1. Likuiditas Mengetat Tertekan Depresiasi Rupiah, Suku Bunga Acuan Tetap
Gambar 1 Suku Bunga BI Rate, Deposito, dan LPS, September 2010 – September 2015
Suku bunga deposito menurun, BI Rate dan suku bunga penjaminan LPS tetap
Sumber: Bank Indonesia, OJK, dan CEIC (2015)
Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) kembali dipertahankan pada level 7,5 persen pada 17 September 2015. Tidak berubahnya BI Rate dikarenakan Bank Indonesia masih mewaspadai guncangan ekonomi dunia sebagai antisipasi kenaikan Federal Funds Rate (FFR)—suku bunga acuan AS. The Fed—bank sentral AS—kembali menunda kenaikan FFR pada 17 September 2015 dan mungkin baru akan dinaikan pada rapat Dewan Gubernur The Fed Selanjutnya, Oktober 2015. Penundaan tersebut disebabkan oleh tingkat inflasi AS yang masih dibawah ekspektasi serta pelambatan ekonomi Tiongkok sebagai partner dagang utama AS. Namun pada 25 September 2015, Ketua Dewan Gubernur The Fed Janet Yellen mengungkapkan adanya kemungkinan kenaikan FFR pada akhir tahun 2015 ini. Pernyataan tersebut menambah ketidakpastian perekonomian global. Kemudian, risiko eksternal bertambah menyusul Bank Sentral Tiongkok mengumumkan devaluasi yuan pada Agustus 2015 lalu. Di sisi lain, risiko ekonomi domestik masih cukup terkendali meski ada risiko inflasi yang tinggi terkait dengan cuaca ekstrem El Nino hingga akhir tahun 2015.
Suku bunga deposito menurun namun masih di atas suku bunga penjaminan. Data terakhir memperlihatkan rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan di level 7,65 persen pada Agustus 2015, turun 11 bps dibanding Juni 2015. Hal tersebut didukung oleh membaiknya pertumbuhan M2 yang tercatat 13,3 persen y-o-y, lebih tinggi dari Juni 2015 dengan catatan sebesar 13 persen. Pertumbuhan M2 didukung oleh peningkatan simpanan berjangka valas dan juga tabungan. Meningkatnya pertumbuhan M2 tersebut dapat sedikit melonggarkan likuiditas perbankan. Sementara itu, LPS memutuskan suku bunga penjaminan tetap di level 7,75 persen, tidak berubah sejak Mei 2014. Keputusan tersebut diberlakukan hingga Januari 2016.
Di sisi lain, suku bunga kredit tercatat menurun. Pada Agustus 2015, rata-rata tertimbang suku bunga kredit tercatat sebesar 12,92 persen, sama dengan bulan sebelumnya, namun lebih rendah 5 bps dibandingkan Juni 2015. Meski suku bunga menurun karena belum adanya sentimen perbaikan ekonomi, pertumbuhan kredit justru tercatat meningkat. Penyaluran kredit total pada Agustus 2015 sebesar IDR 3.914,3 triliun, tumbuh 10,8 persen y-o-y, lebih baik 30 pp dari catatan pada Juni 2015. Kemudian, kredit investasi tercatat tumbuh 12,91 persen (lebih tinggi 163 pp dari Juni 2015), kredit modal kerja tumbuh 10,22 persen (lebih rendah 19 pp dari Juni 2015), sedangkan kredit konsumsi tumbuh 10,07 persen (lebih rendah 6 pp dari Juni 2015). Kredit khusus untuk UMKM juga tercatat meningkat dari 9,2 persen y-o-y pada Juni 2015 menjadi 9,5 persen pada Agustus 2015. Meski begitu, pertumbuhan kredit yang tercatat meningkat tidak serta-merta dapat menaikkan tingkat suku bunga kredit kedepannya. Peningkatan risiko gagal bayar di tengah melambatnya ekonomi domestik dan global dapat memperlambat laju penurunan suku bunga kredit tersebut.
Gambar 2 Suku Bunga PUAB Denominasi Rupiah, September 2010 – September 2015
Suku bunga PUAB O/N melonjak, likuiditas perbankan mengetat
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)
Likuiditas perbankan kembali mengetat. Suku bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB) overnight (O/N) tercatat di level 8,12 persen pada September 2015, meningkat tajam 245 bps dibandingkan Juni 2015, dengan spread terhadap JIBOR mencapai 236 bps. Sebaliknya, pada Agustus 2015 PUAB O/N masih berada di level 5,74 persen, hanya lebih tinggi 7 bps dibanding Juni 2015, dengan spread -1 bps dengan Jakarta Interbank Offer Rate (JIBOR). Kenaikan pada suku bunga PUAB didorong oleh kebutuhan likuiditas rupiah untuk keperluan hedging valas di pasar forward. Kondisi kurs rupiah yang semakin melemah terhadap dolar AS kemudian berdampak pada semakin besarnya nilai rupiah yang dibutuhkan untuk hedging dolar AS dan juga mata uang asing lainnya. Sementara itu pada Juli 2015, pertumbuhan M2 melambat, tetapi pertumbuhan kredit yang lebih lambat dibanding pertumbuhan M2 membuat likuiditas melonggar. Suku bunga PUAB O/N menurun ke level 5,62 persen pada Juli 2015 dengan spread -4 bps. Perbankan mengahdapi masa yang sulit.
Gambar 3 Suku Bunga OIS*, September 2010 – September 2015
Persepsi risiko perbankan meningkat signifikan menyusul kenaikan spread OIS-JIBOR
Catatan: * = data OIS diambil dari rerata 8 bank devisa yang meyediakan layanan OIS
Sumber: Bloomberg (2015)
Likuiditas menurun membuat risiko di pasar keuangan meningkat. Spread antara suku bunga Overnight Indexed Swap (OIS) dengan suku bunga JIBOR berjangka 1 bulan pada September 2015 sebesar 2,42 poin, meningkat 137 bps dari Juni 2015, sedangkan selama tahun berjalan, spread OIS sudah naik 162 bps. Peningkatan spread yang signifikan tersebut mengikuti pelemahan rupiah yang menekan likuiditas perbankan. Hal tersebut mengindikasikan persepsi risiko likuiditas dan kredit jangka pendek perbankan semakin serius di masa depan. Meski tekanan di pasar uang semakin meningkat, level tekanan masih dalam batas yang aman. Semakin lebar jarak spread-nya, maka semakin besar indikasi permasalahan di pasar uang, yang artinya permasalahan likuiditas perbankan.
Gambar 4 Kurs Rupiah terhadap Dolar AS*, September 2010 – September 2015
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS masih berlanjut
Catatan: * = mulai Mei 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)
Gambar 5 Kurs NDF Rupiah terhadap Dolar Amerika, September 2010 – September 2015
Kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar forward terdepresiasi semakin dalam
Sumber: Bloomberg (2015)
Kurs rupiah semakin tertekan oleh ketidakpastian global. Pada penutupan 30 September 2015, kurs rupiah terhadap dolar ada di level IDR 14.657 per USD. Catatan tersebut lebih lemah 9,93 persen dibandikan penutupan Juni 2015, atau telah terdepresiasi 17,82 persen selama tahun 2015 berjalan. Penurunan kinerja ekonomi Tiongkok semakin nyata setelah keputusan Bank Sentral Tiongkok untuk mendevaluasi yuan pada Agustus 2015. Hal tersebut berdampak pada kembali ditundanya kenaikan suku bunga acuan AS, FFR, selain karena fundamental ekonomi AS yang belum sepenuhnya membaik. Penundaan kenaikan FFR tersebut semakin menambah ketidakpastian ekonomi global. Selama FFR ditahan dan perekonomian Tiongkok belum membaik, kabut tebal masih menyelimuti perekonomian Indonesia. Sebagai negara small open economy, Indonesia tidak mampu berbuat banyak mengurangi dampak krisis global tersebut, sementara negara-negara emerging market lainnya juga merasakan pelemahan kurs masing-masing terhadap dolar AS. Investor pemegang dolar tentu memilih untuk menaruh investasinya di tempat yang “paling aman”.
Selama kuartal-III 2015 berlangsung, setidaknya ada beberapa event yang mendorong pelemahan rupiah yang drastis. Pertama, pada 12 Agustus 2015 pemerintah Jokowi-JK mengumumkan reshuffle kabinet berbarengan dengan devaluasi yuan oleh Bank Sentral Tiongkok. Saat penutupan hari itu, rupiah terdepresiasi 1,6 persen. Kedua, pada 24 Agustus 2015, tekanan pada rupiah bertambah ketika terjadi “Black Monday”, merosotnya saham-saham dan kondisi perekonomian di Tiongkok membuat kepanikan di pasar saham AS. Rupiah terdepresiasi 0,74 persen pada penutupan hari itu. Pada hari berikutnya, Bank Sentral Tiongkok kembali membuat kebijakan untuk menstimulus ekonominya dengan memangkas suku bunga acuan, rupiah kembali terdepresiasi 0,46 persen pada penutupan 25 Agustus. Ketiga, pengumuman Paket Kebijakan I pemerintah Jokowi-JK pada 10 September 2015, rupiah terdepresiasi 0,55 persen pada penutupan pasar. Keempat, satu hari menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17-18 September, rupiah terdepresiasi 0,49 persen pada penutupan. Kelima, pada 23 September 2015, Gubernur Bank Indonesia mengumumkan bahwa cadangan devisa Indonesia kembali tergerus USD 2 miliar menjadi USD 103 miliar per 21 September 2015, rupiah terdepresiasi 0,95 persen di sesi penutupan. Keenam, Janet Yellen menyampaikan bahwa ada kemungkinan FFR akan dinaikkan pada akhir tahun ini pada 25 Agustus 2015, menekan rupiah sebesar 0,46 persen ke level IDR 14.696 per USD di sesi penutupan.
Di pasar Non-Derivable Forward (NDF), kurs rupiah masih menunjukkan penurunan nilai. Pada penutupan pasar September 2015, NDF rupiah kontrak 1 bulan diperdagangkan di level IDR 14.815 per USD dengan spread 158 poin, melemah 10,28 persen dari Juni 2015. Jika diperbandingkan dengan penutupan tahun 2014, NDF rupiah sudah melemah 18,68 persen y-t-d. Pelaku pasar masih mengindikasikan ketidakpercaaan pada nilai rupiah di masa yang akan datang. Kebijakan pemerintah nampaknya kurang berdampak pada perbaikan nilai rupiah. Menjelang pengumuman pergantian kabinet pada Agustus 2015 lalu, pasar merespon dengan pelemahan sebesar 1,72 persen pada sesi penutupan (11/8) disusul hari berikutnya (12/8) sebesar 1,64 persen. Kemudian pengumuman Paket Kebijakan I 10 September 2015, tidak berdampak signifikan pada NDF rupiah. Namun, pada pengumuman Paket Kebijakan II 29 September 2015, NDF rupiah mengalami penguatan 0,7 persen (29/09) disusul 1,03 persen pada hari berikutnya (30/09).
Gambar 6 Real Effective Exchange Rate, September 2010 – September 2015
Masih mengalami depresiasi, rupiah mengalami undervalued
Catatan: Indeks REER 2004=100; kenaikan nilai indeks berarti apresiasi
Sumber: Bank for International Settlements dan CEIC (2015, diolah)
Real Effective Exchange Rate (REER) rupiah semakin melemah. Pada Agustus 2015, REER rupiah tercatat di level 98,14 poin, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata jangka panjangnya (nilai wajar) yang bernilai 105,05 poin. Dengan kata lain, rupiah masih mengalami undervalued sebesar 6,58 persen. Catatan pada September 2015 lebih buruk dibandingkan Juni 2015 yang berada di level 101,89 poin sehingga rupiah mengalami undervalued lebih dalam, sebesar 3,01 persen. Penguatan nilai rupiah di masa depan akan mendapat ruang yang cukup besar, dengan catatan kondisi perekonomian global sudah membaik.
Gambar 7 Cadangan Devisa, September 2010 – September 2015
Stabilisasi nilai rupiah, cadangan devisa pada September 2015 tercatat USD 101,72 miliar
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015)
Perkembangan terakhir, cadangan devisa Indonesia kembali berkurang banyak. Pada akhir September 2015, cadangan devisa berada di level USD 101,72 miliar, menurun 6,31 miliar dibandingkan Juni 2015 atau USD 10,14 miliar dibandingkan akhir tahun 2014 lalu. Bahkan per 21 September 2015, Gubernur Bank Indonesia (BI) mengatakan—meski belum diumumkan resmi oleh BI—cadangan devisa sudah di level USD 103 miliar, atau lebih rendah USD 2 miliar dari Agustus. Sedangkan pada akhir Agustus 2015, cadangan devisa berada di level USD 105,35 miliar, menurun USD 2,68 miliar dibandingkan Juni 2015 atau USD 6,52 miliar dibandingkan akhir tahun 2014. Cadangan devisa yang merosot tajam pada September masih dikarenakan tergerus oleh kebutuhan stabilisasi nilai mata uang rupiah di pasar uang serta diperparah dengan terjadinya capital outflow terkait kekhawatiran investor asing terhadap isu kenaikan FFR. Selain menggelontorkan dolar AS di pasar, stabilisasi rupiah membutuhkan dukungan kebijakan lain. Pembatasan jumlah maksimal transaksi penggunaan dolar AS belum cukup ampuh mengerem laju depresiasi. Jika kebijakan BI selaku otoritas moneter masih tidak efektif, bukan tidak mungkin cadangan devisa akan menyusut lagi dalam waktu yang sangat singkat. Meski begitu, pada level 101,72 masih dapat membiayai 6,8 bulan impor plus utang luar negeri, melebihi standar kecukupan internasional yaitu 3 bulan.
2. Pasar Saham Anjlok Terseret Sentimen Negatif Ekonomi Global
Gambar 8 Pergerakan IHSG, September 2010 – September 2015
Terseret arus depresiasi, IHSG melorot ke level 4.223,9
Sumber: BEI dan CEIC (2015)
Gambar 9 Nilai Kapitalisasi IHSG, September 2010 – September 2015
Kapitalisasi menurun, investor asing mencatat jual neto IDR 7,18 triliun
Sumber: BEI, Bloomberg, dan CEIC (2015)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) semakin terjerembab. Pada penutupan September 2015, IHSG ada di level 4.223,9 poin, jauh lebih rendah dari penutupan Juni 2015 di level 4.910,6 poin atau menurun 13,98 persen dengan tingkat kapitalisasi sebesar IDR 4,375 triliun. Sedangkan jika dibandinkan awal tahun, IHSG sudah merosot 19,18 persen y-t-d. Tren penurunan IHSG terjadi sejak akhir Mei 2015 hingga kini. Sedangkan pada Agustus, pelemahan IHSG “hanya” 8,16 persen relatif tehadap Juni 2015 ke level 4.509,61 poin. Isu eksternal masih menjadi momok pergerakan IHSG selama kuartal III-2015 ini. Selama FFR masih ditahan oleh The Fed dan ekonomi Tiongkok melambat, ketidakpastian di pasar global masih terjadi dan membuat rupiah terdepresiasi. Pelemahan rupiah tentu akan berdampak pada meningkatnya risiko capital loss investor asing sehingga terjadi capital outflow. Jual neto asing di pasar saham tercatat IDR 9,82 triliun pada Agustus 2015, kemudian IDR 7,18 triliun pada September 2015. Sentimen negatif tersebut tentu merembet pada investor domestik pasar saham Indonesia. Kemudian, pelambatan ekonomi domestik juga memengaruhi ekspektasi kinerja emiten menambah sentimen buruk di pasar.
Gambar 10 Nilai Aktiva Bersih Reksadana, September 2010 – September 2015
Pasar saham dan obligasi anjlok, NAB dan harga satuan agregat reksadana menurun
Sumber: Bapepam-OJK (2015)
Dana kelolaan investasi reksadana menurun. Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana mencapai IDR 237,62 triliun pada September 2015, terkontraksi 5,33 persen relatif terhadap Juni 2015. Harga satuan agregat pada September pun merosot 8,57 persen dari IDR 1.461 pada Juni 2015 menjadi IDR 1.353 pada September 2015. Kontraksi pada NAB tersebut disebabkan oleh penurunan kapitalisasi nilai portofolio yang pada gilirannya menurunkan kinerja pasar saham dan juga pasar obligasi, khususnya obligasi pemerintah. Kemudian, catatan pada September 2015 tersebut melanjutkan tren penurunan sejak Juli 2015 dan memperlihatkan bahwa selama kuartal III-2015, pasar saham dan obligasi sebagai instrumen investasi portofolio mengalami tekanan hebat. Ketidakpastian ekonomi global membuat pasar finansial di negara-negara emerging market semakin volatile. Meski begitu, jumlah unit penyertaan reksadana terus bertambah dengan tingkat pertumbuhan 3,54 persen menjadi 175,58 miliar unit dibandingkan Juni 2015.
3. Inflasi Menurun Seiring dengan Penurunan Harga Bahan Makanan
Gambar 11 Tingkat Inflasi berdasar Komponen
Inflasi menurun menjadi 6,83 persen y-o-y pada September 2015
Sumber: BPS dan CEIC (2015)
Inflasi September lebih rendah dari inflasi Juni 2015. Pada September 2015, inflasi umum tercatat sebesar 6,83 persen y-o-y dan -0,05 persen m-t-m, lebih rendah 43 pp dan 58 pp dibandingkan Juni yang tercatat 7,26 persen dan 0,54 persen m-t-m. Penurunan inflasi September 2015 didorong oleh menurunnya tingkat harga komponen harga diatur pemerintah dan harga bergejolak. Komponen harga diatur pemerintah tercatat 11,26 persen y-o-y, lebih rendah 188 pp dibandingkan Juni 2015. Penurunan tersebut disebabkan penurunan harga BBM non-subsidi, terkait adanya penurunan harga minyak dunia, dan tiket transportasi udara, terkait dengan berakhirnya masa libur Lebaran dan libur sekolah pada Agustus 2015. Kemudian, komponen harga bergejolak tercatat 8,52 persen y-o-y, lebih rendah 31 pp dibandingkan Juni 2015. Penurunan tersebut didorong oleh penurunan harga bahan pokok dan bertambahnya pasokan komoditas pangan.
Di sisi lain, komponen inflasi inti meningkat. Pada September 2015, inflasi inti tercatat sebesar 5,07 persen y-o-y dan 0,44 persen m-t-m, lebih tinggi 3 pp dan 18 pp dibandingkan Juni 2015 yang tercatat sebesar 5,04 persen y-o-y dan 0,26 persen m-t-m. Kenaikan harga biaya pendidikan dan makanan jadi menjadi pendorong utama kenaikan komponen inflasi inti.
Tabel 1 Tingkat Inflasi Berdasarkan Kelompok Pengeluaran
Harga bahan pangan menurun, September 2015 tercatat deflasi 0,05 persen m-t-m
Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012
(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2015, diolah)
Penurunan harga pangan membuat tingkat harga deflasi pada September 2015. Kelompok pengeluaran bahan makanan tercatat mengalami deflasi 1,07 persen m-t-m. Deflasi tersebut disebabkan penurunan harga daging ayam seiring dengan membaiknya pasokan daging sapi sebagai barang substitusinya. Selain itu, penurunan harga cabai dan bawang merah juga turut memberi andil pada deflasi September 2015. Sementara itu, kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi, dan olah raga tercatat mengalami inflasi tertinggi sebesar 0,89 persen m-t-m. Inflasi pada kelompok pengeluaran tersebut disebabkan naiknya biaya pendidikan dan kursus/kepelatihan.
Deflasi tidak terjadi di semua wilayah di Indonesia. Dari 82 kota yang disurvei, hanya 36 kota yang mengalami deflasi sedangkan 46 sisanya mengalami inflasi. Kota yang mengalami deflasi tertinggi adalah Sibolga dengan angka 1,85 persen. Di sisi lain, Merauke menjadi kota dengan tingkat inflasi tertinggi yang tercatat sebesar 1,33 persen. Sebagian besar wilayah Indonesia Timur mengalami inflasi.