Setelah awal tahun ini diguncang pelemahan saham Tiongkok, pasar saham global kembali tertekan. Kondisi pasar saham di berbagai belahan dunia mengalami penurunan, beberapa di antaranya bahkan anjlok hingga lebih dari 5 persen. Penyebab utamanya masih sama, pelemahan ekonomi global karena sumbangan ekonomi Tiongkok yang menurun dan juga antisipasi terhadap kenaikan Federal Funds Rate (FFR) pada tahun 2016. Namun, kali ini ada dua faktor yang menambah runyam: rendahnya harga minyak dan stabilitas pasar keuangan Eropa dan Jepang yang diragukan.
Penurunan harga minyak sudah terjadi sejak tahun lalu. Penyebabnya adalah adanya substitusi minyak mentah (crude oil) yang harga lebih murah, shale oil dan juga shale gas. Namun, harga minyak telah turun hingga mencapai angka terendah dalam sebelas tahun terakhir. Diperkiraan, harga minyak tidak akan beranjak dari kisaran USD 30 – 35 per barel selama 2016 ini. Hal tersebut membuat investor di pasar keuangan khawatir pada profitabilitas perusahaan-perusahaan energi, utamanya minyak, sehingga melepaskan sahamnya. Selain itu, investor juga khawatir pada kemampuan perusahaan energi tersebut dalam pemenuhan pembayaran utangnya.
Kemudian, investor dunia mengalami kekhawatiran terkait ketahanan stabilitas pasar keuangan Eropa. Hal tersebut muncul seiring dengan kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) melakukan kebijakan moneter ekspansif, suku bunga acuan bernilai negatif. Suku bunga negatif dimaksudkan agar uang tidak mengendap di bank sehingga peredaran uang meningkat dan tingkat inflasi kembali naik, perekonomian tumbuh. Namun, kebijakan tersebut juga berdampak negatif pada sektor perbankan. Di saat ekonomi lesu, kebijakan moneter ekspansif mengancam profitabilitas perbankan. Investor tidak mau mengambil risiko dan melepas saham perbankan sehingga harganya anjlok. Deutsche Bank, bank terbesar Jerman, diragukan dapat membayar obligasi yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat kemudian berencana untuk mengeluarkan “coco bonds”. Investor semakin ragu terhadap stabilitas perbankan di Eropa. Belakangan, Swedia turut memangkas suku bunga acuannya hingga negatif.
Sedangkan di Jepang, meski juga menerapkan suku bunga negatif, pasar saham tertekan lebih karena apresiasi yen yang terlalu kuat. Pasar memperkirakan The Fed belum akan menaikkan FFR dalam waktu dekat menyusul belum kuatnya ekonomi AS pada kuartal IV-2015 dan Januari 2016. Kemudian, dana investasi beralih ke obligasi negara risiko rendah, salah satunya Jepang, sebagai aset safe-haven. Dampak lainnya, muncul persepsi profitabilitas industri otomotif akan melemah. Harga saham di sektor otomotif menurun tajam. Selain itu, pilihan investasi domestik di Jepang menjadi terbatas ketika yen menguat sementara sektor perbankan juga mengalami masalah. Harga saham di sektor perbankan juga menurun tajam.
Bagi Indonesia, keadaan tersebut tidak cukup berbahaya. Dalam sebulan terakhir, rupiah dan IHSG kembali menguat. Yield obligasi jangka waktu 10 tahun juga menurun. Investasi asing kembali masuk ke Indonesia. Namun, perlu diingat, kondisi seperti ini pernah terjadi pada tahun lalu ketika semua mata tertuju pada FFR, apakah naik atau tidak. Sementara ini, asumsi yang menguat adalah FFR belum akan dinaikkan kembali. Di sisi domestik, inflasi bulanan pada Januari 2016 terbilang kecil. Sementara itu, inflasi Februari 2016 diperkirakan akan lebih rendah dari Januari mengikuti pola siklusnya. Likuiditas perbankan saat ini juga relatif aman. Ruang kebijakan moneter sedikit melonggar. BI Rate mendapat ruang untuk kembali diturunkan pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16 – 17 Februari nanti. Mari kita lihat bersama.