar.
Namun, saat ini posisi cadangan devisa semakin tergerus karena defisit transaksi berjalan yang meningkat padahal surplus transaksi modal dan finansial belum dapat menutup defisit transaksi berjalan sehingga neraca pembayaran defisit. Cadangan devisa tercatat merosot sebesar USD 20,11 miliar dari USD 112,78 miliar pada Desember 2012 menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013. Kondisi cadangan devisa ini membuat upaya bank sentral untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah semakin terbatas. Padahal kebutuhan akan USD untuk pembayaran utang luar negeri cukup besar. Berdasarkan data BI, pembayaran utang luar negeri sepanjang Juni hingga Desember 2013 mencapai USD 28,88 miliar.
Gambar 9: Nilai Tukar dan Harga Saham Tahun 2011 – 2013*
Nilai Rupiah terus menurun. Sejak awal tahun hingga Agustus 2013, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 12,64%.
Sumber : Bursa Efek Indonesia, Bank Indonesia, dan CEIC (2013)
Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global ditengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia telah memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan nasional. Rencana pengurangan bertahap stimulus moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (the Fed) terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan harga saham menurun serta nilai tukar di beberapa negara emerging market melemah, termasuk Indonesia.
Selanjutnya, akibat tekanan pasar keuangan global serta faktor domestik terutama terkait dengan tingginya defisit transaksi berjalan dan inflasi, pada bulan Agustus 2013 nilai tukar Rupiah terhadap USD mencapai IDR 10.924 per USD, terdepresiasi sebesar 12,64% dibandingkan bulan Januari 2013 yang tercatat berada pada level IDR 9.698 per USD. Nilai Rupiah terus menurun hingga menembus level IDR 11.200 per USD pada tanggal 6 September 2013.
Pergerakan Rupiah terhadap USD yang terus tertekan disertai dengan cadangan devisa yang semakin tergerus membuat para pelaku pasar panik, hal ini tercermin dari pelemahan pergerahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pergerakan IHSG semakin melemah, di awal tahun 2013 IHSG berada pada level 4.453,70. Bahkan pada bulan Mei 2013 mampu menanjak hingga level 5.068,63. Namun pada akhir Agustus 2013, IHSG merosot hingga ke level 4.195,09.
Sehubungan dengan semakin terpuruknya IHSG, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan tentang dimungkinkannya pembelian kembali saham (buyback) oleh emiten tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Kebijakan buyback ini diatur dalam Peraturan OJK No. 02/POJK 04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan. Pemberlakuan kebijakan buyback sebagai antisipasi merosotnya harga berbagai saham big caps di pasar modal. Akibatnya, saham-saham blue chips yang tadinya menjadi leading movers IHSG terpaksa harus bergeser menjadi lagging movers IHSG.