Sempat menurun pada Oktober 2014, pergerakan IHSG pada November 2014 menuju arah positif. Pada penutupan bursa 28 November 2014, IHSG ada pada level 5.149,8, naik 1,19% dibanding bulan Oktober 2014. Sementara itu, pada bulan Oktober 2014 IHSG ditutup melemah 0,93% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini terkait dengan dinamika politik dalam negeri (kisruh DPR–MPR) serta regional Asia (kondisi politik Hong Kong dan pelemahan di beberapa bursa Asia) yang memengaruhi sentimen pasar, sedangkan pertumbuhan pada November 2014 sedikit tertahan oleh isu kenaikan BI Rate. Di sisi lain, pembelian neto oleh investor asing pada kuartal III-2014 tercatat IDR 4,35 triliun, lebih rendah dari kuartal II-2014 yang mencapai IDR 19,5 triliun. Nilai kapitalisasi saham pada November 2014 tercatat mencapai IDR 5.139,7 triliun.
Gambar 5: Pergerakan IHSG (poin) dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun (dalam %), November 2011 – November 2014
IHSG positif, Yield SUN menurun pada dua bulan terakhir
Sumber: Bloomberg, IDX, dan CEIC (2014)
Pasar obligasi menunjukkan penurunan imbal hasil obligasi (yield) SUN. Pada Oktober 2014, indeks yield ada pada level 8,16%, menurun 28 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Kemudian, pada November 2014 indeks yield ada pada level 7,83%, menurun 33 bps dari bulan Oktober 2014. Turunnya indeks yield SUN tersebut menandakan investor optimis dengan keadaan perekonomian Indonesia ke depannya. Keadaan pasar juga turut mendukung positifnya sentiment terhadap obligasi negara, diantaranya keputusan ECB untuk memberikan stimulus dan juga perekonomian Tiongkok kuartal III-2014 yang tumbuh diatas perkiraan. Sementara itu, investor asing mencatatkan pembelian neto SBN sebesar IDR 43,79 triliun pada kuartal III-2014, lebih tinggi dari kuartal II-2014 yang tercatat IDR 42,68 triliun.
Gambar 6: Cadangan Devisa Indonesia (USD Miliar) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), November 2011 – November 2014
Cadangan devisa menurun, rupiah kembali melemah
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Cadangan devisa kembali menurun. Pada September 2014 cadangan devisa tercatat menurun USD 0,05 miliar dibandingkan bulan sebelumnya, menjadi IDR 111,16 miliar. Sukses penerbitan Global Sukuk senilai USD 1,5 miliar pada September 2014 tidak cukup mampu menopang kebutuhan valas. Pada Oktober 2014, posisi devisa Indonesia berada pada level USD 111,97 miliar, meningkat sebesar USD 0,8 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, pada akhir November 2014, cadangan devisa kembali menurun USD 0,82 miliar dari bulan sebelumnya menjadi USD 111,14 miliar.
Di sisi lain, rupiah belum menunjukkan perbaikan signifikan dalam tiga bulan terakhir. Pada akhir September 2014, rupiah tercatat pada level IDR 12.212 per USD (melemah 4,22% m-t-m), pada Oktober 2014 tercatat IDR 12.082 per USD (menguat 1,06% m-t-m), sedangkan pada November 2014 tercatat IDR 12.196 (melemah 0,94% m-t-m). Pelemahan rupiah masih dipengaruhi oleh sentimen global yang menunggu kejelasan kenaikan Fed Funds Rate (FFR) oleh The Fed. Selain itu, isu domestik terkait dengan defisit Neraca Transaksi Berjalan (CAD) turut memengaruhi sentimen pasar, meski saat ini sudah membaik dengan pengurangan defisit menjadi USD 6,8 miliar pada kuartal III-2014.
Untuk memperbaiki kinerja kurs rupiah, BI melakukan upaya pengendalian transaksi valas dan lindung nilai (swap). Pada September 2014 BI mengeluarkan empat PBI sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan sebelumnya. Empat PBI tersebut antara lain PBI No. 16/16/PBI/2014 (terkait transaksi valas antara bank dan pihak domestik), PBI No. 16/17/PBI/2014 (terkait transaksi valas antara bank dan pihak asing), PBI No. 16/18/PBI/2014 (terkait transaksi swap kepada bank), dan PBI No. 16/19/PBI/2014 (terkait transaksi swap kepada Bank Indonesia). Peraturan tersebut bertujuan untuk mencapai pendalaman pasar keuangan dengan ketersediaan likuiditas, kemudahan transaksi, kewajaran harga, serta peminimalan resiko, dan mulai efektif pada 10 November 2014.
Gambar 7: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, 2011 – 2014* (dalam %)
Suku bunga deposito berjangka turun, suku bunga penjaminan masih tetap
Catatan: * = Oktober 2014 (deposito berjangka), November 2014 (suku bunga penjaminan)
Sumber: Bank Indonesia, LPS, dan CEIC (2014)
Tren kenaikan suku bunga deposito berjangka berhenti, namun masih di atas tingkat suku bunga penjaminan. Suku bunga deposito berjangka mulai menurun pada September (kuartal III) 2014, yang tercatat sebesar 8,48%, lebih tinggi 16 bps dari kuartal II-2014 yang tercatat 8,32%. Pada Oktober 2014, suku bunga depostito berjangka satu bulan tercatat kembali menurun menjadi 8,24%, turun 24 bps dibandingkan bulan sebelumnya. Meski terjadi penurunan suku bunga deposito berjangka satu bulan, suku bunga kredit terus menaik. Rata-rata suku bunga kredit pada Oktober 2014 sebesar 12,93%, lebih tinggi dari September 2014 yang sebesar 12,88% dan Agustus 2014 yang sebesar 12,86%. Akibatnya, penyaluran kredit terus melambat dengan tumbuh sebesar 12,4% (y-o-y) pada Oktober 2014, dibandingkan pada September 2014 (12,6%, y-o-y) dan pada Agustus 2014 (13,6%, y-o-y). Secara kuartalan, suku bunga kredit pada kuartal III-2014 tercatat lebih tinggi 12 bps dibandingkan kuartal II-2014.
Sementara suku bunga deposito masih tinggi, suku bunga penjaminan LPS tetap pada level 7,75%. Hingga saat laporan ini ditulis, LPS belum menaikkan suku bunga penjaminan sejak Mei 2014 dan dipertahankan padaNovember 2014. Hal tersebut dapat mengindikasikan belum ada perubahan signifikan pada kenaikan suku bunga tabungan agregat setelah evaluasi yang dilakukan LPS. Di sisi lain, kondisi perbankan masih menunjukkan pengetatan likuiditas ditandai masih tingginya suku bunga dan mulai menunjukkan perlambatan siklus keuangan.
Gambar 8: Perkembangan BI Rate, November 2011 – November 2014 (dalam %)
Harga BBM subsidi naik, BI Rate merespon naik 25 bps
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
BI Rate naik 25 bps sebagai respon kenaikan harga BBM bersubsidi. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18 November 2014 menetapkan BI Rate di level 7,75%. Selain pengendalian lonjakan harga temporer akibat kenaikan harga BBM bersubsidi, kebijakan tersebut diputuskan dengan pertimbangan penyesuaian pasar terhadap kebijakan makroprudensial yang mencakup penyaluran kredit produktif oleh perbankan serta pendalaman pasar melalui kebijakan terkait giro wajib minimum dan loan to deposit ratio, yang digunakan sebagai upaya memperbanyak sumber pendanaan bagi bank. Sampai akhir November, pasar merespon positif terhadap perubahan BI Rate ini yang ditunjukkan positifnya IHSG. Dengan kenaikan BI rate, BI optimis inflasi dapat terkendali.
Gambar 9: Tingkat Inflasi, November 2011 – November 2014 (y-o-y, dalam %)
Tingkat harga umum kembali meningkat selama tiga bulan terakhir, inflasi tercatat 6,23% pada November 2014
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Selanjutnya, pada edisi IERO kali ini, tim Macroeconomic Dashboard menghitung perbandingan rasio kompensasi terhadap pengeluaran rumah tangga miskin dengan kenaikan inflasi komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kompensasi yang diberikan pemerintah pada bulan November-Desember tahun 2014 dan Januari-Juni 2015 bisa untuk menutupi kenaikan biaya hidup kelompok miskin (11,6% vs. 3,2%) sampai 8 bulan yang akan datang. Inflasi pada komoditas yang dikonsumsi kelompok miskin lebih tinggi daripada inflasi umum karena besarnya bobot komoditas makanan dalam bundle konsumsi rumah tangga miskin dibandingkan rumah tangga pada umumnya (3,2% vs. 1,4%) dan kelompok makanan merupakan sumber inflasi terbesar.
Tabel 6: Perkembangan Inflasi dan Kompensasi Kenaikan Harga BBM di Indonesia, 2013 – 2014
Cash transfer yang sudah dan akan dilanjutkan pada tahun 2015 dinilai bisa memberikan kompensasi atas kenaikan biaya hidup rumah tangga miskin akibat kenaikan harga BBM pada tahun 2014 untuk 8 bulan yang akan datang
Catatan:
* | periode kenaikan harga BBM |
** | dihitung dengan menggunakan rumus 2,25 x ∆Inflasi Umum. 2,25 merupakan asumsi Kementerian Keuangan mengenai angka perbandingan antara inflasi umum dan inflasi barang-barang yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin |
*** | dihitung dengan mengalikan garis kemiskinan dan rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia yaitu 3,8 |
**** | jumlah bulan kompensasi dikalikan dengan besarnya kompensasi per bulan dimana jumlah kompensasi tahun 2013 adalah sebesar IDR 150.000 per Kepala Keluarga (KK) yang diberikan selama 5 bulan, sedangkan jumlah kompensasi tahun 2014 adalah sebesar IDR 200.000 per KK yang diberikan selama 8 bulan sampai dengan Juni 2015 |
Sumber: BPS, CEIC dan Kementerian Keuangan (2014, diolah)
Perbandingan ini diakui tidak sepenuhnya tepat karena inflasi yang dijadikan referensi adalah inflasi tahun 2014 sedangkan dampak inflasioner dari kenaikan harga BBM diperkirakan tidak hanya terbatas pada bulan November-Desember 2014 saja namun bisa terbawa hingga bulan Januari 2015. Selain itu timing antara dampak inflasi yang lebih banyak terjadi pada tahun 2014 dengan dana kompensasi (cash transfer) yang 75%-nya diterima pada tahun 2015 jelas memberikan dampak kesejahteraan yang berbeda dari cash transfer itu sendiri.
Efek kenaikan harga BBM bersubsidi pada pertengahan November 2014 cukup nampak terlihat. Inflasi November 2014 tercatat sebesar 6,23% (y-o-y). Jika dilihat dekomposisinya, komponen harga diatur pemerintah mengalami kenaikan 11,39% (y-o-y), turut menyebabkan komponen harga bergejolak naik menjadi 7,96% (y-o-y), sedangkan pada komponen inti bergerak stabil tercatat sebesar 4,21% (y-o-y). Secara bulanan, inflasi umum tercatat 1,5% (m-t-m), komponen harga diatur pemerintah sebesar 4,2% (m-t-m), komponen harga bergejolak sebesar 2,37% (m-t-m), dan komponen inti sebesar 0,4% (m-t-m). Dampak kenaikan BBM tersebut pada November 2014 belum terlalu signifikan, namun akan signifikan pada satu bulan setelahnya. Selain BBM subsidi, penyebab kenaikan pada komponen harga diatur pemerintah adalah tarif angkutan umum darat dan tarif tenaga listrik (TTL). Di sisi lain, inflasi pada November 2014 tersebut lebih tinggi dari Oktober 2014 yang tercatat 4,83% (y-o-y). Menurut dekomposisinya, komponen inti tercatat 4,02% (y-o-y), komponen harga diatur pemerintah tercatat 7,57% (y-o-y), sedangkan komponen harga bergejolak tercatat 4,89% (y-o-y) pada Oktober 2014.
Tabel 7 : Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2014 (2012=100, m-t-m, dalam %)
Harga BBM bersubsidi naik 30,76%, pengeluaran Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan naik 4,29% (m-t-m)
Catatan: (1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2014)
Setelah sempat menurun, harga kelompok pengeluaran bahan makanan dan transportasi, komunikasi, dan jasa jeuangan kembali meningkat tajam pada November 2014. Inflasi tertinggi November 2014 tercatat pada kelompok pengeluaran transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 4,29% (m-t-m) dan disusul kelompok pengeluaran bahan makanan sebesar 2,15% (m-t-m). Selain imbas kenaikan biaya transportasi, kenaikan harga pada kelompok pengeluaran bahan makanan diakibatkan oleh langkanya pasokan cabai merah berkaitan gagal panen di beberapa daerah. Di sisi lain, kelompok pengeluaran sandang terjadi deflasi sebesar 0,08% (m-t-m) pada November 2014. Sementara itu, inflasi tertinggi pada Oktober 2014 terjadi pada kelompok pengeluaran perumahan, listrik, gas, dan bahan bakar yang tercatat 1,04% (m-t-m) karena kenaikan tarif listrik dan LPG.
Sub kelompok transportasi dalam kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan menjadi kelompok pengeluaran yang sangat terdampak terkait dengan kenaikan harga BBM bersubsidi. Merujuk pada Organda, BBM menyumbang sekitar 30–35% dari struktur biaya dan ketika harga BBM naik akan menambah biaya operasional sekitar 35–40% pada sektor transportasi. Dengan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 30,76%, maka diperkirakan akan terjadi kenaikan sebesar 10,76–12,3% pada kelompok pengeluaran transportasi. Namun, pada November 2014, kenaikan pada sub kelompok transportasi sebesar 6,03% (m-t-m), lebih rendah dari perkiraan. Secara keseluruhan, kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan naik sebesar 6,58% (y-o-y) atau 4,29 (m-t-m).
Secara umum, inflasi terjadi di 82 kota Indonesia yang disurvei pada dalam tiga bulan terakhir. Pada September 2014, inflasi terjadi di 64 kota dengan angka tertinggi tercatat di Pangkal Pinang sebesar 1,29% (m-t-m) dan deflasi di 18 kota dengan dengan angka terendah tercatat di Tual sebesar -0,89% (m-t-m). Pada Oktober 2014, inflasi terjadi di 74 kota dengan angka tertinggi tercatat di Tual sebesar 2,18% (m-t-m) dan deflasi di 8 kota dengan angka terendah tercatat di Sorong sebesar -1,08% (m-t-m). Pada November, inflasi terjadi di seluruh kota dengan angka tertinggi tercatat di Padang sebesar 3,44% (m-t-m) dan angka terendah tercatat di Manokwari sebesar 0,07% (m-t-m).
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)