Home » Tak Berkategori » Perkembangan Pasar Finansial dan Sektor Moneter 2015:II

Perkembangan Pasar Finansial dan Sektor Moneter 2015:II

1. Likuiditas Perbankan Membaik Namun Kurs Terus Melemah
Gambar 1: Suku Bunga Deposito, LPS, dan BI Rate, Juni 2010 – Juni 2015
BI Rate dan Suku bunga LPS tetap, suku bunga deposito menurun
g8
Sumber: Bank Indonesia, LPS, dan CEIC (2015)

 

Perkembangan terkini, BI Rate tetap dipertahankan pada Juni 2015 sebesar 7,5 persen—sama dengan Februari 2015. Bank Indonesia masih menggunakan argumen yang sama dalam mempertahankan BI Rate pada Juni 2015. Transaksi berjalan yang membaik pada kuartal I-2015, melemahnya pertumbuhan ekonomi, dan turunnya harga minyak dunia belum menjadi alasan menurunkan BI Rate, karena risiko eksternal akibat kenaikan Federal Funds Rate (FFR) masih mengancam.

Di sisi lain, perkembangan terkini suku bunga deposito melanjutan penurunan. Pada Mei 2015, rata-rata tertimbang suku bunga deposito berjangka satu bulan tercatat di level 7,85 persen, lebih rendah 46 bps dari akhir Maret 2015. Penurunan tersebut disebabkan oleh membaiknya likuiditas perbankan karena permintaan rupiah melonggar meski pertumbuhan DPK melambat menjadi 12,45 persen y-o-y, dibandingkan Maret 2015 yang tumbuh 16,04 persen y-o-y. Namun, angka tersebut tetap lebih tinggi dari suku bunga LPS yang masih tetap di level 7,75 persen. LPS menilai belum adanya perubahan yang signifikan perkembangan simpanan pada Mei 2015 dan berlaku hingga September 2015.

Sementara itu, suku bunga kredit tidak banyak berubah. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit berada di level 12,96 persen pada Mei 2015, turun tipis 3 bps dari Maret 2015. Meski mengikuti suku bunga deposito, suku bunga kredit tidak turun banyak karena tertahan dengan keadaan ekonomi Indonesia dan global yang melesu sehingga meningkatkan faktor risiko kredit macet. Selain itu, melesunya ekonomi juga menyebabkan penyaluran kredit total turut melambat dari tumbuh 11,1 persen y-o-y pada Maret 2015 menjadi 10,4 persen pada Mei 2015 karena kredit investasi dan konsumsi yang menurun. Kredit investasi tumbuh 11 persen sedangkan kredit konsumsi tumbuh 9,71 persen, lebih rendah relatif terhadap Maret 2015 yang masing-masing tercatat 13,5 persen dan 11,6 persen y-o-y. Meski begitu, pertumbuhan kredit modal kerja pada Mei 2015, yang tumbuh 10,44 persen, lebih tinggi dibandingkan Maret 2015, yang sebesar 9,9 persen y-o-y, sedikit menopang pertumbuhan kredit total. Secara khusus, sektor UMKM mendapat imbas terbesar dari pelemahan ekonomi. Pertumbuhan kredit UMKM kembali melambat tajam, dari 10,5 persen pada Maret 2015 menjadi 9,3 persen pada Mei 2015.

 

Gambar 2: Suku Bunga PUAB Denominasi Rupiah, Juni 2010 – Juni 2015
Selaras dengan JIBOR, suku bunga PUAB menurun pada Juni 2015
d9
Sumber: Bank Indoensia dan CEIC (2015)

 

Di pasar uang, tingkat suku bunga Pasar Uang antar Bank (PUAB) menurun. Pada Juni 2015, rata-rata suku bunga PUAB overnight berada di level 5,67 persen, lebih rendah 77 bps dari Maret 2015. Kondisi ini memperlihatkan likuiditas perbankan yang membaik. Meski begitu, spread antara PUAB overnight dan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) overnight yang sebesar 3 bps pada Juni 2015 lebih tinggi dari spread pada Maret 2015 yang sebesar (-42) bps. Pada Mei 2015, suku bunga PUAB tercatat menurun. Tingkat suku bunga PUAB overnight tercatat 5,6%, lebih rendah 84 bps dari Maret 2015. Angka tersebut sedikit lebih rendah dari JIBOR overnight yang tercatat sebesar 5,63%. Sedangkan JIBOR overnight pada Mei 2015 tersebut tercatat lebih rendah 124 bps dibandingkan Maret 2015.

 

Gambar 3: Overnight Indexed Swap, Juni 2010 – Juni 2015
OIS menurun, spread JIBOR-OIS menaik pada Juni 2015
g10
Catatan: data OIS diambil dari rerata 8 bank devisa yang meyediakan layanan OIS
Sumber: Bloomberg (2015, diolah)

 

Spread antara suku bunga JIBOR dan Overnight Indexed Swap (OIS) meningkat pada Juni relatif terhadap Maret 2015. Spread JIBOR-OIS tercatat 1,05 poin pada Juni 2015, lebih tinggi 143 bps dari Maret yang sebesar (-0,38) poin. Sedangkan jika dibandingkan dengan Desember 2014, spread JIBOR-OIS lebih tinggi 25 bps. Sementara itu, spread JIBOR-OIS pada Maret 2015 merupakan angka terendah sejak diperkenalkannya JIBOR pada awal tahun 2008 oleh Bank Indonesia. Persepsi perbankan terhadap risiko likuiditas dan kredit jangka pendek semakin meningkat di masa depan. Hal ini dapat mengindikasikan, meski belum serius, bertambahnya tekanan di pasar uang. Semakin lebar jarak spread-nya, maka semakin besar indikasi permasalahan di pasar uang, yang artinya permasalahan likuiditas perbankan. Sebagai catatan, pada Juni 2015 rata-rata suku bunga OIS tercatat 5,64 persen, lebih rendah 132 bps dari Maret 2015, sedangkan JIBOR berjangka 1 bulan tercatat 6,68 persen, lebih tinggi 11 bps dari Maret 2015.

 

Gambar 4: Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika, Juni 2010 – Juni 2015
Masih terdepresiasi, rupiah tercatat IDR 13.332 per USD pada Juni 2015
g11
Catatan: * = mulai Mei 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015, diolah)

Gambar 5: Kurs NDF Rupiah terhadap Dolar Amerika, Juni 2010 – Juni 2015
Kurs NDF Rupiah pun terdepresiasi pada 2015
g12
Sumber: Bloomberg (2015)

 

Kurs rupiah masih dalam tekanan. Pada akhir Juni 2015, kurs rupiah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) ada di level IDR 13.332 per USD, melemah 1,9 persen relatif terhadap akhir Maret 2015. Tekanan masih berlanjut dan bahkan lebih hebat dari apa yang terjadi selama Desember 2014. Kurs rupiah semakin melemah karena telah terdepresiasi 7,17 persen y-t-d. Sedangkan di pasar forward, kurs NDF rupiah berjangka satu bulan berada di level IDR 13.434 per USD, melemah 1,7 persen relatif terhadap akhir Maret 2015 atau melemah 7,62 persen relatif terhadap akhir Desember 2014. Meski begitu, spread antara spot rate dengan NDF rate pada Juni 2015 yang sebesar 102 poin semakin mengecil dibandingkan spread pada Maret 2015 yang sebesar 124 poin.

Pelemahan rupiah yang drastis terjadi sejak akhir Februari 2015. Hal tersebut menjadi salah satu dampak kebijakan penurunan BI Rate pada 17 Februari yang lalu. Bank Indonesia dianggap tidak lagi konservatif menjaga keseimbangan eksternal, tetapi cenderung mendukung langkah pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut kurang sesuai jika melihat kondisi perekonomian domestik yang menurun, inflasi yang tinggi, dan disertai belum adanya kepastian terkait ekonomi global. Selain itu, penantian kepastian kenaikan FFR dan perlambatan ekonomi Tiongkok turut membuat rupiah semakin tertekan.

 

Gambar 6: Real Effective Exchange Rate, Juni 2010 – Juni 2015
Kurs rupiah tercatat overvalued 3,08 persen pada Juni 2015
g13
Catatan: Semakin besar nilai indeks sama dengan apresiasi
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015, diolah)

 

Pada edisi kali ini, tim Macroeconomic Dashboard memperkenalkan Real Effective Exchange Rate (REER) sebagai indikator baru dalam rubrik ini. Berbeda dengan Real Exchange Rate (RER) yang melihat kurs riil secara bilateral, REER merupakan sebuah indeks untuk mengukur nilai rata-rata dari suatu mata uang relatif terhadap semua mata uang negara partner dagang dengan membobotnya sesuai proporsi masing-masing. Dengan REER ini, nilai kurs dapat diketahui apakah mengalami kelebihan taksiran nilai (overvalued) atau sebaliknya. Perhitungan nilai tersebut didapatkan dari persentase jarak nilai indeks dan rata-rata indeks jangka panjang terhadap rata-rata indeks jangka panjangnya. Semakin besar nilai indeks menandakan semakin kuat nilai satu mata uang. Pentingnya untuk mengetahui REER adalah dapat digunakan sebagai pertimbangan kebijakan untuk langkah antisipasi kemungkinan adanya penyesuaian nilai terhadap kurs di masa yang akan datang.

Pada akhir Juni 2015, REER tercatat undervalued sebesar 3,08 persen. Artinya kurs rupiah lebih lemah dari nilai normalnya relatif terhadap semua mata uang negara partner dagang sebesar 3,08 persen. Dengan begitu, nilai rupiah terhadap dolar AS yang tercatat sebesar IDR 13.332 per USD seharusnya memiliki nilai wajar IDR 13.742 per USD. Tetapi, jika dilihat secara bilateral menggunakan RER, nilai kurs rupiah mengalami undervalued terhadap dolar AS. Pada akhir Juni 2015, kurs rupiah telah terdepresiasi 6,2 persen dari nilai wajarnya. Nilai wajar rupiah relatif terhadap dolar AS adalah sebesar IDR 12,505 per USD. Penialaian kurs melalui nilai nominal dapat menjadi misleading sehingga akan menyebabkan misjudgment pelaku pasar. Akibatnya spekulasi nilai tukar sulit dihindari.

 

Gambar 7: Cadangan Devisa, Juni 2010 – Juni 2015
Intervensi kurs oleh Bank Indonesia menekan cadangan devisa ke level USD 108,03 miliar
g14
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2015, diolah)

 

Cadangan devisa kembali menurun. Pada penutupan Juni 2015, posisi cadangan devisa tercatat sebesar USD 108,03 miliar. Posisi tersebut sudah berkurang USD 3,52 miliar jika dibandingkan dengan Maret 2015 atau USD 3,83 miliar jika dibandingkan dengan Desember 2014. Cadangan devisa mendapat tekanan dikarenakan intervensi kurs yang dilakukan oleh Bank Indonesia, meski belum banyak memberi dampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, pembayaran utang denominasi dolar AS juga menambah tekanan pada cadangan devisa sementara pertumbuhan ekspor kontraksi cukup dalam pada kuartal I-2015. Meski begitu, posisi cadangan devisa pada Juni 2015 masih aman untuk membiayai 6,8 bulan impor plus utang luar negeri Indonesia.

 

2. Pasar Saham masih dalam tekanan eksternal
Gambar 8: Pergerakan IHSG, Juni 2010 – Juni 2015
IHSG memerah pada kuartal II-2015 
Sumber: BEI dan CEIC (2015)
g15
Gambar 9: Kapitalisasi Pasar IHSG, Juni 2010 – Juni 2015
Rupiah melemah dan IHSG memerah, investor asing catatat net sell IDR 4,09 triliun
g16
Sumber: BEI, Bloomberg, dan CEIC (2015)

 

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot drastis pada Juni 2015. Pada penutupan Juni 2015, IHSG berada di level 4.910,65 poin, turun 11 persen dibandingkan penutupan Maret 2015 dengan nilai kapitalisasi IDR 5.000,31 triliun, turun 9,98 persen. Sedangkan dibandingkan dengan awal tahun, IHSG menurun 6,05 persen y-t-d. Kinerja IHSG pada Juni 2015 tentu mengkhawatirkan. Dalam tempo 10 trading days awal, IHSG telah menurun 7,2 persen. Meski sempat rebound pada pertengahan bulan, IHSG kembali menurun hingga akhir Juni 2015. Jika diperbandingkan dengan kinerja pada Maret 2015, IHSG menurun dengan landai tetapi melonjak di sesi penutupan Maret 2015. Anjloknya IHSG tidak lepas dari sentimen negatif terkait kurs rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika selain isu kenaikan Fed Funds Rate dalam waktu dekat. Hal tersebut membuat investor asing melakukan jual neto sebesar IDR 4,09 triliun selama Juni 2015, anjlok 24,64 persen dari penutupan Maret 2015. Tetapi, secara year-on-year IHSG tumbuh tipis 0,66 persen. Sementara itu, dalam enam bulan terakhir, IHSG tumbuh -0,94 persen per bulan dengan deviasi standar 4,67. Adapun dari 10 sektor yang diperdagangkan, semua sektor memerah dengan sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi menjadi sektor terbaik dengan kontraksi “hanya” 6,03 persen dibandingkan penutupan Maret 2015 dan sektor aneka industri menjadi yang terburuk dengan kontraksi 15,92 persen.

IHSG pada penutupan Mei 2015 tercatat di level 5.216,38 poin, turun 5,48 persen dengan nilai kapitalisasi tercatat turun 4,95 persen dibanding penutupan Maret 2015. Jika dibandingkan Mei 2014, IHSG Mei 2015 mencatat peningkatan 6,58 persen. Kondisi tersebut diperparah dengan aksi jual neto investor asing sebesar IDR 3,46 triliun. Perbaikan credit rating Indonesia yang dikeluarkan S&P pada 21 Mei 2015 tidak berdampak signifikan. Meski begitu, keadaan IHSG pada Mei 2015 lebih baik dari April 2015. Pada 30 April 2015, IHSG anjlok hingga 7,83 persen ke level 5.086,42 poin dibanding Maret 2015, disusul nilai kapitalisasi yang turun 7,35 persen. IHSG memburuk dikarenakan sentimen negatif berkaitan kenaikan Fed Funds Rate yang masih belum ada kepastian. Selain itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan kembali menurun dari proyeksi dikarenakan laporan keuangan emiten kuartal I-2015 tidak sesuai ekspektasi awal. Namun, investor asing sempat mencatat beli neto sebesar IDR 15,075 triliun pada 20 April 2015 sebelum akhirnya kembali mencatat angka negatif hingga akhir bulan.

 

Gambar 10: Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, Juni 2010 – Juni 2015
NAB menurun, harga agregat Juni 2015 lebih rendah dari kuartal Maret 2015
g17
Sumber: Statistik Bapepam-OJK (2015, diolah)

 

Dana keloaan investasi reksa dana meningkat pada Juni 2015, namun melambat. Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana tumbuh 3,3 persen menjadi IDR 251 triliun relatif terhadap Maret 2015. Pertumbuhan NAB pada akhir kuartal II-2015 tersebut lebih rendah dibandingkan akhir kuartal sebelumnya yang tumbuh 6,41 persen q-t-q. Sebenarnya, penutupan Mei 2015 mencatat capaian terbaik (IDR 254,6 triliun) pada kuartal II-2015, namun menurun pada penutupan Juni 2015. Di sisi lain, harga satuan agregat reksa dana masih menunjukkan penurunan, seperti yang terjadi selama kuartal I-2015. Pada Juni 2015, harga satuan agregat reksa dana tercatat IDR 1.480 per unit, lebih rendah 7,9 persen dari Maret 2015.
Harga satuan agregat reksa dana turun dikarenakan permintaan reksa dana lebih tinggi dari pertumbuhan kapitaslisasi reksa dana. Unit penyertaan reksa dana tumbuh 12,2 persen relatif terhadap Maret 2015, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan NAB reksa dana. Sementara itu, pertumbuhan NAB reksa dana melambat dapat mengindikasikan tingkat kapitalisasi nilai aset portofolio reksa dana menurun. Nilai kapitalisasi portofolio turun tentu mengiringi kelesuan ekonomi domestik. Selama kuartal II-2015, baik pasar saham maupun pasar obligasi (khususnya obligasi pemerintah) mengalami tekanan yang hebat.

Pada April – Mei, harga satuan agregat menurun. Penurunan kinerja IHSG dan obligasi pemerintah pada April 2015 relatif terhadap Maret 2015 membuat reksa dana tertekan sehingga secara agregat NAB tumbuh tipis (0,06 persen) dan harga satuan agregat reksa dana terjun bebas (-4,8 persen). Perbaikan IHSG pada Mei 2015 sedikit mendongkrak harga satuan agregat dan NAB reksa dana. Di akhir Mei 2015, harga satuan agregat tercatat IDR 1.536 per unit, turun 4,43 persen dibanding penutupan Maret 2015. Pertumbuhan unit penyertaan sebesar 9,64 persenmasih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan NAB reksa dana yang sebesar 4,78persen dibandingkan akhir Maret 2015. Jumlah unit penyertaan reksa dana pada penutupan Mei 2015 berjumlah 165,71 miliar unit, sedangkan NAB sebesar IDR 254,6 triliun.

 

3. Tekanan Harga Secara Umum Kembali Meningkat
Gambar 1: Tingkat Inflasi berdasar Komponen, Juni 2010 – Juni 2015
Inflasi Juni mencapai 7,26 persen y-o-y
g30
Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012
Sumber: BPS dan CEIC (2015, diolah)

 

Inflasi pada Juni 2015 tercatat tinggi. Pada akhir Juni 2015, tingkat inflasi umum tercatat 7,26 persen y-o-y atau 0,54 persen m-t-m, lebih tinggi dari inflasi Maret 2015 yang tercatat 6,38 persen y-o-y atau 0,17 m-t-m. Inflasi Juni didorong oleh komponen harga bergejolak yang naik 8,83 persen y-o-y lebih tinggi dari Maret 2015 yang sebesar 5,87 persen. Naiknya komponen harga bergejolak terkait dengan permintaan bahan pangan selama bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Komponen harga diatur pemerintah naik 13,14 persen juga lebih tinggi dari Maret 2015 yang tercatat 11,49 persen. Kenaikan tarif listrik di beberapa golongan serta kenaikan harga BBM nonsubsidi menjadi penyumbang terbesar kenaikan komponen harga diatur pemerintah Sementara itu, komponen inflasi inti tercatat relatif stabil di level 5,04 persen y-o-y yang tidak berubah dari Maret 2015.

Sementara itu, inflasi inti pada Mei 2015 stabil 5,04% y-o-y. Angka tersebut tidak berubah dari Maret 2015. Di sisi lain, inflasi umum Mei 2015 meningkat tajam menjadi 7,15 persenmeski masih lebih rendah dari inflasi Mei 2014 yang sebesar 7,32 persen. Peningkatan inflasi umum tersebut disebabkan tekanan dari komponen harga bergejolak yang naik 1,52 persen m-t-m atau 8,1% y-o-y, lebih tinggi dari catatan pada Maret 2015. Komponen harga bergejolak yang meningkat dikarenakan naiknya tingkat harga kelompok makanan. Sementara itu, komponen harga diatur pemerintah tercatat 13,35 persen y-o-y atau 0,38 persen m-t-m. Kenaikan komponen harga diatur pemerintah disumbang oleh kenaikan pada tarif listrik. Selain kenaikan harga minyak dunia, depresiasi rupiah turut memberikan dampak sehingga impor bahan baku listrik meningkat.

 

Tabel 1 Tingkat Inflasi berdasarkan Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2015 (%)
Kelompok pengeluaran makanan mendominasi inflasi Mei 2015
t4
Catatan: 2010 – 2013 tahun dasar 2007; 2014 – 2015 tahun dasar 2012
(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
Sumber: BPS dan CEIC (2015, diolah)

 

Kenaikan harga bahan pangan masih mendominasi inflasi Juni 2015. Kelompok pengeluaran bahan makanan tercatat meningkat cukup tinggi sebesar 1,6 persen m-t-m. Kenaikan harga cabai, daging ayam ras, dan juga telur ayam ras menjadi komoditas yang mendorong inflasi kelompok bahan makanan. Depresiasi rupiah membuat harga pakan ayam impor meningkat sehingga biaya produksi naik. Kemudian, menjelang Hari Raya Idul Fitri kelompok pengeluaran transportasi tidak banyak mengalami kenaikan harga dengan tingkat inflasi 0,11 persen m-t-m, Di sisi lain, inflasi Mei 2015 tercatat 0,5 persen. Inflasi pada Mei 2015 tersebut didominasi oleh kenaikan kelompok pengeluaran makanan yang tercatat sebesar 1,39 persen m-t-m lebih tinggi dari Mei 2014 dengan angka -0,15 persen. Bahan-bahan makanan yang mengalami kenaikan antara lain cabai, daging ayam, dan bawang-bawangan. Kenaikan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya permintaan menjelang bulan Ramadhan serta penurunan pasokan di beberapa daerah karena kendala cuaca. Inflasi terendah adalah kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi, dan olah raga dengan angka 0,06 persen.

Sementara itu, inflasi terjadi hampir merata di seluruh provinsi. Dari 82 kota yang disurvei, 76 di antaranya inflasi sedangkan 6 sisanya mengalami deflasi. Kota Sorong tercatat mengalami inflasi tertinggi sebesar 1,9 persen m-t-m. Di sisi lain, enam kota/kabupaten yang mengalami deflasi antara lain terjadi di Ambon, Tual, Merauke, Bima, Singaraja, dan Pangkalpinang dengan Kota Tual tercatat mengalami deflasi tertinggi sebesar 0,8 persen.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.