Di bulan Agustus, paling tidak ada 2 tanggal penting dan menarik serta menjadi perhatian masyarakat, yakni: pertama, 17 Agustus 2014, hari HUT RI ke 69 dan sekaligus diluncurkannya uang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan kedua, tg 21 Agustus 2014, yang ditandai dengan keluarnya keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan Presiden dan Wakil Presidan terpilih (Joko Widodo dan Jusuf Kala). Munculnya mata uang NKRI tidak saja sebagai perujudan UU No.7/2011 tentang Mata Uang, tetapi sekaligus merupakan tonggak perubahan penting mengenai konsep uang di Indonesia dari uang Bank Indonesia (UBI) menjadi uang NKRI (UNKRI). UBI—yang selama ini dikenal dan digunakan sebagai media pertukaran, alat pembayaran dan pengukur nilai—atau uang kartal BI merupakan kewajiban moneter otoritas moneter (BI) kepada masyarakat. Jadi memang sungguh luar biasa otoritas yang dimiliki BI, padahal BI hanyalah lembaga negara yang independen terhadap pemerintah. Di sisi lain, munculnya uang NKRI (UNKRI) berarti yang mempunyai kewajiban moneter kepada masyarakat adalah Negara yakni NKRI yang diwakili oleh pemerintah (c.q. Menteri Keuangan) dan lembaga negara BI. UNKRI tidak saja sebagai uang kartal tetapi juga menunjukan keberadaan negara dalam semua sendi dan sisi kehidupan serta kegiatan ekonomi masyarakat selama mereka berada di NKRI. Memang munculnya UNKRI dapat memberi indikasi semakin berkurangnya otoritas dan independensi yang dimiliki Bank Indonesia setelah lahirnya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan penetapan target inflasi oleh pemerintah (Insukindro, 2009). Namun, langkah tsb penting dan harus dilakukan agar biaya pencetakan dan jumlah uang yang dicetak, misalnya, tidak saja dapat diketahui oleh BI dan pemerintah tetapi juga oleh masyarakat melalui wakil-wakil mereka di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Di masa yang akan datang, rasanya akan lebih baik lagi jika jumlah UNKRI yang dicetak dan diedarkan juga dikaitkan dengan rencana pembangunan negara baik yang tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) maupun RAPBN (Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Dua hal yang disebut terakhir, tentunya akan tercermin dalam neraca interen (internal balance) seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kestabilan sistem keuangan, dan neraca eksteren (external balance), seperti keseimbangan neraca pembayaran internasional. Tentu saja semua ini perlu pula diwujudkan dalam perubahan Undang-Undang Bank Indonesia.
Keputusan MK tg 21 Agustus 2014 memberi asa (harapan) tersendiri, tidak saja karena kita akan mempunyai presiden dan wakil presiden baru tetapi juga asa-asa baru dengan “nawa cita” (sembilan agenda prioritas) beliau. Program-program pemerintah baru seperti Indonesia pintar dan sehat, subsidi daerah dan desa, secara ekonomika makro berarti bentuk-bentuk stimulus fiskal yang diharapkan dapat mendorong kualitas tenaga kerja, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tantangan yang akan dihadapi pemerintah yang baru juga tidak mudah, RAPBN 2015 ini disusun oleh Kabinet pimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyono yang tentu saja mempunyai program yang tidak sama dengan presiden terpilih, terlebih lagi masalah-masalah yang harus segera diselesaikan, seperti subsidi BBM dan listrik, utang luar negeri dan sumber pendanaan RAPBN berkenaan pengurangan subsidi BBM, misalnya, dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan kuantitas atau membatasi jumlah subsidi BBM (seperti yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini) dan pendekatan harga yakni dengan menaikkan harga BBM. Kedua pendekatan ini pada gilirannya akan menaikkan harga BBM baik langsung (pendekatan kedua) atau tidak langsung (pendekatan pertama). Dengan menggunakan pendekatan Makroekonomika Konsensus Baru (MKB)2, dapat dianalisis bagaimana pengaruh stimulus fiskal dan kenaikan BBM terhadap variabel ekonomika makro, misalnya: suku bunga, inflasi dan fluktuasi ekonomi (resesi atau ekspansi ekonomi). Stimulus fiskal akan berpengaruh terhadap kenaikan output (ekspansi), namun dapat mendorong inflasi. Pertanyaannya haruskan suku bunga dinaikkan? Jawabannya ada dua. Pertama, suku bunga dinaikkan dengan harapan inflasi turun3, ataukah yang kedua, suku bunga tidak dinaikkan dan output lebih meningkat (ekspansi ekonomi lebih lanjut) tetapi dalam jangka pendek akan disertai kenaikan inflasi.
Kenaikan BBM dalam jangka pendek akan mendorong kenaikan biaya produksi dan harga atau inflasi. Pertanyaannya adalah haruskan kenaikan BBM ini disertai oleh kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia. Jawabannya juga ada dua. Pertama, suku bunga dinaikkan dengan harapan inflasi turun, tetapi terjadi kelesuan atau resesi ekonomi, dan kedua, suku bunga tidak dinaikkan, tetapi kita terhindar dari resesi ekonomi walaupun dalam jangka pendek terjadi kenaikan harga atau inflasi.
Dari dua contoh di atas, memang ada dua pilihan apakah kita mengikuti aliran baku Neoklasik, yang nampaknya banyak diacu di Indonesia, ataukah kita mengikuti ekonomika makro baru seperti MKB. Jika kita mengikuti ekonomika makro baru, maka kita mempunyai pilihan-pilihan kebijakan dan konsekuensi yang timbul serta kemungkinan kita terhindar dari sindrum inflasi dan lebih pro kepada sektor riil atau penawaran agregat. Tentu saja, koordinasi antara pemerintah, BI, OJK dll perlu dilakukan dan ditingkatkan, walaupun semua orang telah mahfum bahwa koordinasi adalah barang ekonomi yang mahal dan tidak mudah.
Studi yang dilakukan oleh Insukindro dan Makhfatih (2013) juga mendukung perlunya koordinasi antara pemerintah dan BI dalam mengelola uang beredar agar mampu menggariahkan pertumbuhan ekonomi, dan koordinasi ini rasanya dapat dilakukan karena telah lahir UNKRI. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola produksi dan pasar migas dan subsidi serta pajak terkait. Pengeluaran pemerintah diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga dapat mendorong peningkatan produksi atau penawaran agregat, sehingga sindrum suku bunga tinggi dan inflasi dapat dikurangi. Hal lain yang perlu dicermati adalah krisis luar negeri dan semakin terbukanya perekonomian Indonesia. Studi di atas menunjukkan bagaimana pengaruh kedua besaran ini terhadap perekonomian negara kita, dan diharapkan sampai akhir 2014 telah terjadi pembalikan keadaan krisis di luar negeri (USA dan Eropa) ke arah pertumbuhan ekonomi yang positif dan meningkat.
Yogyakarta, 24 Agustus 2014
Referensi
Arestis, P and M.C. Sawyer (2008), A Critical Reconsideration of Foundation of Monetary Policy in the New Consensus Macroeconomics Framework, Cambridge Journal of Economics, 31(5): 761-779.
Blanchard, O., G. Dell’Ariccia and P. Mauro (2010), Rethinking Macroeconomic Policy, IMF Staff Position Note, SPN/10/03, February 12
Goodfriend, M. and R.G. King (1997), The New Neoclassical Synthesis and the Role of Monetary Policy, NBER Macroeconomics Annual: 971-987.
Hubbard, R.G., A.P. O’Brien and M. Rafferty (2012), Macroeconomics, Pearson Education, Inc.
Insukindro (2009), Bank Indonesia Masa Depan, Kompas, 22 Juli
Insukindro (2013), Makroekonomika Baru: Pendekatan IS-MP-MNKPC dan Sintesa Neoklasik Baru, Materi Ceramah di PRES BI, 30-31 Juli
Insukindro dan A. Makhfatih (2013), Kajian Analisis Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan, Laporan Akhir, Konsultan Tim Kajian Staf Ahli Meneg PPN/Ketua Bappenas, Jakarta
___________________________________
1 Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
2 Pendekatan ekonomika makro baru, seperti Sentesis Neoklasik Baru (New Neoclassical Synthesis) yang dikembangkan oleh Goodfriend dan King (1997) dan/atau Makroekonomika Konsensus Baru (New Consensus Macroeconomics) (lihat misalnya: Arestis dan Sawyer, 2008), dan kemudian diramu oleh Hubbard dkk (2012: Ch.9-13, 15), memungkinkan digunakannya pendekatan IS-MP-MNKPC dalam menganalisis fenomena ekonomi di atas (lihat juga: Insukindro, 2013).
3 Kebijakan ini biasanya lebih banyak dipilih oleh ekonom yang percaya pada aliran Neoklasik yang telah banyak mendapat kritikan (lihat misalnya: Blanchard dkk, 2010)