Cadangan devisa pada Mei 2014 mencapai USD 107,048 miliar, meningkat USD 1,485 miliar dibandingkan April 2014. Angka tersebut dapat membiayai 6,2 bulan impor sehingga memenuhi standar kecukupan internasional (tiga bulan impor). Kemudian, pada April mencapai USD 105,56 miliar, meningkat USD 2,97 miliar dibandingkan Maret 2014. Peningkatan devisa ini beriringan dengan kenaikan nilai ekspor migas Indonesia pada April–Mei 2014 dan arus masuk modal asing ke Indonesia selama Mei 2014. Bank Indonesia melalui PBI No. 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri telah mensyaratkan penempatan dana hasil ekspor pada bank devisa di Indonesia yang cukup efektif dalam upaya peningkatan cadangan devisa. Sedangkan pada Maret 2014, cadangan devisa turun 0,145% dibandingkan bulan sebelumnya, atau senilai USD 149 juta. Penurunan ini disebabkan oleh pembayaran obligasi pemerintah yang jatuh tempo senilai USD 2 miliar. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memperkirakan pada kuartal ke dua 2014 ini akan terjadi tekanan pada jumlah cadangan devisa. Secara musiman, kuartal II biasanya merupakan periode di mana banyak terjadi jatuh tempo pembayaran bunga, dividen, dan royalti.
Gambar 12: Cadangan Devisa Indonesia (miliar USD) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), Mei 2011 – Mei 2014
Level cadangan devisa terus menanjak mencapai USD 107,048 miliar; rupiah masih lemah
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Di sisi lain, kenaikan cadangan devisa juga turut disumbangkan oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sejak Januari 2014. Pada kuartal I–2014, SBN dengan denominasi asing meningkat USD 3,05 miliar. Penambahan nilai SBN tersebut membuat komposisi Surat Utang Negara (SUN) denominasi USD berjumlah USD 30,19 miliar, denominasi JPY 155 miliar, dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) USD 4,15 miliar. Pada kuartal IV–2013, nilai SUN dengan denominasi USD mencapai USD 27,14 miliar, SUN denominasi JPY 155 miliar, dan SBSN USD 4,15 miliar. Secara keseluruhan, investasi portofolio asing, dalam bentuk saham maupun SUN, tercatat meningkat drastis USD 8,51 miliar pada kuartal I–2014, dibandingkan kuartal IV–2013 yang tercatat sebesar USD 1,63 miliar.
Tabel 6: Posisi Surat Berharga Negara Denominasi Asing dan Utang Bilateral, Tahun 2012 – 2014 (semua dinyatakan dalam USD miliar kecuali yang disebutkan lain)
Peningkatan SBN denominasi USD meningkat USD 3,05 miliar pada kuartal I–2014; utang bilateral meningkat USD 4,45 miliar pada April 2014
Catatan: * = JPY miliar
Sumber: DJPU dan CEIC (diolah, 2014)
Peningkatan cadangan devisa tidak diikuti penguatan nilai kurs rupiah. Nilai kurs pada akhir Mei 2014 (IDR 11.611 per USD) tercatat melemah 0,69% dibandingkan April 2014 (IDR 11.532 per USD). Sedangkan nilai kurs pada April 2014 juga melemah dibanding bulan sebelumnya. Rupiah tertekan dikarenakan adanya sentimen negatif pasar menyusul neraca perdagangan yang di luar ekspektasi kembali mengalami defisit (neraca perdagangan April 2014 defisit USD 1,96 miliar) dan pola musiman pembayaran utang luar negeri pada kuartal II. Di samping itu, kebijakan The Fed tentang keberlanjutan pengurangan quantitative easing pada tahun ini kembali memengaruhi perilaku pasar. Tren pelemahan rupiah mungkin akan berlanjut setelah The Fed kembali merencanakan menaikkan tingkat suku bunga acuan (Fed Fund rate) pada tahun 2015 mendatang. Secara khusus, dinamika tahun politik Indonesia yang akan melangsungkan pemilihan presiden turut mengoreksi nilai rupiah pada Mei 2014. Tahun politik merupakan saat-saat penuh ketidakpastian dikarenakan investor mencari aman dengan strategi “wait and see”.
Memasuki musim panen bahan pangan, inflasi Maret 2014 dapat ditekan. Inflasi Maret 2014 tercatat sebesar 7,32% (y-o-y) lebih rendah dari bulan sebelumnya. Menurut dekomposisinya, pada Maret 2014 (y-o-y) inflasi inti tercatat 5,35%, inflasi harga bergejolak tercatat 5,55, dan inflasi harga diatur pemerintah 16,84%. Secara month-to-month, inflasi Maret 2014 tercatat sebesar 0,08%. Kemudian pada April 2014, inflasi masih mengalami penurunan dan tercatat sebesar 7,25% (y-o-y) karena masih tertekan harga komoditas yang panen. Secara year-on-year, inflasi inti tercatat 5,46%, inflasi harga bergejolak sebesar 5,24%, dan inflasi harga diatur pemerintah sebesar 17%. Sedangkan secara month-to-month, April 2014 mengalami deflasi 0,02%.
Gambar 14: Tingkat Inflasi, Tahun Mei 2011 – Mei 2014 (y-o-y, dalam %)
Inflasi Mei2014 mencapai 7,32% (y-o-y)
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Tingkat inflasi kembali naik pada Mei 2014, meski komoditas bahan pangan masih mengalami musim panen. Inflasi pada Mei 2014 tercatat sebesar 7,32% (y-o-y), lebih tinggi dibandingkan Mei 2013 yang sebesar 5,47% (y-o-y). Sedangkan, secara month-to-month, inflasi Mei 2014 sebesar 0,16%. Jika dilihat dari dekomposisinya, secara year-on-year, inflasi inti tercatat 5,63%, inflasi harga bergejolak sebesar 6,17%, dan inflasi harga yang diatur pemerintah sebesar 16,23%.
Tabel 8: Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, Tahun 2011 – 2014 (2012=100, m-t-m, dalam %)
Bahan makanan deflasi, inflasi bulan Mei 2014 0,16% (m-t-m)
Catatan: (1) Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Secara month-to-month, April 2014 tercatat deflasi sebesar 0,02% (m-t-m), dikarenakan turunnya harga kelompok pengeluaran bahan makanan. Kelompok bahan makanan deflasi sebesar 1,09% (m-t-m). Bahan makanan yang turun harga ada 6 item subkelompok, salah satunya subkelompok bumbu-bumbuan (7,4%). Share inflasi kelompok bahan makanan -0,22% terhadap inflasi umum April 2014. Harga-harga yang turun antara lain cabai merah, beras, bayam, kangkung dan bawang merah. Kemudian, inflasi April 2014 didominasi kelompok pengeluaran Kesehatan dengan nilai 0,6% (m-t-m). Komposisi inflasi pada Mei 2014 (month-to-month) didominasi oleh kelompok pengeluaran kesehatan yang tercatat sebesar 0,41%, disusul inflasi kelompok pengeluaran untuk Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau (0,35%), dan Perumahan Listrik, Gas, dan Bahan Bakar (0,23%). Sedangkan, kelompok pengeluaran Bahan Makanan masih mengalami deflasi seperti pada bulan sebelumnya. yang disebabakan oleh penurunan harga cabai rawit, cabai merah, dan beras yang masih dalam masa panen.
Secara umum, kota-kota di Indonesia mengalami inflasi pada Mei 2014. Dari 82 kota, 67 kota mengalami inflasi dengan kota yang tercatat mengalami inflasi tertinggi adalah Pematang Siantar (1,09% m-t-m). Jumlah tersebut jauh meningkat dibandingkan dengan April 2014 yang hanya sebanyak 43 kota dan Maret 2014 yang sebanyak 45 kota. Sedangkan, lima belas kota lainnya mengalami deflasi pada Mei 2014 dengan Pangkal Pinang tercatat sebagai yang terbesar (1,27% m-t-m). Pada April 2014, kota yang mengalami inflasi tertinggi adalah Pangkal Pinang dengan nilai 1,57% (m-t-m) dan yang tercatat terendah adalah Jayapura dengan nilai -1,79% (m-t-m). Sedangkan, pada Maret 2014, kota dengan inflasi tertinggi adalah Merauke yang tercatat 1,15% (m-t-m) dan terendah Tual yang tercatat 2,43% (m-t-m).
Sementara itu, pasar saham Indonesia (IHSG) terus mengalami penguatan pada Mei 2014. Pada penutupan akhir Mei 2014, IHSG tercatat ada pada level 4.894 atau menguat 1,11% dibandingkan bulan sebelumnya. Bahkan, pada pertengahan Mei 2014, IHSG sempat menembus angka 5.031. Angka indeks 5.000 akan menjadi level psikologis yang baru bagi IHSG karena investor akan menjadikannya sebagai benchmark level harga baru yang akan memengaruhi perilaku pasar. Sedangkan pada penutupan April 2014, IHSG mencatat angka 4.840 atau menguat 1,51% dibandingkan bulan sebelumnya. Aktifnya IHSG pada level hijau menandakan investor sudah percaya dengan keadaan dan prospek ekonomi Indonesia di tengah tahun politik. Hal itu menandakan fundamental ekonomi Indonesia mulai kembali membaik. Pada kuartal I–2014 tercatat investor asing melakukan net buy sebesar IDR 24,62 triliun, lebih tinggi dibandingkan kuartal IV–2013 yang tercatat IDR 11,11 triliun.
Gambar 15: Pergerakan IHSG dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun, April 2011 – April 2014 (%)
IHSG terus tumbuh positif; yield SUN di level 8,21% pada akhir Mei2014
Sumber: IDX, CEIC, dan Bloomberg (2014)
Pada pasar obligasi, pergerakan yield SUN di penutup Mei 2014 melemah 12 bps pada level 8,21%. Namun, seperti bulan-bulan sebelumnya, pergerakan imbal hasil fluktuatif mengikuti inflasi. Setelah cenderung menurun sejak Januari 2014, tingkat imbal hasil SUN Mei 2014 naik dikarenakan inflasi Mei 2014 lebih tinggi dibandigkan April 2014. Pada bulan-bulan sebelumnya, inflasi cenderung melambat sehingga tingkat imbal hasil SUN turun. Nilai imbal hasil SUN pada akhir April 2014 tercatat sebesar 8,09%. Sedangkan pada akhir Maret 2014 tercatat sebesar 8,21%.
Suku bunga penjaminan LPS naik 25 basis poin (bps) menjadi 7,75% pada Mei 2014. Kenaikan ini sebagai upaya untuk dapat menjamin simpanan nasabah perbankan Indonesia saat ini. Tren kenaikan suku bunga perbankan masih terus berlanjut. Likuiditas perbankan pada aset domestik masih menunjukkan pengetatan. Hal ini beriringan dengan kebijakan moneter ketat BI yang tetap mempertahankan BI rate pada tingkat 7,5%. Kebijakan LPS ini berlaku hingga September 2014. Sedangkan suku bunga penjaminan LPS pada bulan Maret–April tidak mengalami kenaikan, tetap pada level 7,5%.
Gambar 16: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, 2011 – 2014* (%)
Tingkat suku bunga penjaminan naik 25 bps, deposito berjangka 1 bulan masih melebihi BI Rate dan suku bunga LPS
*= Maret 2014 (deposito berjangka) dan Mei 2014 (suku bunga penjaminan)
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Suku bunga deposito berjangka tetap tinggi, melebihi tingkat suku bunga penjaminan. Suku bunga deposito berjangka satu bulan tercatat 8,1% pada April 2014. Hal ini mengindikasikan bahwa perbankan mengalami likuiditas ketat yang dipengaruhi oleh pertumbuhan likuiditas dalam arti luas (M2) yang juga melambat. Perlambatan M2 disebabkan oleh realisasi belanja pemerintah yang masih rendah dan pertumbuhan kredit yang menurun. Realisasi belanja pemerintah memiliki kecenderungan pola belanja sedikit pada awal tahun dan kemudian dikebut pada periode akhir tahun. Hingga kuartal I–2014, konsumsi pemerintah tercatat hanya tumbuh sebesar 3,6% (y-o-y), lebih rendah dibandingkan pada kuartal IV–2013 yang tumbuh 6,4% (y-o-y). Suku bunga kredit meningkat sejak Januari 2014: suku bunga kredit pada Februari 2014 rata-rata 12,51%, Maret 2014 rata-rata sebesar 12,53%, sedangkan pada April 2014 tercatat rata-rata sebesar 12,56%.
Gambar 17: Perkembangan BI Rate, Mei 2011 – Mei 2014 (%)
BI rate dipertahankan 7,5% pada Mei 2014
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Kebijakan moneter ketat pada Mei 2014 tetap dipertahankan dengan target pengendalian inflasi dan perbaikan neraca pembayaran. Hal tersebut ditandai dengan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 12 Mei 2014 yang menyatakan BI rate tetap pada level 7,5%. Keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan perkembangan inflasi yang terkendali, tren penurunan defisit transaksi berjalan, kondsi pasar finansial yang optimis, permintaan domestik yang masih mampu meredam kontraksi, dan prospek perekonomian Indonesia maupun global yang berangsur membaik. Di sisi lain, perekonomian Indonesia masih memiliki resiko antara lain: ketidakpastian dampak ekonomi global yang berkaitan erat dengan keberlajutan tapering off tahun ini disertai ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate pada 2015; penurunan nilai ekspor dikarenakan perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai salah satu mitra dagang utama; dan inflasi domestik yang terdampak dari kemungkinan cuaca buruk akibat perubahan iklim (El Nino) serta rencana kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah (tarif dasar listrik dan gas LPG 12kg).