Home » Id » Opini » Perekonomian Indonesia 2013: Menuju Tahun Politik

Perekonomian Indonesia 2013: Menuju Tahun Politik

A. Tony Prasetiantono[1]

 

Tahun 2013 merupakan tahun krusial secara ekonomi-politik, karena tahun depan akan menjadi tahun politik, di mana akan berlangsung pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden. Biasanya, tahun semacam itu sering disebut the year of living dangerously. Namun berani saya pastikan, tidak akan ada tahun kecemasan ekonomi dan politik, hanya karena ada pemilihan umum.

 

Berkaca pada tahun pemilihan umum terakhir, 2009, perekonomian Indonesia tumbuh 4,5%. Memang terjadi perlambatan, namun hal itu tidak disebabkan oleh peristiwa politik, tetapi karena memang terjadi krisis subprime mortgage secara global, yang berimbas terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan pada saat itu hampir semua negara emerging markets mengalami kontraksi, kecuali China, India, dan Indonesia.

 

Lalu bagaimana dengan tahun politik 2014? Apakah akan terjadi kecemasan yang mengganggu kinerja perekonomian Indonesia, ataukah malah terjadi stimulus karena ada belanja partai-partai politik dalam rangka kampanye?

 

Menurut saya, belanja partai-partai dalam pemilu tidaklah besar. Secara nominal, barangkali besar, namun tidak secara relatif terhadap perekonomian nasional. Saat ini Produk Domestik Bruto kita IDR 8.200 trilyun, dengan konsumsi rumah tangga (household consumption) hanpir Rp 5.000 trilyun. Jika ada partai-partai yang akan berkompetisi masing-masing memiliki belanja Rp 2 trilyun, maka jumlah belannja 10 partai hanya Rp 20 trilyun. Jumlah ini sangat tidak signifikan terhadap perekonomian makro.

 

Jadi, rasanya tidak bakal ada stimulus yang signifikan dari peristiwa politik pemilu terhadap perekonomian nasional. Sentimen politik justru terasa pada kebijakan fiskal. Ketika beban subsidi energi mulai berlebihan, pemerintah justru belum berani menaikkan harga BBM bersubsidi. Padahal, urgensinya sudah sedemikian tinggi.

 

Tekanan neraca perdagangan kita sudah benar-benar berat. Bayangkan, pada 2011 kita masih menuai surplus USD 26 milyar dalam setahun. Tapi pada 2012, angkanya terjun bebas menjadi defisit USD 1,3 milyar. Tren negatif ini masih berlanjut pada Januari 2013, ketika neraca perdagangan masih mengalami defisit USD 174 juta. Jika dibuat rata-rata setahun, defisit perdagangan tahun ini bakal berkisar USD 1,6 milyar hingga USD 2 milyar. Masalah yang dihadapi masih sama: (1) harga komoditas primer turun; (2) impor barang modal dan barang penolong (semi-finished goods) dan bahkan bahan baku mentah (raw materials) naik seiring dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga domestik; serta (3) impor minyak dan gas yang meningkat, karena lifting minyak turun dari 900.000 menjadi 830.000 barrel per hari.

 

Defisit perdagangan ini diperparah dengan defisit transaksi berjalan (balance of current account). Defisit pada 2012 mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar USD 28 milyar. Defisit ini secara tradisional disebabkan oleh lemahnya sektor jasa Indonesia dalam percaturan dunia. Sebagai contoh, transaksi perdagangan kita dengan luar negeri selalu dikapalkan dengan jasa pengapalan asing. Asuransi juga ditangani asing, sehingga kita harus membayar devisa dalam jumlah besar. Karena itu, inisiatif untuk mendorong transaksi perdagangan barang dari semula menggunakan sistem FOB (free on board), di mana kita tidak mengurusi pengapalan dan asuransi, menjadi CIF (cost of insurance and freight), akan membantu menekan defisit. Namun ini bukan hal yang mudah dan memerlukan banyak kesiapan untuk menjadikan sektor jasa logistik dan asuransi kita kompetitif dalam peta global.

 

Sementara itu, pencabutan peraturan pembayaran fiskal IDR 1 juta per orang bagi warganegara Indonesia yang bepergian ke luar negeri, saya duga juga ikut andil menambah defisit transaksi jasa kita. Semua itu berujung pada penurunan cadangan devisa. Jika pada pertengahan 2011 kita mencatat rekor cadangan devisa tertinggi USD 124,7 milyar, lalu turun menjadi USD 112 milyar pada akhir 2012, kini angkanya kembali tertekan ke USD 105 milyar, akibat tekanan hebat oleh defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Itulah sebabnya, belakangan ini rupiah terus tertekan ke level Rp 9.700 ke atas per USD. Level ini jelas jauh tercecer dibandingkan target Rp 9.300 per USD.

 

Sementara itu, inflasi kini berubah menjadi menjadi tambahan masalah. Hingga akhir 2012 inflasi memang sangat terkendali pada level 4,3%. Penyebabnya tidak didominasi oleh efektivitas kebijakan BI mengelola sektor moneter, namun lebih banyak disumbang oleh pengorbanan fiskal, yakni subsidi energi pada APBN 2012 yang mencapai IDR 300 trilyun. Angka ini sangat besar dan tentu saja mengecewakan, karena meliputi 20% dari volume anggaran IDR 1.500 trilyun.

 

Jika tidak dikendalikan melalui kenaikan harga BBM domestik, maka subsidi energi bakal mencapai minimal IDR 320 trilyun. Bahkan bisa jadi angkanya melonjak ke IDR 400 trilyun, karena murahnya harga BBM bersubsidi (IDR 4.500 per liter) sangat rawan tindakan moral hazard seperti mobil-mobil mewah yang “menyusu” BBM bersubsidi serta penyelundupan ke luar negeri. Misalokasi subsidi BBM ini mencemaskan. Karena itu, hampir semua ekonom merekomendasikan kenaikan harga BBM bersubsidi. Saya mendengar kabar bahwa Presiden Yudhoyono kini mulai membuka kemungkinan menaikkan harga BBM, karena APBN 2013 sudah pasti tidak kuat menanggung biaya subsidi energi yang terlalu besar, menuju IDR 400 trilyun.

 

Jika opsi kenaikan harga BBM bersubsidi yang dipilih, bagaimana dengan inflasi? Inflasi pada dua bulan pertama 2013 cukup mengejutkan dan berada di atas kebiasaan. Inflasi year on year pada akhir Februari 2013 mencapai 5,3%, yang berarti sudah di atas target pemerintah 4,9%. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi antara IDR 1.000 hingga IDR 1.500 per liter, maka inflasi bakal melesat di atas 6%. Kalau ini terjadi, maka suku bunga pasti akan naik. BI rate 5,75% pada bulan ini mungkin bisa menjadi yang terakhir, sebelum pelan-pelan naik ke 6%, 6,25%, atau bahkan 6,50%.

 

Meski terjadi kenaikan inflasi dan BI rate, namun sesungguhnya level tersebut bukanlah kondisi yang terburuk. Pada tahun 2009, saat perekonomian negara-negara emerging markets mengalami kontraksi, Indonesia bisa tumbuh positif 4,5%. BI rate saat itu 6,5%. Tahun 2013, kalaupun BI rate kembali ke 6,5 persen, kita masih bisa berharap dari pertumbuhan positif negara-negara lain, terutama AS dan China, yang bisa meningkatkan permintaan terhadap produk-produk ekspor kita. Berdasarkan kalkulasi ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa diharapkan antara 5-6%, kendati harga BBM dinaikkan dan BI rate naik ke 6,5%.

 

Mengenai rupiah yang terdepresiasi menjadi IDR 9.700 per USD, rasanya memang sudah menjadi kebutuhan. Meski tidak pernah diakui secara terbuka, perekonomian global sesungguhnya menghadapi potensi perang kurs (currency wars) yang sangat akut. Kini semua negara memerlukan kurs yang melemah untuk membantu memperbaiki perekonomian negara-negara masing-masing. Euro, dollar AS, yen, yuan, semuanya ingin melemah, agar bisa mendorong ekspor dan menekan impor. Karena itu, pelemahan rupiah menjadi IDR 9.700 per USD pada saat ini adalah sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Bagamana mungkin kita ingin rupiah menguat, jika perdagangan kita masih menderita defisit?

 

Akhirnya, secara realistis kita harus mau menerima kenyataan, bahwa sejumlah asumsi ekonomi makro harus direvisi. Beberapa rekomendasi dan asumsi baru adalah: (1) harga minyak bersubsidi dinaikkan menjadi IDR 6.000 per liter untuk menolong APBN dan menghindari moral hazard; (2) pertumbuhan ekonomi dikoreksi menjadi 6,3%; (3) inflasi naik menjadi antara 6 hingga 6,5%; (4) BI rate merayap ke arah 6,5%; (5) harga minyak ICP USD 110 per barrel. Sedangkan lifting minyak tidak mungkin dinaikkan secara mendadak. Perlu langkah sistematis untuk menaikkannya kembali menjadi 900.000 barrel sehari dalam beberapa tahun ke depan.

 

Tahun 2013 memang tidak mudah, lebih terjal daripada saat pemerintah menyusun asumsi pada Agustus 2012 silam. Namun dari sekian banyak hal kritis tersebut, yang paling krusial adalah menaikkan harga BBM bersubsidi. Ini tugas berat Presiden, namun ia harus melakukannya. Tekanan politik di pundak Presiden SBY hendaknya tidak terus menerus mengalahkan logika ekonomi. Ambang batas toleransi fiskal itu pada dasarnya sudah dilampaui.  



[1]  A. Tony Prasetiantono, Ph.D. adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kenbnijakan Publik UGM.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.