A. Pasar Finansial dan Sektor Moneter
1. Rupiah Perkasa Seiring dengan Meningkatnya Aliran Dana Masuk
Gambar 7 Kurs Nondeliverable Forward Rupiah terhadap Dolar AS, Juni 2011 – Juni 2016
NDF apresiasi, spread dengan spot rate menipis
Sumber: Bloomberg (2016)
Kurs NDF rupiah terhadap dollar AS mengalami apresiasi. Kurs NDF rupiah berada pada level IDR 13.240 per USD pada akhir Juni 2016. Nilai ini terdepresiasi sebesar 0,30 persen dibandingkan dengan Maret 2016, namun secara m-t-m nilai ini menguat sebesar 3,45 persen. Spread pada Juni 2016 berada pada level 50 poin, nilai ini lebih tinggi dibandingkan pada Maret 2016 (22,05), akan tetapi nilai ini lebih rendah dibandingkan Mei 2016 (71,9). Apresiasi NDF rupiah dan penurunan spread secara m-t-m, memberi sinyal bahwa pelaku pasar optimis bahwa rupiah akan terus membaik.
Gambar 8 Real Effective Exchange Rate, Juni 2011-Juni2016
Secara umum, nilai rupiah mengalami apresiasi hingga overvalued
Sumber: BIS dan CEIC (2016, diolah)
Rupiah kembali terapresiasi terhadap mata uang negara-negara lainnya. Pada Juni 2016, indeks Real Effective Exchange Rate berada pada level 106,54 nilai indeks. Angka tersebut lebih tingi dari nilai rata-rata jangka panjangnya yaitu 105,94, sehingga dapat dikatakan bahwa rupiah overvalued sebesar 0,57 persen. Apabila dibandingkan dengan kuartal lalu (Maret 2016), maka REER Juni 2016 memiliki nilai overvalued yang lebih rendah (REER Maret 2016 overvalued 2,71). Indeks REER Juni 2016 jauh lebih baik apabila dibandingan dengan nilai indeks pada tahun lalu (Juni 2015), dimana pada Juni 2015 nilai indeks REER undervalued sebesar 2.67 persen dibandingkan rata-rata jangka panjangnya.
Gambar 9 Cadangan Devisa
Suku bunga OIS menurun, tekanan risiko perbankan menurun
Catatan: * = data OIS diambil dari rerata delapan bank devisa yang menyediakan layanan OIS
Sumber: Bank Indonesia dan Bloomberg (2016, diolah)
Risiko kredit jangka pendek pasar uang perbankan kembali membaik. Spread antara suku bunga Overnight Indexed Swap (OIS) dan Jakarta Interbank Offer Rate (JIBOR) sebagai indikator persepsi risiko kredit jangka pendek perbankan menurun. Baik JIBOR maupun OIS sama-sama mengalami penurunan. Risiko tersebut menurun seiring dengan membaiknya kondisi likuiditas perbankan dan di pasar uang. Kurs rupiah yang terus membaik sejak Desember 2015 membuat tekanan kebutuhan likuiditas perbankan melonggar.
Gambar 10 Kurs Rupiah terhadap Dolar AS*, Maret 2011 – Maret 2016
Rupiah terus menguat seiring dengan membaiknya risiko eksternal
Catatan: * = mulai Mei 2013, data kurs menggunakan JISDOR Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016, diolah)
Kurs rupiah terhadap dolar AS terus membaik. Pada penutupan 31 Maret 2016, rupiah berada di level IDR 13.276 per USD, apresiasi 3,8 persen dibandingkan akhir Desember 2015. Namun, jika dibandingkan tahun sebelumnya, kurs rupiah lebih lemah 1,5 persen. Meski begitu, kinerja rupiah selama kuartal I-2016 jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, rupiah terdepresiasi hingga 5,18 persen. Tren apresiasi rupiah berlangsung sejak pertengahan Desember 2015, setelah adanya kejelasan terkait dengan kenaikan FFR oleh The Fed. Kemudian, tekanan eksternal perlahan melonggar terkait laju perbaikan ekonomi AS yang lamban sehingga kenaikan FFR ditunda. Rupiah sempat melemah pada pertengahan Maret 2016 bertepatan dengan sidang Federal Open Market Committee (FOMC). The Fed menyatakan akan lebih berhati-hati dalam memutuskan kenaikan FFR dan membatasi frekuensinya. Namun, pernyataan The Fed tersebut memunculkan keyakinan investor bahwa FFR belum akan naik dalam waktu dekat. Kemudian, investor masih mencari margin yang besar dengan menempatkan dana investasinya di negara-negara emerging market.
Gambar 11 Kurs Nondeliverable Forward Rupiah terhadap Dolar AS, Maret 2011 – Maret 2016
NDF apresiasi, spread dengan spot rate menipis
Sumber: Bloomberg (2016)
Kurs NDF rupiah terhadap dolar AS juga kembali membaik. Pada akhir Maret 2016, kurs NDF rupiah tercatat di level IDR 13.255 per USD, menguat 4,7 persen relatif terhadap Desember 2015, namun melemah 0,35 persen relatif terhadap Maret 2015. Spread antara spot rate dengan NDF juga semakin menipis. Spread pada akhir Maret 2016 tercatat 30 poin lebih baik dari spread pada Desember 2015 (110 poin) dan Maret 2015 (145 poin). Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa market confidence menguat. Pelaku pasar pemegang rupiah optimis nilai rupiah masih akan terus membaik.
Gambar 12 Real Effective Exchange Rate, Maret 2011 – Maret 2016
Secara umum, nilai rupiah mengalami apresiasi hingga overvalued
Sumber: BIS dan CEIC (2016, diolah)
Nilai kurs rupiah secara umum terus mengalami apresiasi. Indeks nilai Real Effective Exchange Rate (REER) ada di level 106,09 poin, lebih tinggi 109 bps dari rata-rata jangka panjang (nilai wajar). Artinya, REER mengalami overvalued sebesar 1,02 persen. Namun, hal yang perlu dicatat adalah kurs yang mengalami overvalued tentu akan kembali terkoreksi di masa yang akan datang. REER pada Maret 2016 jauh lebih baik dari kondisi pada Desember 2015 (undervalued 1,25 persen) maupun Maret 2015 (undervalued 2,3 persen). Meski begitu, nilai Real Exchange Rate (RER) rupiah terhadap dolar AS masih lemah. Indeks RER tercatat di level 91,09 poin, lebih rendah 260 bps dari nilai wajar. Artinya, kurs rupiah masih mengalami undervalued sebesar 2,94 persen, namun sudah bergerak ke arah nilai wajarnya. RER Maret 2016 lebih baik dari kondisi Desember 2015 (undervalued 6,6 persen) maupun Maret 2015 (undervalued 4,5 persen).
Gambar 13 Cadangan Devisa, Maret 2011 – Maret 2016
Cadangan devisa kembali membaik signifikan
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2016, diolah)
Cadangan devisa Indonesia melonjak. Pada akhir Maret 2016, cadangan devisa tercatat di level USD 107,5 miliar, lebih tinggi USD 1,61 miliar dari posisi Desember 2015, namun masih jauh lebih rendah dari posisi Maret 2015, USD 111,6 miliar. Cadangan devisa kembali membaik seiring aliran dana asing ke pasar finansial sejak akhir Januari 2016, baik melalui pasar saham maupun pasar obligasi. Cadangan devisa tersebut berada di atas standar kecukupan internasional dan dapat membiayai 7,8 bulan impor dan utang pemerintah.
2. Pasar Saham Kembali Melejit
Gambar 14 Pergerakan IHSG, Maret 2011 – Maret 2016
IHSG kembali bergairah, tercatat di level 4.845 poin pada penutupan Maret 2016
Sumber: BEI dan CEIC (2016, diolah)
Gambar 15 Nilai Kapitalisasi Pasar dan Pembelian Neto Asing, Maret 2011 – Maret 2016
Investor asing kembali masuk pasar, pembelian neto Februari – Maret tercatat IDR 6,43 triliun
Sumber: BEI, Bloomberg, dan CEIC (2016, diolah)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami perbaikan kinerja. Pada 31 Maret, IHSG berada di level 4.845 poin, menguat 5,5 persen dari Desember 2015, namun jauh lebih buruk 12,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai kapitalisasi IHSG tercatat mencapai IDR 5.143 triliun, tumbuh 5,6 persen dibandingkan Desember 2015, namun lebih rendah 7,4 persen dari Maret 2015. Perbaikan kinerja ini tidak lepas dari perkembangan kondisi ekonomi AS yang masih belum sesuai harapan dan Tiongkok yang masih stagnan. Selain itu, perkembangan di Eropa juga belum menggembirakan meski ECB menaikkan jumlah QE dan memperluas cakupan pembelian obligasi. Investor asing kembali masuk ke pasar saham sejak akhir Januari 2016 hingga penutupan Maret 2016. Investor asing mencatatkan pembelian neto IDR 2,32 triliun pada Maret 2016, lebih baik dari Desember 2015 (IDR -1,41 triliun) ataupun Maret 2015 (IDR -5,43 triliun). Secara year to date, investor asing mencatat pembelian neto IDR 4,11 triliun.
Gambar 16 Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, Maret 2011 – Maret 2016
Reksa dana terus menanjak
Sumber: ARIA Bapepam-OJK (2016, diolah)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami perbaikan kinerja. Pada 31 Maret, IHSG berada di level 4.845 poin, menguat 5,5 persen dari Desember 2015, namun jauh lebih buruk 12,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai kapitalisasi IHSG tercatat mencapai IDR 5.143 triliun, tumbuh 5,6 persen dibandingkan Desember 2015, namun lebih rendah 7,4 persen dari Maret 2015. Perbaikan kinerja ini tidak lepas dari perkembangan kondisi ekonomi AS yang masih belum sesuai harapan dan Tiongkok yang masih stagnan. Selain itu, perkembangan di Eropa juga belum menggembirakan meski ECB menaikkan jumlah QE dan memperluas cakupan pembelian obligasi. Investor asing kembali masuk ke pasar saham sejak akhir Januari 2016 hingga penutupan Maret 2016. Investor asing mencatatkan pembelian neto IDR 2,32 triliun pada Maret 2016, lebih baik dari Desember 2015 (IDR -1,41 triliun) ataupun Maret 2015 (IDR -5,43 triliun). Secara year to date, investor asing mencatat pembelian neto IDR 4,11 triliun.
3. Utang Luar Negeri Indonesia Menurun, Indikator Sustainibilitas Utang Memburuk, Persepsi Risiko SBN Menurun, dan Harga SBN Meningkat
Gambar 17 Utang Luar Negeri Indonesia, Maret 2011 – Maret 2016**
Utang luar negeri di sektor swasta mengalami penurunan sedangkan di sektor publik mengalami peningkatan
Keterangan: * = Sementara, ** = Sangat Sementara
Sumber: Bank Indonesia (2016)
Utang luar negeri Indonesia pada Maret 2016 sebesar USD 315.985 juta. Utang tersebut meningkat sebesar 1,2 persen m-t-m dan 5,65 persen y-o-y. Secara keseluruhan hingga Maret 2016, tren utang meningkat. Jika dilihat secara komponennya, utang luar negeri bank sentral mengalami peningkatan sebesar 1,35 persen m-t-m dan 4,38 persen y-o-y menjadi USD 5.149 juta. Sementara itu, utang luar negeri pemerintah juga mengalami peningkatan menjadi USD 146.163 atau mengalami peningkatan sebesar 3,09 persen m-t-m dan 14,35 persen y-o-y. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena peningkatan permintaan terhadap Surat Berharga Negara (SBN), terutama oleh investor domestik sehingga terjadi peningkatan melalui pembiayaan dari SBN domestik. Peningkatan utang luar negeri secara keseluruhan pada Maret 2016 terjadi karena peningkatan utang di sektor pemerintah dan bank sentral. Sementara itu, utang di sektor swasta mengalami penurunan sebesar 0,95 persen secara year on year menjadi USD 164.673.
Gambar 18 Utang Luar Negeri Berdasarkan Jangka Waktunya, Maret 2011 – Maret 2016**
Utang luar negeri jangka panjang dan jangka pendek meningka
Keterangan: * = Sementara, ** = Sangat Sementara
Sumber: Bank Indonesia (2016)
Utang luar negeri jangka pendek Indonesia pada Maret 2016 sebesar USD 57.466 juta, naik sebesar 4,29 persen m-t-m dan 0,25 persen y-o-y. Berdasarkan komponennya, utang luar negeri jangka pendek pemerintah dan bank sentral tercatat sebesar USD 9.749 juta, meningkat 9,14 persen m-t-m dan turun sebesar 7,62 persen y-o-y. Sektor swasta juga mengalami peningkatan, yakni sebesar 3,36 persen m-t-m dan 2,03 persen y-o-y menjadi USD 47.717 juta. Pada Maret 2016, utang luar negeri jangka pendek swasta masih mendominasi sekitar 83,03 persen terhadap total utang jangka pendek. Persentase tersebut menurun sebesar 0,75 persen dibandingkan dengan pangsa bulan sebelumnya.
Sedangkan utang luar negeri jangka panjang Indonesia pada Maret 2016 meningkat 0,54 persen m-t-m dan 6,94 persen y-o-y menjadi USD 258.519 juta. Peningkatan tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan utang di sektor pemerintah dan bank sentral sebesar 2,63 persen m-t-m dan 15,84 persen y-o-y menjadi USD 141.563 juta. Sementara itu, utang di sektor swasta turun sebesar 1,87 persen m-t-m dan 2,16 persen y-o-y menjadi USD 116.956 juta. Sektor pemerintah dan bank sentral mendominasi pangsa total utang luar negeri jangka panjang sebesar 54,75 persen terhadap total utang. Persentase tersebut meningkat sebesar 1,11 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Gambar 19 Indikator Utang Luar Negeri Indonesia (%), Kuartal I-2014 – Kuartal I-2016**
DSR Tier 1, DSR Tier 2, rasio utang terhadap ekspor dan PDB mengalami peningkatan
Keterangan: (DSR Tier 1 merupakan pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek)
(DSR Tier 2 meliputi pembayaran pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung selain dari anak perusahaan di luar negeri, serta pinjaman dan utang dagang kepada nonafiliasi)
- = Sementara, ** = Sangat Sementara
Sumber: Bank Indonesia (2016)
Secara umum indikator sustainabilitas utang luar negeri Indonesia pada kuartal I 2016 memburuk. Hal tersebut tampak dari peningkatan DSR Tier 1 mengalami peningkatan sebesar 1,08 percentage point q-t-q menjadi 29,83 persen. Hal yang sama juga terjadi pada DSR Tier 2 yang mengalami peningkatan sebesar 0,41 percentage point q-t-q menjadi 63,88 persen. Sementara itu, terjadi pula peningkatan pada rasio utang terhadap ekspor sebesar 7,52 percentage point q-t-q menjadi 176,19 persen. Rasio utang terhadap PDB juga mengalami peningkatan menjadi 36,47 persen atau naik sebesar 0,49 percentage point q-t-q. Beberapa variabel makro menjadi faktor penyebab memburuknya sustainibilitas utang luar negeri Indonesia seperti risiko melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar serta menurunnya pendapatan dari ekspor sebagai akibat melemahnya perekonomian negara-negara mitra dagang Indonesia dan menurunya harga komoditas.
Gambar 20 IBPA Effective Yield Index (EYI) dan Credit Default Swap (CDS, tenor 5 tahun), Maret 2014 – Maret 2016
Rata-rata yield obligasi dan CDS bertenor 5 tahun Indonesia mengalami penurunan
Sumber: Bloomberg (2016)
Persepsi risiko terhadap obligasi Indonesia menurun. Hal tersebut diindikasikan oleh penurunan rata-rata yield obligasi semua tenor (IGB EYI) dan benchmark bertenor 10 tahun pada Maret 2016. Level yield IGB EYI menurun sebesar 6,50 persen m-t-m dan naik sebesar 5 persen y-t-d. Sementara itu, level yield obligasi 10 tahun juga mengalami penurunan sebesar 5,93 persen m-t-m dan naik sebesar 6,02 persen y-t-d. Keduanya terus mengalami penurunan sepanjang kuartal I 2016. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi kinerja positif pada pasar surat berharga di Indonesia. Sementara itu, senada dengan penurunan tersebut, nilai CDS obligasi Indonesia mengalami penurunan hingga 198,35 bps pada akhir Maret 2016. Tren CDS obligasi selama kuartal I 2016 juga cenderung menurun.
Penurunan tersebut disebabkan karena selama periode Januari hingga Maret 2016, imbas faktor eksternal terhadap perekonomian domestik mulai melemah. Ketidakpastian di pasar global semakin mereda sebagai akibat dari kepastian kenaikan tingkat suku bunga AS yang akan dilakukan secara bertahap. Selain itu, Uni Eropa dan Jepang justru akan menerapkan suku bunga negatif. Hal itu didorong karena masih lemahnya prospek perekonomian dan tingkat inflasi yang terlalu rendah sehingga pelonggaran kebijakan moneter masih akan dilakukan. Kondisi tersebut memacu penurunan yield obligasi domestik karena terjadi permintaan yang lebih tinggi pada pasar surat berharga dalam negeri.
Gambar 21 SBN Outstanding dan Kepemilikan Berdasarkan Entitas, Maret 2014 – Maret 2016
SBN outstanding Indonesia meningkat
Sumber: Bank Indonesia, DJPPR, dan CEIC (2016)
SBN outstanding Indonesia pada akhir Maret 2016 sebesar IDR 2.490,59 triliun, meningkat sebesar 2,72 m-t-m dan 18,63 y-o-y. Berdasarkan komposisinya, SBN tradable tercatat sebesar IDR 2.228,80 triliun pada Maret 2016, meningkat 3,48 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan 21,38 persen dibandingkan bulan yang sama di tahun 2015. Asing masih mendominasi kepemilikan SBN tradable sebesar 27,28 persen atau meningkat dibandingkan Februari 2016. Kepemilikan asing atas SBN tradable pada akhir Maret 2016 sebesar IDR 606,08 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 3,11 persen m-t-m dan 17,80 persen y-o-y. Sementara entitas lainnya, yaitu Bank dan Institusi Pemerintah masing-masing kepemilikannya sebesar IDR 450,99 triliun dan IDR 52,69 triliun berturut-turut. Asing juga mencatatkan beli neto SBN sebesar IDR 18,29 triliun pada Maret 2016 atau meningkat dibandingkan pembelian di bulan sebelumnya. Persentase kepemilikan asing di pasar SBN tercatat sebesar 37,48 persen. Sementara itu, SBN non-tradable pada akhir Maret 2016 tercatat sebesar IDR 261,78 triliun menurun sebesar 3,24 persen m-t-m dan 0,51 y-o-y.
Gambar 22 Inter Dealer Market Agency (IDMA), Maret 2014 – Maret 2016
IDMA index mengalami peningkatan
Sumber: Bloomberg (2016)
Harga obligasi Indonesia mengalami peningkatan pada akhir Maret 2016. Harga obligasi yang tercermin dari level IDMA price index mengalami peningkatan sebesar 3,32 bps m-t-m dan penurunan sebesar 3,40 bps y-o-y. Peningkatan harga obligasi pada kuartal I 2016 ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan harga pada akhir kuartal IV 2015 yang sebesar 93,33 bps. Peningkatan harga obligasi juga tercermin pada level IGB CPI yang mengalami peningkatan sebesar 3,21 bps m-t-m dan penurunan sebesar 3,52 bps y-o-y menjadi sebesar 99,79 bps. Secara keseluruhan, harga obligasi meningkat pada kuartal I 2016. Hal ini senada dengan penurunan yield obligasi yang juga terjadi pada kuartal ini. Hal ini disebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap obligasi karena yield yang ditawarkan relatif lebih tinggi, terutama bila dibandingkan dengan AS, juga Eropa dan Jepang yang menerapkan kebijakan suku bunga negatif.