Indeks globalisasi Indonesia pada tahun 2016 mencapai angka 57,75, meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2007 dengan skor 51,31. Dengan menempati peringkat ke-84 dari 207 negara di dunia dalam hal globalisasi, Indonesia memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan dunia relatif terhadap 123 negara lainnya. Namun apabila kita melihat lebih dekat unsur pembentuk indeks globalisasi ini, maka terlihat bahwa eratnya Indonesia dengan dunia lebih didorong oleh globalisasi politik. Globalisasi politik ini diukur dengan, misalnya, keanggotaan Indonesia di lembaga internasional dan jumlah kedutaan di negara sahabat. Sementara itu globalisasi ekonomi Indonesia hanya berada di peringkat ke-92. Lalu apa kaitan indeks globalisasi ini dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2016?
Pertama, komponen utama PDB Indonesia masih dibentuk oleh konsumsi rumah tangga (57%), yang artinya gejolak di pasar tujuan ekspor tidak berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi kita. Ingat bahwa Indonesia memiliki hubungan erat dengan dunia internasional, namun lebih pada sisi politik daripada ekonomi. Betul bahwa ekspor barang dan jasa kita turun 3,88% pada kuartal I tahun ini, lebih buruk dari kuartal yang sama tahun lalu (turun 0,62%), namun toh laju pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu (4,92% vs 4,73%). Sebaliknya, kita harus mewaspadai tren penurunan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga selama tiga tahun terakhir.
Kedua, apabila melihat variabel penyusun indeks globalisasi ekonomi, akan tampak limbungnya kondisi ekonomi Indonesia. Rasio perdagangan luar negeri (ekspor+impor) terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 37,55% pada kuartal I-2016, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan (apalagi) Singapura yang masing-masing memiliki rasio di atas 100%. Namun di sisi lain, ukuran ekonomi yang besar membuat Indonesia layak masuk jajaran G-20. Ibarat petinju, Indonesia layaknya James “Buster” Douglas yang berat, lambat, namun dengan tak terduga (peluangnya hanya 1:42 di mata bandar judi!) mampu mengalahkan Mike Tyson. Pada konteks ASEAN, Indonesia dikepung oleh negara-negara tetangga yang berada di kelas lebih ringan namun gesit dan lincah macam Julio César Chávez atau Manny Pacquiao. Lebih luas dari ASEAN, banyak negara berkembang kini tampak muram usai China melakukan devaluasi akhir tahun lalu. Bahkan dalam siaran pers 21 April lalu, Bank Indonesia menyatakan bahwa “… ekonomi Tiongkok mengarah ke kondisi yang lebih stabil dengan risiko pelemahan yang masih tinggi”, yang menunjukkan bahwa kita tidak bisa banyak berharap dari China untuk mendongkrak perekonomian Indonesia.
Ketiga, dalam publikasi yang sama, indeks globalisasi sosial Indonesia ada di peringkat ke-140; artinya hanya ada 67 negara (dari total 207 negara) yang peringkatnya lebih buruk. Indeks globalisasi sosial diukur salah satunya dengan rasio pengguna internet (per 100 orang) dan rasio jual-beli buku (melalui perdagangan internasional) terhadap PDB. Kedua indikator ini menunjukkan keterbukaan dan akses informasi yang kemudian diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia. Sayangnya, dengan peringkat yang relatif rendah Indonesia masih harus berjuang dalam meningkatkan literasi masyarakatnya terutama melalui sebaran konten online melalui internet. Namun kabar positifnya adalah perkiraan angka indeks tendensi bisnis kuartal II-2016 yang menunjukkan optimisme: meningkat dari 99,46 (kuartal I-2016) menjadi 103,52 (kuartal II-2016). Peningkatan indeks tendensi bisnis ini menarik untuk disorot karena didorong oleh sektor informasi dan telekomunikasi serta sektor administrasi pemerintahan. Apalagi proyek Palapa Ring yang akan segera dimulai diharapkan akan meningkatkan cakupan internet broadband ke seluruh Indonesia hingga mencapai kawasan Papua dan Papua Barat. Makin bergairahnya sektor informasi dan telekomunikasi menunjukkan bahwa sektor ini dan industri penunjangnya (seperti ekonomi kreatif) masih terus berkembang dan memberi kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi maupun perbaikan kualitas manusia Indonesia.
Selain tantangan yang sifatnya jangka pendek, masih ada sejumlah isu yang tampaknya tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Pertama, masalah ketimpangan pendapatan telah menjadi sorotan sejak akhir tahun lalu, di mana Indonesia memiliki distribusi pendapatan yang paling tidak merata dibandingkan banyak negara Asia lainnya. Kedua, harga komoditas yang masih lesu—dan oleh IMF dan Bank Dunia diperkirakan akan tetap lesu hingga 4-5 tahun ke depan—memaksa eksportir Indonesia untuk lebih kreatif dalam memasarkan produknya.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, namun terdapat dua kabar baik dari sisi fiskal pemerintah: 1) diumumkannya kelanjutan paket kebijakan ekonomi pemerintah ke-12 yang memberi kemudahan berusaha bagi pebisnis, dan; 2) diluncurkannya dua kemitraan pemerintah-swasta untuk konsesi proyek Palapa Ring—sebagaimana telah disinggung di paragraf sebelumnya—senilai lebih dari Rp5 triliun pada bulan April lalu. Khusus untuk konsesi Palapa Ring, beban fiskal pemerintah relatif ringan karena skema pembayarannya memakai dana yang berasal dari Dana Kontribusi Universal Service Obligation (USO) yang dibayar oleh para penyedia jasa layanan telekomunikasi.
Perkembangan positif juga muncul di pasar keuangan. Meskipun IHSG secara umum masih di bawah angka 5000, namun sejak awal 2011 tampak ada tren meningkat. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika juga relatif stabil selama satu tahun terakhir. Inflasi juga cukup terkendali. Dari sektor luar negeri, arah kebijakan moneter Amerika Serikat sudah semakin jelas: pada 27 April lalu Federal Reserve menyatakan bahwa federal funds rate masih di bawah tingkat yang diharapkan pada jangka panjang. Artinya, tingkat suku bunga di Amerika Serikat entah akan tidak berubah, atau akan naik. Berkurangnya ketidakpastian ini mesti dimanfaatkan Bank Indonesia dalam antisipasi kebijakan moneternya. Apalagi, perubahan pada instrumen kebijakan moneter dari yang sebelumnya berupa BI rate menjadi tingkat reverse repo 7-hari diharapkan mampu meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dan menekan tingkat suku bunga pinjaman perbankan. Meskipun masih perlu dikaji keberhasilannya (kebijakan ini baru akan efektif Agustus nanti), namun perubahan yang cukup fundamental ini menunjukkan komitmen Bank Indonesia pada kendali kebijakan moneter, yang pada akhirnya akan berujung pada pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Terakhir sebelum masuk ke paragraf penutup, meskipun kebijakan Federal Reserve sudah cukup jelas, namun masih terdapat sejumlah ekonom ternama di Amerika Serikat seperti Narayana Kocherlakota (mantan presiden Federal Reserve Bank of Minneapolis) dan Paul Krugman (peraih hadiah Nobel ekonomi 2008) yang beranggapan bahwa Amerika Serikat masih membutuhkan keberlanjutan kebijakan moneter (terutama program quantitative easing) dan, lebih penting lagi, kebijakan fiskal yang ekspansif. Akibatnya, proses penyembuhan perekonomian Amerika Serikat berjalan relatif lamban—meskipun tidak selamban Eropa—dan ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih belum segesit satu dekade lalu saat dunia masih menikmati uang yang berlimpah dan booming harga komoditas.
Apabila melihat perkembangan indikator makroekonomi dari dalam negeri dan dari luar negeri, maka tampaknya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tidak banyak berubah, dan bahkan akan agak turun, pada kuartal II-2016.