Potret Kondisi Human Capital di Indonesia : Permasalahan dan Tantangan
Peter F. Drucker dalam bukunya Post Capitalist Society (1993), mengungkapkan bahwa dunia akan mengalami transformasi yang dramatis pada berbagai aspek kehidupan, ekonomi, politik, sosial, organisasi, dan moral landscape. Pada sektor sosial politik, terjadi pergeseran paradigma dari semula nation state menjadi megastate. Sebuah negara tidak bisa lagi secara dominan memaksakan hegemoninya pada sebuah kawasan akan tetapi cenderung untuk membentuk kerjasama blok-blok ekonomi dan politik. Terbentuknya Uni Eropa, G20, dan yang paling mutakhir adalah MEA merupakan contoh nyata terkait hal ini. Pada sektor sosial misalnya, terjadi pergeseran pola interaksi masyarakat yang semula dibatasi oleh adat istiadat, budaya, dan selera lokal, kini dengan berkembangnya teknologi IT dan berbagai aplikasi telepon pintar, masyarakat dunia semakin homogen dan sekat-sekat budaya dan selera lokal menjadi semakin luntur menjadi selera global. Dulu sulit dibayangkan bahwa gaya potongan rambut David Beckham dapat ditiru secara massif oleh para siswa sekolah di daerah terpencil dibawah lereng gunung Sumbing. Akan tetapi dengan transformasi ICT yang diciptakan oleh penemu friendsters, facebook, whatsap, dan sebagainya, tren gaya rambut dapat mewabah ke seluruh dunia dalam hitungan detik.
“Nawa Cita” Tak Bisa Dicapai dengan Tergopoh-Gopoh
Tahun 2015 sudah kita lewati dengan perjuangan berat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,7 persen, laju inflasi 3,35 persen. Tahun 2015 bisa saya sebut “aneh” dan sulit diprediksi. Banyak hal yang terjadi secara tak terduga, penuh ketidakpastian, bahkan menyerupai “misteri”. Bayangkan, dalam setahun penuh kita harus menunggu dan menebak, apakah suku AS (Federal Funds Rate, atau FFR) jadi dinaikkan?
Secara substansial, FFR memang harus naik, karena The Fed menginginkan normalisasi keadaan. Di awal krisis subprime mortgage tahun 2008-2009, suku bunga rendah diperlukan untuk menstimulasi perekonomian dari sisi moneter. Sedangkan dari sisi fiskal yang diperlukan adalah stimulus anggaran, sehingga defisit APBN AS pernah mencapai 9 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
The Federal Funds Rate, BI, dan Siklus Bisnis*
“Mengatur suku bunga itu bagai menginjak pedal gas mobil.”
Mengapa suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) masih tetap 7.5 persen, sejak Februari 2015, sementara pemerintah dan pelaku bisnis telah lama menantikan BI Rate turun? Inilah pertanyaan yang beberapa waktu belakangan ini beredar-edar dalam pertemuan-pertemuan di kalangan para pengusaha, perbankan, lembaga keuangan, pemerintah, maupun akademisi.
Secara intuitif, jawaban dari pertanyaan itu saya nilai adalah karena saat ini, magnet terkuat perekonomian dunia masih berpusat di FOMC (Federal Open Market Committee). FOMC ini adalah sebuah sistem pusat di dalam institusi badan kebijakan moneter the Federal Reserve System (The Fed) di Amerika. Adalah Janet L. Yellen, gubernur bank sentral Amerika (chair of the Board of Governors pada Federal Reserve System) yang menjadi pusat magnetnya. Dr. Yellen menjabat gubernur bank sentral Amerika sejak 3 Februari 2014, dan sekaligus juga menjadi chair pada FOMC. Dr. Yellen beberapa bulan terakhir ini telah menyatakan bahwa policy normalization akan terus diimplementasikan oleh The Fed, sejurus dengan membaiknya perekonomian Amerika.