1. Tekanan Eksternal Mereda, Likuiditas Membaik Dan Suku Bunga Acuan Tetap
Gambar 1 Suku Bunga Deposito, LPS, dan BI Rate, Desember 2010 – Desember 2015
Menjaga ekspektasi, BI Rate tetap 7,5 persen, sementara suku bunga deposito menurun ke level 7,5 persen
Sumber: Bank Indonesia, LPS, dan CEIC (2016)
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 kembali menetapkan BI Rate di level 7,5 persen. Bank Indonesia (BI) berpendapat bahwa ruang kebijakan moneter semakin longgar ke depannya. Hal tersebut mengacu pada indikator seperti Federal Funds Rate (FFR) yang naik 25 bps pada 16 Desember 2015. Selama ini, kepastian kenaikan FFR menjadi bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global. Hal tersebut membuat permasalahan tersendiri bagi negara-negara emerging market seperti Indonesia yang terdampak spekulasi investor global. Seperti yang telah diketahui, sepanjang 2015 ini nilai kurs rupiah terhadap dolar AS menurun tajam, sedangkan di pasar finansial mengalami pelemahan baik indeks harga saham maupun yield obligasi. Dengan dinaikannya FFR pada Desember 2015, teka-teki arah kebijakan AS sudah dapat diperhitungkan dan peta pergerakan capital flow global dapat diperkirakan. Selain itu, inflasi—saat itu—diperkirakan di bawah 3 persen. Meski realisasinya meleset—3,35 persen, inflasi tahun 2015 masih masuk dalam rentang inflation targeting BI di kisaran 4 persen ±1.
Meski memiliki ruang longgar untuk kebijakan moneter pada 2016, Indonesia masih akan menghadapi beberapa risiko. Pelemahan ekonomi Tiongkok masih membayangi lesunya ekonomi global. Harga komoditas andalan ekspor Indonesia diperkirakan masih akan belum membaik, sehingga kinerja ekspor Indonesia akan terganggu. Kemungkinan kenaikan FFR pada tahun 2016 berdampak bagi pergerakan investasi global yang belum stabil sehingga dapat membuat gejolak di pasar valas dan pasar finansial domestik. Selain itu, risiko domestik dari dampak perubahan cuaca ekstrem El Nino yang masih berlanjut dapat membuat gejolak harga komoditas pangan. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang komprehensif diperlukan untuk menjaga stabilitas eksternal tanpa terlalu banyak mengorbankan stabilitas internal.
Menyusul BI, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) juga menetapkan kembali suku bunga penjaminan di level 7,5 persen. Hasil evaluasi LPS pada 17 Desember 2015 belum menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam industri perbankan. Evaluasi tersebut mencakup tiga indikator dalam penentuan suku bunga penjaminan yang wajar, antara lain pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, dan kurs rupiah. Pertumbuhan DPK melambat namun masih lebih tinggi dari pertumbuhan kredit. Kemudian, meski kurs jauh terdepresiasi, ketahanan perbankan cukup baik sehingga tidak terjadi guncangan yang signifikan. Ketiga faktor tersebut saling memengaruhi besaran likuiditas perbankan yang secara umum dapat dikatakan cukup baik. Stabilitas likuiditas tersebut yang pada gilirannya akan menentukan suku bunga yang ditawarkan kepada masyarakat saat ini. Kebijakan tersebut telah berlaku sejak 8 Oktober 2015 hingga 14 Januari 2016.
Di sisi lain, perkembangan suku bunga deposito masih menunjukkan penurunan. Data terkahir rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan pada November 2015 tercatat di level 7,5 persen. Angka tersebut lebih rendah 12 bps dibandingkan September 2015 atau 108 bps dibandingkan Desember 2014. Tren penurunan tersebut dapat mengindikasikan tekanan likuiditas perbankan semakin menurun. Kemudian, rata-rata tertimbang suku bunga kredit juga mengalami penurunan meski sangat tipis dari 12,91 persen pada September menjadi 12,89 persen pada November 2015. Pelemahan ekonomi di satu sisi membuat permintaan kredit berkurang, di sisi lain risiko kredit menjadi tinggi karena permintaan agregat dan ekonomi global yang turun. Hal tersebut yang membuat penurunan suku bunga kredit tidak siginifikan. Meski begitu, pertumbuhan likuiditas secara luas (M2) menurun dari 12,41 persen y-o-y pada September 2015 menjadi 9,5 persen pada November 2015. Penurunan pertumbuhan M2 disebabkan menurunnya pertumbuhan aktiva luar negeri neto terkait terkurasnya cadangan devisa untuk stabilisasi rupiah. Pertumbuhan DPK pun turut melambat dari 11,7 persen y-o-y pada September 2015 menjadi 8 persen pada November 2015. Sementara itu, pertumbuhan kredit yang sebesar 10,9 persen y-o-y pada September 2015 turun menjadi 9,5 persen pada November 2015.
Gambar 2 Suku Bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB), Desember 2010 – Desember 2015
Tekanan di sektor pasar uang meningkat, suku bunga overnight di level 7,3 persen
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)
Desember 2015, suku bunga di Pasar Uang antar-Bank (PUAB) kembali meningkat tajam. Pada penutupan Desember 2015, suku bunga PUAB overnight ada di level 7,3 persen, menurun dibandingkan September 2015 yang sebesar 8,13 persen, namun meningkat 120 bps dari Desember 2015. Untuk jangka waktu yang lebih lama, PUAB mengalami kenaikan yang drastis (lihat Gambar 2). Pada PUAB jangka waktu satu bulan, terjadi kenaikan sebesar 210 bps jika dibandingkan dengan September 2015 dan 280 bps dengan Desember 2015. Likuiditas perbankan nampaknya mengalami tekanan untuk memenuhi ketersediaan dana selama Desember 2015, yang bertepatan dengan Hari Natal, libur sekolah, dan libur akhir tahun, sehingga dana pinjaman untuk jangka yang berdurasi panjang “berharga mahal”. Tingkat suku bunga PUAB berjangka satu bulan pun lebih tinggi 105 bps dari suku bunga JIBOR berjangka satu bulan.
Gambar 3 Suku Bunga Overnight Indexed Swap*, Desember 2010 – Desember 2015
Tekanan di sektor perbankan mereda
Catatan: * = data OIS diambil dari rerata 8 bank devisa yang meyediakan layanan OIS
Sumber: Bank Indonesia dan Bloomberg (2016, diolah)
Suku bunga OIS naik, spread OIS-JIBOR berjangka satu bulan menurun. Spread OIS-JIBOR berjangka satu bulan tercatat 2,05 poin pada Desember 2015, lebih rendah 37 bps dari September 2015, namun lebih tinggi 125 bps dari Desember 2014. Hal tersebut mengindikasikan tekanan likuiditas perbankan—persepsi perbankan terhadap risiko kredit pasar uang jangka pendek—sedikit mereda pada Desember 2015 dibandingkan September 2015 karena tekanan eksternal pada pasar valas sudah menurun terkait penguman kenaikan FFR yang lalu. Meski begitu, tekanan likuiditas perbankan pada 2015 meningkat signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya, meski dalam taraf yang aman. Tahun 2015 memang masa yang penuh tekanan eksternal bagi emerging market seperti Indonesia. Indonesia memiliki ketergantungan pada hot money yang besar sehingga limbung ketika terjadi masalah di ekonomi global, terutama pemulihan advanced economic, dan mendapat predikat fragile five bersama Brazil, Turki, Afrika Selatan, dan Meksiko.
Gambar 4 Kurs Rupiah terhadap Dolar AS*, Desember 2010 – Desember 2015
FFR naik, tekanan terhadap rupiah mereda membuat rupiah di level IDR 13,795 per USD
Catatan: * = mulai data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)
Setelah FFR diumumkan, tekanan kurs rupiah terhadap dolar AS menurun. Selama kuartal IV-2015, rupiah memperlihatkan penguatan yang signifikan. Rupiah kembali membaik pada penutupan kuartal IV-2015 yang tercatat di level IDR 13,795 per USD, jauh dari catatan September IDR 14.657 per USD, atau terapresiasi 5,88 persen. Keadaan pasar mulai berbalik arah ketika data ketenagakerjaan AS dirilis pada 2 Oktober 2015. Sejak itu, kurs rupiah berangsur membaik dengan catatan terapresiasi 6,9 persen (IDR 13.639 per USD) di akhir Oktober 2015. Meski begitu, pada penutupan November 2015, rupiah tercatat di level IDR 13.840 per USD atau melemah 1,47 persen dari Oktober, namun masih lebih baik dari penutupan kuartal III-2015.
Secara year to date, rupiah telah terdepresiasi sebesar 10,89 persen. Hal tersebut membuat rupiah termasuk salah satu kurs dengan kinerja terburuk di Asia setelah Malaysia yang terdepresiasi 22,8 persen. Dengan fundamental—pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan cadangan devisa—yang ada saat ini, rupiah akan diprediksi kembali melemah di akhir 2016 karena dianggap tidak cukup kuat menghadapi tantangan ekonomi global. Tahun 2016 masih diprediksi akan menjadi tahun yang sulit dikarenakan kombinasi dari pelemahan ekonomi Tiongkok, devaluasi renminbi, quantitative easing oleh ECB, dan kenaikan FFR.
Gambar 5 Kurs Nondeliverable Forward Rupiah terhadap dolar AS, Desember 2010 – Desember 2015
NDF rupiah terhadap dolar menguat, namun spread dengan spot-rate meningkat
Sumber: Bloomberg (2016)
Kondisi rupiah di pasar forward menguat di penutupan 2015. Kurs rupiah Nondeliverable Forward (NDF) berjangka satu bulan tercatat di kisaran IDR 13.908 per USD pada akhir Desember 2015, menguat 6 persen dibandingkan September 2015. Tetapi, jika dibandingkan Desember 2014, rupiah melemah sangat dalam sebesar 11,4 persen. Selain itu, pergerakan NDF rupiah juga cenderung stagnan selama medio Oktober 2015 – Desember 2015. Kemudian, selisih antara nilai NDF rupiah dan spot rupiah cukup tinggi: 150 poin pada Oktober 2015, 85 poin pada November 2015, dan 110 poin pada Desember 2015. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pemegang dolar AS masih sangat konservatif dalam menyikapi kondisi ekonomi global. Rupiah masih belum dipercaya “aman” untuk dipegang di masa depan.
Gambar 6 Real Effective Exchange Rate, Desember 2010 – Desember 2015
Tekanan mereda, kurs rupiah kembali ke arah nilai wajar
Sumber: BIS dan CEIC (2016, diolah)
Nilai rupiah kembali menuju nilai fundamentalnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Real Effective Exchange Rate (REER) rupiah yang bergerak ke arah rata-rata jangka panjangnya—nilai wajar. Nilai REER berada di level 104,75 poin pada Desember 2015, hanya berselisih 133 bps dari nilai wajar yang bernilai 106,08 poin. Namun, rupiah masih mengalami undervalued sebesar 1,6 persen. Sementara itu, jika diperbandingkan antartahun, nilai REER pada Desember 2015 lebih buruk dari Desember 2014 dengan spread 9 bps atau hanya mengalami undervalued sebesar 0,08 persen. Selama 2015, rupiah mengalami puncak nilai undervalued pada September sebagai dampak kegamangan investor global menanti keputusan the Fed (bank sentral AS) terkait FFR. Pada September 2015, nilai rupiah mengalami undervalued hingga 6,9 persen dengan spread hingga 732 bps.
Gambar 7 Cadangan Devisa, Desember 2010 – Desember 2015
Cadangan devisa belum pulih, menurun ke level USD 100,24 miliar pada Desember 2015
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016)
Tertekan untuk stabilisasi rupiah, cadangan devisa Indonesia belum pulih. Pada Desember 2015, cadangan devisa tercatat sebesar USD 105,9 miliar, meningkat USD 4,21 miliar dibandingkan September 2015, tetapi turun USD 5,93 miliar dibandingkan Desember 2014. Kenaikan yang signifikan tersebut berasal dari pinjaman luar negeri dan juga penerbitan obligasi dalam denominasi dolar AS. Dengan jumlah tersebut, cadangan devisa Indonesia mampu membiayai 7,4 bulan impor dan pengembalian utang luar negeri—jauh di atas batas standard kecukupan internasional, 3 bulan.
Meski begitu, selama tahun 2015, cadangan devisa sempat tertekan hebat. Cadangan devisa sempat tercatat sebesar USD 100,24 miliar Pada akhir November 2015. Penurunan sangat drastis tersebut menjadi yang terendah sejak Desember 2013, digunakan untuk upaya stabilisasi eksternal Indonesia. Terkurasnya cadangan devisa menjadi harga yang sangat mahal akibat sikap otoritas moneter yang tidak konservatif dengan menurunkan BI Rate 25 bps (Februari 2015) di saat yang tidak tepat—di tengah ketidakstabilan ekonomi global—(lihat IERO edisi kuartal I-2015). Meski begitu, angka tersebut masih dapat membiayai 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
2. Pasar Saham Kembali Menguat
Gambar 8 Pergerakan IHSG, Desember 2010 – Desember 2015
Tekanan FFR mereda, IHSG meroket di akhir tahun 2015
Sumber: BEI dan CEIC (2016)
Gambar 9 Kapitalisasi Pasar IHSG dan Pembelian Neto Asing, Desember 2010 – Desember 2015
Investor asing membukukan jual neto IDR 22,6 triliun
Sumber: BEI, Bloomberg, dan CEIC (2016, diolah)
Keadaan pasar saham Indonesia berangsur membaik selama Kuartal IV-2015. Pada Penutupan 30 Desember 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 4.593 poin dengan jual neto IDR 1,41 triliun, meningkat 8,7 persen dibandingkan September 2015. Kenaikan signifikan tersebut sebagai dampak ikutan dari situasi ekonomi global yang mulai menampakkan titik terang selama kuartal IV-2015. IHSG mulai menanjak sejak 3 Oktober 2015 setelah data ketenagakerjaan AS dirilis—mengalami peningkatan namun di bawah ekspektasi. Data tersbut kemudian memunculkan keyakinan pasar bahwa FFR belum akan naik pada bulan Oktober tetapi akhir tahun. Namun, IHSG sempat melorot pada akhir November yang tercatat di level 4.446,5 poin, melemah 0,2 persen dari Oktober 2015. Penurunan yang terjadi selama kuaral IV-2015 disebabkan oleh aksi profit taking yang dilakukan investor asing dengan tercatat aksi jual neto mencapai IDR 9,5 triliun. Kekhawatiran muncul karena pelemahan rupiah di saat Tiongkok mendevaluasi renminbi sehingga risiko capital loss meningkat. Setidaknya, pengumuman kenaikan FFR pada 16 Desember 2015 memberikan nafas lega bagi IHSG yang kemudian kembali melejit.
Kemudian, secara antartahun kinerja IHSG pada 2015 menurun. IHSG mengalami penurunan sebesar 12,12 persen y-o-y dengan jual neto investor asing mencapai IDR 22,6 triliun. Catatan tersebut jauh lebih buruk dibandingkan akhir Desember 2014. IHSG mengalami kenaikan 22,3 persen dengan beli neto investor asing mencapai IDR 42,6 triliun di tahun 2014. Ke depannya, pergerakan IHSG masih akan dibayang-bayangi oleh berbagai isu eksternal, seperti halnya yang terjadi pada 2015 yang lalu.
Gambar 10 Nilai Aktiva Bersih Reksadana, Desember 2010 – Desember 2015
Kinerja reksa dana melambat selama 2015, tumbuh 13,34 persen y-o-y
Sumber: ARIA Bapepam-OJK (2016)
Membaiknya kinerja pasar saham dan obligasi berdampak pada kenaikan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana. Pada penutupan Desember 2015, NAB tercatat IDR 258,81 triliun, tumbuh 8,89 persen relatif terhadap September 2015. Kinerja reksa dana pada kuartal IV-2015 jauh lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang justru terkontraksi sebesar 5,3 persen. Perbaikan tersebut dikarenakan kenaikan yang signifikan di pasar saham maupun pasar obligasi. Kapitalisasi nilai portofolio berkembang dengan baik setelah tekanan eksternal mereda, meski investor asing banyak melepas saham di IHSG dan membukukan jual neto selama kuartal IV-2015. Secara antartahun, NAB tumbuh cukup baik sebesar 13,34 persen y-o-y pada 2015, meski jauh lebih rendah dari pencapaian tahun 2014 yang tumbuh 23,1 persen. Sementara itu, tingkat indikatif harga agregat reksa dana juga naik sebesar 5,07 persen pada Desember 2015 relatif terhadap September 2015. Pun, catatan pada Desember jauh lebih baik daripada September 2015 yang terkontraksi 8,56 persen relatif terhadap Juni 2015.
3. Meski Tingkat Harga Desember Melonjak, Inflasi Tahunan Cukup Rendah
Gambar 11 Tingkat Inflasi, Desember 2010 – Desember 2015
Kelesuan ekonomi menekan inflasi umum di level 3,35 persen y-o-y
Sumber: BPS dan CEIC (2016, diolah)
Tingkat inflasi kembali menurun menyusul pelemahan kinerja ekonomi domestik selama tahun 2015. Inflasi umum tercatat sebesar 3,35 persen y-o-y pada Desember 2015, lebih rendah dari September 2015 yang sebesar 6,83 persen dan Desember 2014 yang sebesar 8,36 persen. Penurunan tingkat inflasi tersebut dipengaruhi oleh menurunnya inflasi inti dan juga komponen harga diatur pemerintah. Inflasi inti tercatat sebesar 3,95 persen y-o-y, lebih rendah 112 pp dari September 2015, sedangkan komponen harga diatur pemerintah tercatat sebesar 0,39 persen, jauh lebih rendah 1087 pp dari September 2015. Laju inflasi komponen inti yang menurun disebabkan oleh lesunya permintaan domestik Indonesia selama 2015, meskipun tekanan eksternal—kurs rupiah yang melemah—cukup tinggi. Kemudian, komponen harga diatur pemerintah secara year on year mengalami penurunan tajam dibanding September 2015 dikarenakan pada Desember 2014 terjadi inflasi tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, sehingga secara relatif mengalami perubahan antartahun yang kecil pada Desember 2015. Namun secara keseluruhan, kecilnya kenaikan tertolong oleh rendahnya komoditas energi dunia sehingga tarif listrik, gas, dan BBM dapat disesuaikan sementara tarif transportasi yang naik secara musiman pada peak season.
Sementara itu, komponen harga bergejolak menjadi faktor pendorong utama inflasi umum Desember 2015. Komponen harga bergejolak mengalami kenaikan 4,84 persen y-o-y. Meski begitu, angka tersebut lebih rendah 369 pp dari September 2015. Penyebab inflasi komponen harga bergejolak antara lain kenaikan harga-harga kebutuhan pokok menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2016. Sepanjang tahun 2015, beras yang termasuk komponen harga bergejolak menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar.
Tabel 1 Tingkat Inflasi berdasarkan Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2015 (2012=100, % m-t-m)
Mengalami inflasi 3,2 persen m-t-m, kelompok pengeluaran bahan makanan menjadi penyumbang inflasi terbesar
Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012
(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2016, diolah)
Desember 2015 tercatat mengalami inflasi bulanan tertinggi selama 2015. Secara month to month, inflasi Desember 2015 sebesar 0,96 persen jauh lebih tinggi dari catatan pada September 2015 (-0,05 persen). Desember bertepatan dengan hari Natal dan libur akhir tahun sehingga membuat permintaan meningkat. Maka secara seasonal, Desember memiliki kecenderungan mengalami inflasi bulanan yang tinggi. Sebagai dampaknya, inflasi kelompok pengeluaran bahan makanan meningkat tajam sebesar 3,2 persen m-t-m, lebih tinggi dari catatan September 2015 yang sebesar (-1,07) persen, pun dengan Juli 2015—masa Bulan Puasa dan Hari Raya Idul Fitri—yang sebesar 2,02 persen. Selain itu, tersendatnya logistik juga memengaruhi tingginya harga bahan pangan ini. Komoditas yang mengalami kenaikan harga yang tinggi antara lain cabai merah, bawang merah, dan ayam ras. Kelompok pengeluaran bahan makanan ini menjadi penyumbang inflasi terbesar pada Desember 2015. Kemudian, perumahan, listrik, gas, dan bahan bakar menjadi kelompok pengeluaran kedua terbesar penyumbang inflasi umum dengan nilai 0,4 persen m-t-m. Kenaikan tarif listrik adalah komoditas yang dominan pada kelompok pengeluaran tersebut. Kelompok pengeluaran makanan olahan, minuman, dan tembakau dengan inflasi 0,5 persen menjadi penyumbang inflasi umum terbesar ketiga dengan rokok kretek filter menjadi komoditas yang dominan.
Inflasi terjadi di 82 kota pada Desember 2015. Inflasi tertinggi tercatat di Merauke dengan nilai 2,87 persen m-t-m. Sementara itu, inflasi terendah tercatat di Cirebon dengan nilai 0,27 persen. Inflasi banyak tersebar di Indonesia bagian timur dan Sumatera bagian utara.