Home » Id » Opini » UMR: Naik Mau, Turun Tidak

UMR: Naik Mau, Turun Tidak

Hampir setiap tahun, demo buruh besar-besaran menjadi ritus berulang yang menghiasi jalanan di kota-kota besar. Aksi ini minimal terjadi setiap bulan Maret, di mana peringatan hari buruh dunia dirayakan. Agendanya pun nyaris hampir sama, tuntutan kenaikan upah minimum. Awal bulan September lalu, berbagai elemen serikat buruh kembali menggelar unjuk rasa di Jakarta. Agendanya dua, pertama menuntut menteri tenaga kerja dan transmigrasi untuk mencabut aturan bahwa dana pensiun dapat diambil setelah karyawan bekerja dengan jangka waktu tertentu. Agenda kedua, seperti lagu wajib, adalah tuntutan kepada presiden untuk menaikkan UMR DKI menjadi 3.7 juta.

Tuntutan buruh terkait UMR kemudian selalu menuai polemik. Pengusaha berargumen kenaikan upah buruh tidak kompatibel terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan serta mendorong tingkat pengangguran. Bagi buruh,yang diwakili oleh serikat pekerja, kenaikan biaya hidup terasa memberatkan jika tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang mereka terima.

Pemerintah sebagai wasit pengadil, dituntut arif dan cermat untuk mengambil keputusan seberapa sering buruh layak mendapatkan kenaikan upah dan berapa besaran yang pantas. Salah mengambil keputusan, investor akan hengkang ke negara dengan upah yang lebih rendah, karena investor selalu bertindak rasional. Jika investor hengkang, pertumbuhan ekonomi akan terganggu,tingkat pengangguran akan bertambah. Risiko lain tak kalah berat, kehilangan popularitas di mata buruh dan ancaman mogok kerja akan merugikan banyak pihak. Risiko ini nampaknya yang paling ditakuti para politisi, karena popularitas adalah modal utama bagi kelangsungan karier mereka.

Sebelum mengeluarkan fatwa apakah akan mengakomodasi tuntutan buruh atau sebaliknya, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa variabel penting sebelum mengambil keputusan. Pertama, apakah beleid kenaikan upah akan memicu kenaikan tingkat pengangguran. Kedua, jika upah harus naik, berapa batas toleransinya? Ketiga, apakah kenaikan upah tidak mendorong indikator ketenagakerjaan kita menjadi semakin buruk?

 

Respons Pemerintah

Indonesia sedang limbung di tengah pusaran resesi global dan juga tantangan ekonomi ke depan. Peningkatan daya saing saat ini dibutuhkan untuk kembali menaikkan pertumbuhan ekonomi. Kemudian, upah—merupakan harga dari faktor produksi manusia—dapat mencerminkan tingkat daya saing industri di dalam negeri sehingga menjadi pusat perhatian. Dalam ihwal pengupahan tersebut, pemerintah kembali membuat regulasi sebagai respons terhadap kondisi perburuhan dan ekonomi Indonesia saat ini.

Paket Kebijakan Ekonomi jilid IV diumumkan di kantor Presiden pada 15 Oktober 2015. Dalam paket tersebut, formula upah buruh tahun depan ditetapkan sebagai upah minimum sekarang ditambah persentase inflasi dan persentase pertumbuhan ekonomi. Menindaklanjuti kebijakan tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan pada tanggal 23 Oktober 2015. Sebagai kelanjutannya, Kementerian Ketenagakerjaan akan menerbitkan 8 Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang menjadi turunan dari PP tersebut. Kedelapan Permen tersebut adalah: 1) Tunjangan hari keagamaan tertentu dan tata cara pembayaran upah; 2) Uang service pada usaha tertentu; 3) struktur dan skala upah; 4) kebutuhan hidup layak; 5) formula penghitungan upah minimum; 6) UMP dan UMK; 7) Upah minimum sektoral; dan 8) Tata cara pemberian sanksi administratif kepada perusahaan pelanggar ketentuan mengenai upah. Keluarnya PP pengupahan ini yang diikuti dengan keluarnya delapan Permen Kemenakertrans akan menjadi salah satu terobosan terbesar dalam aturan ketenagakerjaan Indonesia. Reformasi regulasi di bidang ketenagakerjaan terbesar kedua yang diharapkan dapat dikeluarkan oleh pemerintah adalah revisi Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya yang menyangkut tentang aturan pesangon.

Dalam membuat regulasi tersebut, pemerintah berupaya untuk bertindak fair. Namun, buruh tetap menyatakan ketidakpuasan mereka. Para buruh merasa aspirasi mereka tidak terpenuhi dan justru merugikan. Tuntutan buruh yang disalurkan melalui aksi unjuk rasa tidak sepenuhnya salah. Pemerintah juga memerlukan masukan. Tetapi perlu diingat, demo buruh sangat rawan ditumpangi kepentingan insider yang hanya menguntungkan pihak buruh saja.

 

Survei Membuktikan

Ihwal apakah kenaikan UMR memicu kenaikan angka pengangguran, survei membuktikan bahwa memang kenaikan upah minimum berpengaruh terhadap peningkatan angka pengangguran (Pratomo, 2010). Hasil yang hampir serupa ditemukan oleh SMERU dan Direktorat Ketenagakerjaan Bapenas yang menemukan kenaikan upah minimum mempunyai hubungan negatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan, di mana setiap 10 persen kenaikan upah minimum berdampak pada pengurangan kesempatan kerja 1,1 persen. Kedua, hanya 40 persen unit usaha di Indonesia yang membayar upah sesuai ketentuan upah minimum. Mari kita bandingkan dengan data riil di lapangan. Pada tahun 2001 ke 2002, Pemprov DKI menaikkan UMR dari semula Rp. 286.100 menjadi Rp. 362.700, atau naik sebesar 26.8 persen. Imbasnya, pada tahun 2002 ke tahun 2003 terjadi kenaikan persentase jumlah tingkat pengangguran terbuka dari 14.39 persen menjadi 14.86 persen dari total angkatan kerjanya. Namun fakta ini bisa didebat begini; meningkatnya angka pengangguran pada kasus DKI adalah karena dampak krisis tahun 2008/2009 yang belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, ada baiknya premis tersebut diuji lebih lanjut. Tahun 2013 Menakertras mengeluarkan Permen Kemenakertrans no. 7 tahun 2013 yang salah satu isinya mengharuskan pengusaha untuk menaikkan upah minimum regional. Imbasnya, kebijakan ini berdampak pada kenaikan angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7.39 juta jiwa dari sebelumnya 7.24 juta jiwa. Padahal angka pengangguran tahun sebelumnya mengalami penurunan dari sebelumnya 7.61 juta pada tahun 2011 menjadi 7.24 juta jiwa.

Dampak kenaikan upah minimum terhadap peningkatan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia sebenarnya bisa jadi lebih buruk jika tingkat compliance pengusaha terhadap ketentuan upah minimum tinggi. Pratomo (2010) menemukan bahwa masih terdapat sekitar 18 persen buruh di daerah perkotaan digaji di bawah UMR. Sementara di daerah nonkota, sekitar 29 persen buruh digaji di bawah UMR. Sementara, temuan SMERU di atas menunjukkan angka yang lebih parah lagi, yakni hanya 40 persen.

Jika kenaikan upah minimum lazimnya dibarengi dengan kenaikan angka pengangguran, apa solusinya? Meningkatnya angka pengangguran adalah konsekuensi logis atas kenaikan UMR dimana layoff dan juga sulitnya angkatan kerja baru untuk menembus pasar tenaga kerja menjadi musababnya. Kelompok ini biasanya mencari pekerjaan pada sektor informal atau menjadi TKI sebagai alternatif mata pencaharian. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mendorong sektor-sektor industri yang mampu menampung angkatan kerja yang tidak mampu menembus pasar tenaga kerja formal tersebut. Industri pariwisata dan ekonomi kreatif harus didorong dan difasilitasi untuk tumbuh, karena sektor inilah salah satu sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja informal. Selain itu, karena banyaknya jumlah angkatan kerja di Indonesia yang memilih menjadi TKI, perlu pembenahan kualitas SDM, peningkatan pelayanan, memangkas biaya dan prosedur penempatan TKI yang akan ditempatkan keluar negeri. Sehingga, akan mendorong tingkat permintaan tenaga kerja dari luar negeri meningkat. Program advokasi dan mitigasi juga tidak kalah penting sebagai jaminan rasa aman bagi TKI yang sudah maupun akan berangkat maupun bagi para calon pemberi kerja.

 

Berapa Kenaikan Upah Minimum yang Ideal?

Paul Krugman, dalam salah satu artikelnya di majalah New York Times menyarankan agar kenaikan upah minimum besarannya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Karena kebijakan kenaikan upah minimum tidak dilakukan setiap tahun, maka akumulasi kenaikan laju inflasi harus diperhitungkan. Selain itu, kebijakan kenaikan upah minimum menurutnya bagus sebagai bentuk tukar guling atas keuntungan pengusaha yang setiap tahun memperoleh potongan biaya dari pemerintah atas earned-income tax–nya gaji karyawan. Langkah pemerintah dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi jilid IV sudah ke arah yang tepat. Fokus selanjutnya adalah bagaimana menegakkan regulasi yang telah dibuat tersebut. Pada dasarnya, pihak swasta sangat bergantung pada ekspektasi perekonomian yang terukur dan pasti terkait dengan rezim regulasi yang berlaku. Regulasi yang baik dengan sendirinya akan menciptakan iklim usaha yang baik.

Di sisi lain, sikap buruh juga perlu diperhatikan. Tuntutan buruh yang tidak proporsional dengan produktivitas akan merugikan buruh sendiri. Kontinuitas dari perusahaan di mana buruh bekerja menjadi faktor penting untuk kesejahteraan mereka sendiri. Hal tersebut yang seharusnya menjadi perhatian dari organisasi-organisasi buruh. Jika profitabilitas perusahaan tidak baik, sedangkan upah dipaksakan naik tinggi, maka buruh sendiri yang terkena imbasnya berupa PHK.

Hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah Indonesia akan mengalami “bonus demografi”—surplus angkatan kerja produktif (usia 16 – 65 tahun) yang persentasenya jauh melebihi usia nonproduktif (kurang dari 16 atau lebih dari 65 tahun)—yang dimulai mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2030. Bonus demografi hanya akan menjadi bumerang bagi pemerintah jika tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang memadai dan hanya akan memicu terjadinya social unrest. Bagi buruh pun dapat merugikan karena lapangan kerja akan semakin kompetitif dan terbatas, sementara produktivitas dan profitabilitas perusahaan swasta akan tidak menentu jika mendapat tuntutan kenaikan upah tinggi terus-menerus. Merujuk pada PP No. 78/2015, tingkatan upah bagi buruh lajang sudah sangat tinggi. Selain itu, profil angkatan kerja kita masih didominasi tenaga lulusan SMP ke bawah. Data yang dirilis oleh BPS pada tahun 2014 menunjukkan, dari total 121.872 juta angkatan kerja kita, hanya sekitar 15 juta yang menamatkan jenjang pendidikan SMA dan sederajat dan hanya 8,76 juta yang menamatkan perguruan tinggi.

 

Referensi

Allegretto, Sylvia A., Dube, Arindrajit., and Reich, Michael., (2011). “Do Minimum Wages Really Reduce Teen Employment? Accounting for Heterogeneity and Selectivity in State Panel Data.” Industrial Relations, vol. 50, no. 2, pp. 205-240.

Neumark, David and William Wascher (2000). “Minimum Wages and Employment: A Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania: Comment.” American Economic Review, vol. 90, no. 5, pp. 1362-1396.

Pratomo, Devanto Shasta (2010), The effects of Changes in Minimum Wage on Employment in Covered and Uncovered Sectors in Indonesia, Journal of Indonesian Economy and Business, Vol. 25, no. 3, pp. 278 -292.

Schmitt, John (2013), Why Does the Minimum Wage Have No Discernible Effect on Employment?, Center for Economic and Policy Research.

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F15080/Upah%20Minimum%20Regional%20dan%20Kesempatan%20Kerja.htm


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.