Setelah tax amnesty, baru-baru ini rencana pemerintah untuk menyatukan seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah satu payung Superholding Company (SHC) menuai beragam tanggapan. Keberadaan SHC ini kemudian akan menggantikan fungsi Kementerian BUMN yang biasanya menjalankan fungsi pengawasan atas kinerja lebih dari 100 BUMN yang ada di Indonesia. Gagasan ini berawal dari cita-cita untuk meningkatkan efisiensi operasional berikut daya saing BUMN. Di akhir, BUMN kita diharapkan dapat menjadi global player yang tidak terus bergantung pda dukungan permodalan negara.
Pembentukan superholding company ini dilatar belakangi beberapa hal. Pertama, adanya fakta bahwa dominasi beberapa BUMN dinilai merupakan indikasi belum meratanya daya saing BUMN di Indonesia. Kedua, akibat statusnya, ketergantungan BUMN terhadap subsidi dan Penyertaan Modal Negara (PMN) dinilai tidak berdampak baik. Ketiga, rencana kebijakan ini dimotivasi oleh kesuksesan negara-negara tetangga—sebut saja Singapura dan Malaysia—yang sudah mendahului Indonesia dalam menerapkan konsep superholding company ini.
Singapura dengan Temasek Group dan Malaysia dengan Khazanah Group-nya sejauh ini dipandang memiliki performa yang baik. Selain berperan sebagai ‘induk’ SoE di dalam negeri masing-masing, Temasek Group dan Khazanah Group juga merupakan SWF atau Sovereign Wealth Funds, yakni institusi investasi milik negara yang beroperasi secara global.
Dalam pelaksanaannya, bentuk superholding ini memberikan keleluasaan dan mampu meringkas proses pengambilan keputusan, yang pada kasus Indonesia barangkali terganjal oleh proses birokrasi yang panjang (termasuk banyaknya undang-undang yang mengurangi responsifitas pengambilan keputusan) dan dinilai masih menyulitkan. Di sisi lain, pengelolaan sekian banyak BUMN oleh sebuah instansi (Kementerian BUMN) dianggap kurang efisien. Keberadaan SHC nantinya dianggap mampu menjawab persoalan ini.
Di Indonesia sendiri, pembentukan SHC direncanakan akan diawali oleh pendirian beberapa perusahan holding yang terbagi menurut lapangan usaha. Perusahaan-perusahaan holding ini mencakup sektor konstruksi, jasa keuangan, energi, pertambangan, perumahan, dan lapangan usaha pangan. Kabar baiknya, jika kebijakan ini berhasil meningkatkan kinerja BUMN, maka akan dapat menjadikan serapan dana repatriasi hasil kebijakan tax amnesty yang sudah dijalankan sebelumnya menjadi optimal.
Beberapa pendapat yang kontra terhadap rencana pembentukan SHC ini dilandaskan pada kemungkinan terkorbankannya kepentingan nasional dengan berubahnya BUMN menjadi bentuk entitas yang lebih ‘bebas’ lagi fleksibel. Sejauh master plan pelaksanaan kebijakan ini belum jelas, rasanya sulit bagi kita untuk melihat dengan jelas implikasi pembentukan SHC ke depan.
Setidaknya, ada dua hal yang tetap perlu dipegang teguh: pertama, portofolio negara atas saham BUMN masih tetap berada di atas batas minimumnya. Selama ini terpenuhi, seharusnya kepentingan negara yang diemban oleh BUMN tidak terusik. Kedua, pemerintah tetap menjalankan fungsi kontrolnya dengan tetap menjaga keikut sertaan di dalam pemilihan dan penempatan orang pada posisi pimpinan BUMN itu sendiri.