1. Fiscal space meningkat seiring turunnya subsidi BBM
Subsidi energi pada tahun 2015 mengalami penurunan. Subsidi energi pada APBN tahun 2015 sebesar IDR 344,7 triliun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan subsidi energi dalam usulan RAPBN 2015 awal sebesar IDR 363,5 triliun. Penurunan subsidi energi terjadi karena adanya penurunan subsidi BBM sebesar IDR 276 triliun atau turun IDR 15 triliun dari yang direncanakan pada RAPBN 2015 sebesar IDR 291 triliun. Realisasi subsidi BBM tahun ini hingga akhir Oktober 2014, penyaluran BBM subsidi telah mencapai 39,07 juta kl atau 86,1% dari kuota. Oleh karena itu pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di tahun ini, diharapkan memberikan tambahan alokasi anggaran untuk belanja produktif untuk tahun depan. Anggaran tersebut nantinya dapat dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Konsekuensi dari penurunan subsidi BBM adalah penetapan harga baru bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang lebih tinggi. Terhitung 18 November 2014 pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada solar dan premium masing-masing naik sebesar IDR 2000. Dalam APBN-P 2014 telah disepakati besaran subsidi BBM yang besar hingga mencapai IDR 284,7 triliun namun bila dibandingkan dengan subsidi BBM 2015 sudah relatif lebih rendah yaitu sebesar IDR 276 triliun. Pengurangan subsidi yang dilakukan nantinya akan dialihkan pada sektor yang lebih produktif seperti pertanian dan infrastruktur. Namun angka besaran subsidi yang dialihkan ke sektor tersebut belum ada nominal yang jelas dan masih dibicarakan oleh pemerintah.
Gambar 4: Perkembangan Subsidi Energi 2011-2015 (IDR Triliun)
Subsidi energi mengalami penurunan pada APBN 2015
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
Proporsi penyerapan APBN-P per September kuartal III-2014 tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan APBN-P per September kuartal III-2013. Pada kuartal III September 2014, belanja negara sudah mencapai 65,8% bila dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun sebelumnya hanya mencapai 65,4%. Secara nominal, realisasi belanja di tahun 2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini dikarenakan persentase realisasi belanja pemerintah pusat pada tahun ini lebih tinggi 3,6%, meskipun realisasi transfer daerah lebih rendah 0,5% dibandingkan persentase realisasi tahun lalu.
Selain itu, pencapaian realisasi penerimaan APBN-P per September kuartal III-2014 juga lebih tinggi dibandingkan dengan APBN-P per September kuartal III-2013. Realisasi penerimaan negara dan hibah hinggal kuartal III-2014 mencapai 66,1% dari total target penerimaan negara dalam APBN-P 2014. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan negara dan hibah dalam APBN-P 2013 yang hanya mencapai 63,3% dari pagu APBN-P 2013. Peningkatan ini disebabkan karena persentase realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lebih tinggi 4,9% meskipun realisasi penerimaan perpajakan lebih rendah 0,7% dibandingkan persentase realisasi tahun lalu.
Realisasi penerimaan perpajakan hingga November 2014 masih rendah, tercatat sebesar 75,73% dari target penerimaan pajak. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak – Kementrian Keuangan, realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga 14 November 2014 hanya mencapai IDR 812 triliun, atau sekitar 75,73% dari target APBN-P 2014 sebesar IDR 1072,4 triliun. Sehingga penerimaan perpajakan masih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 tercatat sebesar IDR 795,5 triliun atau sekitar 80%. Secara terperinci, penerimaan pajak ini berasal dari PPh Non Migas sebesar IDR 389,16 meningkat dari periode sebelumnya IDR 359,11 triliun; PPN dan PPnBM dari IDR 309,29 triliun meningkat menjadi IDR 328,49 triliun. Selanjutnya dari PPh migas tercatat IDR 74,50 triliun meningkat dari periode sebelumnya IDR 71,69; Pajak lainnya juga mengalami kenaikan dari Rp4,28 triliun menjadi IDR 5,05 triliun dan PBB mengalami penurunan menjadi IDR 14,91 triliun dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya IDR 17,36 triliun. Melihat kondisi ini, pemenuhan target penerimaan pajak APBN-P 2014 masih sulit tercapai.
Tabel 3: Realisasi Belanja APBN-P 2014 September 2013:Q3 – September 2014:Q3
Proporsi realisasi belanja dan pencapaian penerimaan APBN-P 2014:Q3 meningkat
Sumber: Kementerian Keuangan, I-account (2014, diolah)
Saat ini APBN 2015 telah disahkan dan sejumlah asumsi makro mengalami perubahan. Beberapa asumsi indikator makroekonomi dalam APBN 2015 yang mengalami perubahan dibandingkan RAPBN 2015 adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari 5,6% menjadi 5,8%, tingkat bunga SPN 3 bulan menurun dari 6,2% menjadi 6,0% dan lifting minyak bumi mengalami kenaikan dari 845 ribu barel per hari menjadi 900 ribu barel per hari.
Tabel 4: Perbandingan Asumsi Makro dalam APBN-P 2014, RAPBN 2015 dan APBN 2015
Penyesuaian asumsi makro setelah disahkannya APBN 2015
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
Pendapatan negara dan belanja pemerintah dalam APBN 2015 naik dari target RAPBN 2015. Pendapatan negara dalam APBN 2015 disepakati sebesar IDR 1.762,3 triliun, naik IDR 31,3 triliun dari RAPBN 2015. Pendapatan negara tersebut sebagian besar berasal dari pendapatan dalam negeri sebesar IDR 1.790,3 triliun, terdiri dari perpajakan IDR 1.380 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) IDR 410,3 triliun dan Hibah IDR 3,3 triliun. Sementara itu, belanja negara dalam APBN 2015 juga mengalami kenaikan menjadi Rp2.039,5 triliun. Target tersebut meningkat sebesar IDR 19,6 triliun dari RAPBN 2015. Kenaikan belanja terjadi karena dalam APBN 2015 terdapat kenaikan belanja kementrian dan lembaga (K/L) menjadi IDR 647,3 triliun, meningkat sebesar IDR 46,7 triliun dibandingkan asumsi RAPBN 2015. Adapun rincian belanja negara yang lain diantaranya non kementerian/lembaga IDR 745,1 triliun dan transfer ke daerah IDR 647,0 triliun.
Tabel 5: Defisit Anggaran dalam APBN-P 2014, RAPBN 2015 dan APBN 2015 (IDR Triliun)
Revisi target defisit anggaran RAPBN 2015 turun 2,21%
Sumber: Kementerian Keuangan (2014)
Sementara itu, dalam APBN 2015 defisit anggaran disepakati turun menjadi 2,21% dari PDB. Pemerintah dan Badan anggaran DPR telah menyepakati besaran defisit dalam APBN 2015 diturunkan menjadi IDR 245,9 triliun dari usulan dalam RAPBN 2015 sebesar IDR 257,4 triliun (2,32% dari PDB). Penurunan defisit anggaran terjadi dikarenakan pembiayaan anggaran dalam negeri turun dari IDR 281,4 triliun menjadi IDR 269,7 triliun. Adanya penurunan defisit anggaran ini dapat mengurangi rencana penambahan utang yang signifikan dan membantu mengatasi kebijakan tingkat suku bunga di perekonomian secara global terhadap sumber pembiayaan pemerintah.
Masyarakat dan market player sedang menunggu rancangan dan implementasi dari visi misi Presiden Joko Widodo. Khususnya bagi para pemegang kepentingan untuk melihat kondisi Indonesia di masa mendatang dan melihat kesesuain visi misi melalui program rencana kerja pemerintah yang sudah direncanakan. Berbagai kebijakan Presiden Joko Widodo telah dilakukan setelah beliau dilantik tanggal 20 Oktober 2014 seperti diantaranya menaikan harga BBM. Sehingga perlu adanya penyesuaian pada rencana anggaran untuk APBN-P 2015 mendatang. Selain itu rancangan dan implementasi visi dan misi tersebut juga akan dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2014-2019. Namun hingga saat ini RPJMN 2014-2019 masih dalam pembahasan. Sejauh ini pembahasan RPJMN tersebut telah masuk dalam tahapan Musrembang Regional setelah itu penyusunan dan selanjutnya akan dibawa ke tingkat Musrembang Nasional untuk kemudian dipaparkan pada sidang kabinet pada akhir tahun. Sehingga RPJMN 2014-2019 dan APBN-2015 diharapkan sudah bisa ditetapkan pada awal Januari mendatang.
2. Kemampuan membayar pinjaman membaik
Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 292 miliar pada September 2014. Nilai tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,01% dibandingkan Juli 2014 dan sebesar 0,56% dibandingkan Agustus 2014. Sementara secara year-on-year, utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan sebesar 11,19%. Peningkatan utang luar negeri Indonesia disebabkan oleh adanya peningkatan utang luar negeri swasta yang mencapai USD 159 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 0,79% dibandingkan Juli 2014 dan 1,86% dibandingkan Agustus 2014. Peningkatan utang luar negeri oleh swasta dikarenakan masih sulit dan mahalnya sumber pembiayaan dari dalam negeri. Peningkatan utang luar negeri swasta tersebut hendaknya perlu mendapat perhatian khusus oleh pemerintah baru mengingat saat ini nilai tukar rupiah atas US dolar cenderung terdepresiasi. Hal yang berbeda justru terjadi pada utang luar negeri pemerintah dan bank sentral di mana terjadi penurunan sebesar 0,94% dibandingkan dengan Bulan September 2014 meski secara year-on-year terjadi peningkatan sebesar 7,89%.
Gambar 10: Utang Luar Negeri Indonesia, September 2011-September 2014 (USD Miliar)
Total utang luar negeri Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya utang luar negeri swasta, meski utang luar negeri pemerintah dan bank sentral mengalami penurunan
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Utang luar negeri jangka panjang masih menjadi favorit. Utang luar negeri jangka panjang pemerintah dan bank sentral pada September 2014 mencapai USD 120 miliar. Jumlah tersebutt menurun sebesar 0,1% dibandingkan Agustus 2014 meski secara year-on-year mengalami peningkatan sebesar 12%, sedangkan utang luar negeri jangka panjang swasta mengalami pertumbuhan sebesar 2,83% dibandingkan secara month-to-month dan sebesar 17,65% secara year-on-year. Sementara itu, utang luar negeri jangka pendek masih didominasi oleh swasta yang mencapai USD 45 miliar pada September 2014 meskipun jumlah tersebut lebih rendah sebesar 0,49% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sedangkan utang luar negeri jangka pendek pemerintah dan bank sentral mencapai USD 11,95 miliar atau turun sebesar 8,69% (m-t-m) dan 23,38% (y-o-y).
Gambar 11: Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Jangka Waktu (Remaining Maturity), Oktober 2011-Oktober 2014 (USD Miliar)
Utang luar negeri jangka pendek masih didominasi oleh swasta sedangkan utang luar negeri jangka panjang didominasi oleh pemerintah dan bank sentral
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)
Daya tarik Indonesia terhadap investor asing masih kuat. Hal tersebut terlihat dari kepemilikan asing atas obligasi negara pada Bulan September 2014 yang mencapai IDR 447 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 3,03% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan sebesar 52,09% secara year-on-year. Peningkatan kepemilikan asing atas obligasi negara diindikasikan karena besarnya tingkat bagi hasil dari obligasi tersebut sehingga menarik investor asing untuk memiliki obligasi tersebut. Tingginya tingkat bagi hasil juga disebabkan oleh meningkatnya inflasi sebagai akibat gejolak politik dan isu kenaikan harga BBM. Selain itu, kepemilikan asing atas ekuitas juga mengalami peningkatan hingga mencapai IDR 1.846 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 1,17% secara month-to-month dan sebesar 20% dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2013. Hal yang berbeda terjadi pada kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia yang terus mengalami penurunan terutama pada Bulan April 2014 hingga September 2014. Pada Bulan September 2014, kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia hanya sebesar IDR 1 triliun atau mengalami penurunan sebesar 75,64% secara month-to-month dan 70,21% secara year-on-year. Kondisi tersebut menjadi fenomena yang cukup menarik mengingat nilai tukar rupiah terus melemah namun kepemilikan asing atas Sertifikat Bank Indonesia justru mengalami penurunan.
Gambar 12: Kepemilikan Asing atas Surat Berharga di Indonesia, September 2011-September 2014 (IDR Triliun)
Kepemilikan asing atas obligasi pemerintah dan ekuitas terus mengalami peningkatan meskipun kepemilikan atas Sertifikat Bank Indonesia terus menurun
Sumber: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan CEIC (2014)
Surat berharga negara outstanding mencapai IDR 1.928 triliun pada September 2014. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,5% dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan sebesar 19,09% dibandingkan bulan September tahun 2013. Peningkatan tersebut disebabkan karena peningkatan surat berharga negara outstanding (tradable) yang mengalami peningkatan sebesar 0,73% secara month-to-month dan sebesar 23% secara year-on-year. Hal yang berbeda terjadi pada surat berharga negara outstanding (nontradable) di bulan September 2014 yang mengalami penurunan sebesar 0,91% (m-t-m) dan 0,62% (y-o-y).
Gambar 13: Komposisi Surat Berharga Indonesia, Oktober 2011-Oktober 2014 (IDR Triliun)
Surat Berharga Negara Outstanding mengalami peningkatan
Sumber: DJPU Kementerian Keuangan dan CEIC (2014)
Kemampuan Indonesia untuk membayar utang menguat. Tingkat debt service ratio pada kuartal III-2014 sebesar 43,44% atau mengalami penurunan sebesar 9,27% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Keadaan tersebut tentu menjadi salah satu indikator membaiknya perekonomian Indonesia meskipun rasio utang luar negeri terhadap ekspor dan PDB masih relatif tinggi hingga mencapai 135,98% dan 34,68%.
Gambar 14: Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia, September 2011-September 2014 (%)
Debt service ratio Indonesia mengalami penurunan meskipun rasio utang luar negeri terhadap ekspor dan PDB meningkat
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Fiscal space meningkat seiring turunnya subsidi BBM