Home » Tak Berkategori » Ekonomi ASEAN: Meraih Potensi Perekonomian Optimum di Tengah Instabilitas Global dan Regional

Ekonomi ASEAN: Meraih Potensi Perekonomian Optimum di Tengah Instabilitas Global dan Regional

Secara umum dengan berakhirnya tahun 2013, perekonomian kawasan negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nations) mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif masih lambat dan belum memenuhi potensi perekonomian yang dimiliki. Perekonomian kawasan yang masih belum optimal ini terutama didorong oleh capaian perekonomian Indonesia dan Thailand, dua negara yang memiliki andil perekonomian yang besar di kawasan yang tercatat masih lebih rendah pada tahun 2013 dibandingkan dengan capaian yang diperoleh pada tahun 2012 lalu. Berdasarkan pertumbuhan year-on-year, pada tahun 2013 ini secara berturut-turut Indonesia dan Thailand mencatatkan pertumbuhan perekonomian sebesar 5,8% dan 2,9% lebih rendah daripada capaian perekonomian pada tahun 2012 yang secara berturut-turut tercatat 6,2% dan 6,4%. Situasi ini cukup meresahkan mengingat sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi Asia, ASEAN hanya mampu mencatatkan rerata pertumbuhan perekonomian sebesar 5% dalam satu dekade terakhir yang masih sangat rendah dibandingkan potensi perekonomian yang dimiliki di tengah tantangan perekonomian untuk memasuki komitmen bersama terkait ASEAN Economic Community 2015 yang akan datang.

Potensi pertumbuhan ekonomi kawasan mendapatkan tantangan baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal. Selain dikarenakan situasi global yang masih belum kembali normal, stabilitas politik yang relatif masih rapuh di kawasan adalah tantangan terkini yang dihadapi negara-negara di ASEAN, seperti yang saat ini sedang dialami oleh Thailand dan Myanmar atau bahkan hingga dinamika terkini menghangatnya hubungan antara Singapura dan Indonesia. Bahkan selain situasi lingkungan eksternal, tantangan secara internal juga dihadapi oleh pemerintah negara ASEAN yang dituntut untuk mampu mengambil kesempatan perekonomian di tengah kecenderungan pergeseran struktur perekonomian di kawasan. Menurut publikasi yang dirilis oleh Sekretariat ASEAN pada Oktober 2013, dinyatakan bahwa telah nampak adanya pergeseran struktur ekonomi yang mencolok di kawasan ASEAN terutama dikaitkan dengan semakin berkurangnya sumbangan sektor pertanian pada perekonomian kawasan dan semakin berkembangnya sektor perekonomian yang berbasis jasa. Hal ini dapat terjadi selain dengan mulai tumbuhnya kota-kota besar berskala metropolitan dengan layanan jasa keuangan yang semakin berkembang di kawasan, perkembangan juga dialami pada tingkatan negara seperti Filipina yang telah menjadi negara yang akan menggantikan dominasi India secara global dalam hal tingkat pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Pemerintah negara anggota ASEAN selain itu masih menemui tantangan untuk mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi pertumbuhan jumlah tenaga kerja dan penduduk akibat demographic boom serta kemampuan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai guna mendorong produktivitas perekonomian. Sebagai contoh, Filipina, Malaysia Vietnam, Indonesia, Myanmar dan Kamboja adalah negara-negara yang saat ini sedang mengalami tingkat pertumbuhan penduduk usia aktif tinggi sementara tingkat dependency ratio yang memiliki kecenderungan untuk terus menurun, sehingga berpotensi untuk mendukung perekonomiannya. Modal perekonomian ini apabila tidak mampu dikelola secara seksama oleh pemerintahan di negara ASEAN hanya akan menjadi salah satu penyebab tambahan untuk mendorong semakin mundurnya perekonomian kawasan.

Tabel 7: Pertumbuhan GDP Negara ASEAN, 1998–2013 (y-o-y, %)
Filipina dan negara CLMV adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi kawasan

  

Catatan: rata-rata pertumbuhan untuk periode 1998-1999, 2000-2007, dan 2008-2009
Sumber: IMF dan CEIC (2014)


Filipina adalah negara di kawasan ASEAN dengan tingkat capaian ekonomi sepanjang tahun 2013 cukup menakjubkan dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7,2% pada akhir tahun 2013. Capaian ini tidak hanya tinggi di kawasan ASEAN, tetapi juga salah satu negara dengan capaian pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia secara keseluruhan. Perekonomian Filipina yang berkembang sangat pesat ini, selain didorong dengan tercapainya Investment Grade oleh Moody’s pada tahun 2013 ini, juga dikarenakan proporsi investasi swasta dan pengeluaran pemerintah yang tinggi pada struktur pertumbuhan ekonominya dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan, selain rendahnya tingkat perekonomian negara ini pada aktivitas ekspor dan impor, sehingga meminimalisir dampak instabilitas perekonomian global pada perekonomian nasionalnya.


Capaian pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN juga didorong oleh tingkat pertumbuhan negara-negara CLMV (Kamboja, Lao PDR, Myanmar, Viet Nam). Negara anggota CLMV ini bahkan memperoleh capaian pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari negara-negara anggota ASEAN+6 (enam negara anggota awal ASEAN) yang dianggap memiliki sistem perekonomian yang lebih modern. Sepanjang tahun 2013 ini, negara-negara CLMV secara rata-rata mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%, lebih tinggi dari rerata capaian negara ASEAN+6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) yang hanya mampu mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 4,57%. Hal ini diperkirakan selain karena potensi kapasitas perekonomian yang masih sangat luas bagi negara-negara anggota CLMV dengan stabilitas politik yang relatif stabil juga sangat didorong dengan komitmen pemerintah nasional yang tinggi pada upaya pembangunan fasilitas dan jejaring infrastruktur seiring mendukung komitmen kawasan pada Master Plan on ASEAN Connectivity 2015.

 

Gambar 23: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2011 – 2014* (y-o-y, %)
Tingkat inflasi yang masih tinggi masih menjadi ancaman ekonomi kawasan

 

*= Data untuk Brunei Darussalam, Cambodia, Myanmar adalah posisi per-Desember 2013 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Lao PDR. Malaysia, The Philippines, Singapore, Thailand, Viet Nam adalah posisi per-Januari 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)

 

Tingkat inflasi yang masih relatif tinggi di ASEAN adalah salah satu penyebab utama yang menyebabkan hambatan bagi perekonomian untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal dan tingkat perbaikan kesejahteraan yang signifikan. Sepanjang tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat inflasi tertinggi di kawasan yang menyebabkannya berada di dalam kelompok negara-negara yang mencatat tingkat inflasi yang tinggi seperti Lao PDR dan Vietnam. Berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang relatif sukses menekan laju inflasi pada kisaran di bawah 3%, pemerintah Indonesia, Lao PDR dan Vietnam terbukti belum mampu menekan laju inflasi di dalam sistem perekonomiannya.

 

Pada perkembangan terkini melalui rilis tingkat inflasi pada bulan Januari 2014 yang lalu, bahkan Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat inflasi year-on-year tertinggi di kawasan. Indonesia memperoleh capaian IHK yang tercatat 8,22% berbeda signifikan dengan pencatat inflasi tertinggi berikutnya yaitu Lao PDR (5,99%) dan Viet Nam (5,45%). Tekanan inflasi pada perekonomian kawasan ini hendaknya menjadi perhatian yang serius oleh negara-negara anggota ASEAN karena hal ini akan sangat mempengaruhi kesiapan mereka secara kolektif untuk menyongsong ASEAN Economic Community 2015.

 

Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi tumbuh lebih tinggi dengan fenomena demographic boom yang terjadi. Pertumbuhan jumlah penduduk usia kerja produktif yang signifikan diiringi dengan tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik akan memacu terjadinya pertumbuhan tingkat konsumsi industri dan rumah tangga yang meningkat. Namun sayangnya, mayoritas pertumbuhan tingkat konsumsi itu masih didominasi oleh barang-barang impor yang tidak saja akan mempengaruhi keseimbangan nilai tukar tapi juga berpotensi mendorong membesarnya potensi terjadinya imported inflation.

 

Tabel 8: Pertumbuhan Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009 – 2014 (y-o-y, %)
Pasar saham di ASEAN menunjukkan capaian yang beragam

 

Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)


Perkembangan pasar saham di kawasan negara ASEAN menunjukkan capaian yang beragam. Sebagian negara sepanjang tahun 2013 mencatatkan penurunan yang tajam sebagaimana yang dicatat oleh Kamboja (-17,74%) dan Thailand (-11,58%), sebagian mengalami pertumbuhan yang tajam sebagaimana yang dicatat oleh Filipina (62,30%) dan Viet Nam (23,06%), sementara sebagian negara lainnya mengalami mencatatkan pertumbuhan dengan tingkat yang sangat tipis seperti yang dialami Indonesia, Lao PDR dan Singapura.


Pertumbuhan pasar saham menunjukkan optimisme pelaku pasar pada perekonomian ASEAN namun hal itu juga diiringi dengan potensi kerapuhan sistem keuangan kawasan. Melimpahnya dana asing masuk yang dikategorikan sebagai hot money memicu potensi penarikan dana secara tiba-tiba yang pada akhirnya dapat menggerus kestabilan sistem keuangan negara di kawasan yang saat ini sedang mengalami momentum pertumbuhan. Ancaman terhadap kestabilan sistem keuangan negara-negara anggota ASEAN secara umum juga datang dari kecenderungan peningkatan pada utang sektor perumahan akibat kecenderungan peningkatan tingkat konsumsi masyarakat terutama golongan menengah pada konsumsi benda-benda yang bersifat komplementer dan mewah. Melimpahnya dana asing masuk di kawasan ASEAN sepanjang tahun 2013 ini ditunjukkan dengan dana masuk hingga sebesar USD 144 miliar, tidak terlalu jauh dibandingkan dengan negara sebesar Cina yang mencatatkan dana masuk hingga sebesar USD 121 miliar.


Beberapa pengamat investasi dan pelaku pasar menyatakan bahwa mereka masih cukup optimis bahwa dana asing yang masuk ke kawasan ASEAN ini tidak akan segera berpindah dalam waktu dekat. Hal itu dikarenakan para investor masih belum menemukan tempat lain yang aman dan nyaman sebagai alternatif menarik untuk lokasi pemindahan dana-dana tersebut dalam situasi perekonomian global seperti saat ini. Para pengamat tersebut juga percaya bahwa walaupun hot money tersebut terjadi penarikan dana yang massal dan tiba-tiba, dampaknya tidak akan terlalu berat sebagaimana yang dialami pada saat Krisis Keuangan Asia 1998 terdahulu dikarenakan berdasarkan pengalaman itu sistem keuangan di ASEAN sudah lebih diregulasi dengan lebih baik dan dengan posisi cadangan devisa yang juga lebih memadai untuk menghadapi kemungkinan terjadinya potensi kejatuhan mata uang dengan drastis.


Tabel 9: Nilai Tukar Mata Uang ASEAN Terhadap USD, 2009 – 2014 (y-o-y, %)
Pada tahun 2013, seluruh nilai tukar mata uang di kawasan melemah terhadap USD

*= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang
Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhab berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)

 

Neraca perdagangan di kawasan ASEAN saat ini mengalami tekanan dari berbagai arah. Seiring dengan dampak resesi perekonomian yang di negara-negara belahan Barat yang masih dirasakan hingga saat ini dan diikuti dengan perlambatan pertumbuhan perekonomian Cina dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mencatatkan penurunan dalam tingkat ekspor maupun penurunan nilai produk-produk ekspor akibat menurunnya tingkat permintaan global. Bahkan perdagangan antara negara Selatan-Selatan yang biasanya menjadi penyangga bagi kawasan dalam mengkompensasi penurunan permintaan dari negara-negara maju ternyata belum mampu menyelamatkan, mengingat adanya kecenderungan “pendinginan” ekonomi di Brasil sebagai negara besar di kawasan Selatan maupun pada negara-negara berkembang lainnya yang juga sedang mengalami permasalahan perekonomiannya sendiri.

Penurunan pada tingkat keseimbangan neraca perdagangan di kawasan pada kelanjutannya berdampak pada melemahnya seluruh nilai tukar mata uang negara-negara anggota di kawasan terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Potensi tertekannya nilai tukar negara di kawasan ini akan berpotensi untuk terus terjadi dikarenakan adanya rencana The Fed untuk melakukan program pengurangan quantitative easing (tapering off) yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya dampak instabilitas pada kerapuhan sektor pasar uang maupun pasar saham di kawasan.

Pertumbuhan secara tipis yang terjadi di pasar saham ASEAN sebagaimana yang telah diulas sebelumnya ternyata tidak berbanding lurus dengan situasi yang tercatat pada pasar uang. Hal itu sebagaimana yang diwujudkan dalam pertumbuhan negatif seluruh nilai tukar mata uang negara anggota di kawasan sepanjang tahun 2013. Penurunan tersebut paling besar dialami oleh Indonesia “Rupiah” dengan depresiasi sebesar 26,92% dan Myanmar “Kyat” yang mengalami depresiasi sebesar 14,93% sebagai dua negara yang utama yang belum mampu mengendalikan penurunan nilai tukar mata uang di bawah 10%, layaknya yang dialami oleh negara-negara lainnya di kawasan selama tahun 2013.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.