Home » Id » Opini » Membangun Kepercayaan Memperkokoh Perkonomian

Membangun Kepercayaan Memperkokoh Perkonomian

Meningkatnya tekanan terhadap perekonomian Indonesia pada akhir 2015 menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia berada pada tahap yang cukup mengkhawatirkan. Terdepreasianya rupiah terhadap US dolar secara tajam, ditambah dengan lesunya perdagangan saham di BEI, isu kenaikan Federal Funds Rate, devaluasi mata uang Tiongkok serta kondisi non-ekonomi yang turut menghiasi headline di berbagai media di tanah air seolah-olah menjadi indikator awal akan munculnya krisis ekonomi.

Kegamangan demi kegamangan yang dilontarkan beberapa pelaku ekonomi di dalam negeri seakan membenarkan apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi terkait dengan masa depan perekonomian di Indonesia.
Sempat timbul kekhawatiran bahwa krisis ekonomi akan terulang. Hal ini sangat beralasan karena ada beberapa kemiripan tentang kondisi perekonomian di penghujung 2015 lalu dengan masa-masa menjelang terjadinya krisis keuangan Asia 1997, diantaranya adalah terdepresiasinya nilai tukar mata uang regional, memburuknya kinerja perdagangan, meningkatnya inflasi, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, kondisi politik yang relatif stabil dan kuatnya sistem perbankan dan keuangan di tanah air menjadi satu pembeda yang sangat jelas antara kondisi sekarang dengan 18 tahun yang lalu. Satu hal yang penting untuk dicatat bahwa hingga akhir 2015, indikator-indikator ekonomi makro tidak menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan terkait dengan kinerja perekonomian di tanah air.

Apa yang sesungguhnya menjadi faktor penentu mengapa perekonomian Indonesia tetap bergerak optimis sehingga terhindar dari kondisi buruk seperti yang banyak dikhawatirkan? Tentu ada banyak faktor yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada perekonomian Indonesia 2015 lalu. Diantaranya adalah dengan mengamati faktor eksternal yang sering kali dijadikan sebagai “kambing hitam” atas buruknya kondisi domestik. Sehingga layak untuk kita pertanyakan apakah faktor eksternal benar-benar memainkan peran penting sehingga naik turunnya tensi ekonomi sangat dipengaruhi oleh keberadaanya. Jika benar bahwa faktor eksternal merupakan penyebab utamanya maka seharusnya hal ini telah menjadi pertimbangan dalam pengelolaan resiko terkait dengan semakin terbukanya perekonomian kita. Dengan demikian kita tidak gampang menuduh faktor eksternal menjadi biang kegaduhan perekonomian dalam negeri hanya ketika kondisinya memburuk, namun juga siap mengakui bahwa faktor eksternal menjadi penolong perekonomian domestik ketika kondisi ekonomi membaik.

Disisi lain, boleh jadi terhindarnya perekonomian Indonesia dari keterpurukan karena ditopang oleh kerja pemerintah dalam memberikan sinyal-sinyal ke pasar melalui 7 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan sejak awal September hingga awal Desember 2015 setelah sebelumnya diawali dengan pergantian beberapa anggota Kabinet Kerja terutama di bidang ekonomi. Tidak semua kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah direspon oleh pasar secara langsung terutama yang terkait dengan upaya peningkatan daya beli masyarakat, penyediaan infrastruktur, perbaikan iklim investasi dan lain sebagainya yang membutuhkan waktu relatif lama dalam implementasinya. Dengan diterbitkannya serangkaian paket kebijakan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memiliki rasa percaya diri dan optimisme yang cukup tinggi untuk dapat menghindari krisis ekonomi. Percaya diri dan optimisme yang dimiliki oleh pemerintah ini sangat diperlukan namun harus berada pada ukuran yang proporsional agar tidak masuk pada kondisi yang overconfidence.

Berkaca pada krisis keuangan global 2007, dimana pasar keuangan gagal dalam menjalankan dua hal, yaitu (i) mengelola dan mendistribusikan resiko, (ii) mengalokasikan investasi secara efektif. Dan bersamaan dengan itu, pemerintah dan lembaga pembuat peraturan lainnya juga gagal dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk memantau dan mengendalikan aktivitas keuangan. Akan tetapi, dibalik itu semua banyak pihak yang percaya bahwa penyebab krisis pada waktu itu ada pada kepercayaan (trust) dan keyakinan (confidence). Joseph E. Stiglitz, penerima Nobel di bidang ekonomi 2001, berpendapat bahwa krisis keuangan global (2007) berawal dari runtuhnya keyakinan para pelaku pasar terhadap perekonomian global. Lebih lanjut, Stiglitz juga menyatakan bahwa pasar keuangan bergantung pada kepercayaan dan kepercayaan telah mengalami erosi.

Keputusan yang diambil oleh para pelaku pasar dibuat dengan mempertimbangkan banyak hal dimana kepercayaan dan keyakinan termasuk didalamnya. Keputusan menjual atau membeli saham yang direfleksikan melalui pergerakan harga saham dapat juga digunakan sebagai gambaran tingkat kepercayaan serta keyakinan para investor terhadap kondisi di pasar. Demikian juga keputusan untuk membeli atau menjual mata uang asing yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik juga memiliki peran yang penting dalam pembentukan indikator ekonomi makro harian. Keputusan konsumen untuk membeli atau menunda pembelian juga akan mempengaruhi permintaan terhadap suatu produk yang tentu saja akan berdampak pada tingkat penjualan produk.

Bank Indonesia mencatat bahwa sepanjang 2015 Consumer Confidence Index (CCI) berada diatas 100 (yang mengindikasikan tingkat optimisme konsumen) kecuali pada September hingga Oktober 2015. Setelah sebelumnya mencapai angka indeks yang cukup tinggi pada Agustus 2015 yaitu sebesar 112.8, CCI menurun drastic pada September 2015 hingga mencapai 97.5 yang menunjukkan pesimisme konsumen dalam negeri. Meskipun mulai membaik, namun hingga Oktober 2015 CCI masih menunjukkan nilai dibawah 100. Dua bulan menjelang berakhirnya 2015, CCI meningkat sedikit demi sedikit melampaui 100. Kondisi ini setidaknya memberikan gambaran bahwa tingkat kepercayaan konsumen mulai mengalami peningkatan pada November hingga Desember 2015.

Dalam konteks ini, apakah kedudukan kepercayaan investor (investor trust) sama dengan keyakinan investor (investor confidence)? Penjelasan yang cukup menarik diberikan oleh Tonkiss (2009) yang memberikan ilustrasi tentang perbedaan antara trust dan confidence. Dalam kasus sebuah perbankan memutuskan melepas dananya pada pasar uang antar bank, jika bank tidak memiliki informasi yang valid tentang aset dan kewajiban bank lainnya telah membuat bank tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengambil keputusan. Kondisi ini membuat bank tersebut tidak memiliki keyakinan (confidence) bahwa bank peminjam akan mampu membayar kembali pinjamannya. Atau sebaliknya, jika bank menduga bahwa bank peminjam berbohong atas nilai asetnya maka kondisi ini menggambarkan adanya kegagalan kepercayaan (trust). Contoh lain, misalnya seorang investor membuat keputusan untuk membeli saham suatu perusahaan tertentu berdasarkan pada performa perusahaan, perkembangan harga saham, strategi perusahaan dan lain sebagainya maka keputusan perusahaan tersebut diambil berdasarkan pada keyakinan (confidence). Namun, apabila keputusan investor untuk membeli saham suatu perusahaan hanya karena investor mengenal pemilik perusahaan, maka keputusan yang diambil tersebut didasarkan atas kepercayaan (trust).

Para peneliti ekonomi mempercayai adanya hubungan positif antara kepercayaan sosial dengan kesejahteraan ekonomi. Ada dua hal yang dapat dibedakan terkait dengan trust, yaitu kepercayaan antar individu (interpersonal trust) serta kepercayaan pada kelembagaan ekonomi dan politik (systemic trust). Terkait dengan kepercayaan, apakah dapat dikatakan bahwa kepercayaan lebih dekat dengan penilaian subyektif, suka atau tidak suka? Jika benar demikian, maka membangun perekonomian atas dasar trust akan lebih rumit mengingat masing-masing orang akan memiliki penilaian yang berbeda terhadap suatu hal. Di sisi lain, keyakinan dibangun berdasarkan pada hal-hal obyektif yang dapat diamati oleh semua pihak serta dapat pula dibangun berdasarkan dokumen-dokumen hukum misalnya peraturan-peraturan pemerintah ataupun kontrak. Kondisi ini tentunya akan memudahkan para pelaku pasar untuk menggunakan informasi-informasi yang valid dan reliable dalam proses pengambilan keputusan.

Dari apa yang telah diuraikan, ada baiknya kita sedikit berhati-hati terkait dengan membaiknya perekonomian Indonesia setelah sempat berada pada zona yang mengkhawatirkan di penghujung 2015. Kebijakan-kebijakan yang telah dan akan diambil oleh pemerintah saat ini melalui paket-paket kebijakan ekonominya, secara teori dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun keyakinan pasar (market confidence). Namun, kebijakan-kebijakan yang tidak konsisten dalam pelaksanaannya akan menjadi bumerang bagi pemerintah karena justru akan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) para pelaku pasar. Dan apabila kondisi ini yang terjadi maka harapan untuk memperkokoh perekonomian justru akan menjadi sebaliknya, yaitu melemahnya aktivitas perekonomian di tanah air karena tidak ada lagi kepercayaan para pelaku pasar terhadap institusi politik dan ekonomi (systemic trust). Untuk itu, pemerintah saat ini masih perlu membuktikan kepada pasar bahwa mereka konsisten dalam menjalankan setiap kebijakan yang telah dan akan diambil secepat mungkin. Dengan cara ini diharapkan agar kepercayaan para pelaku pasar benar-benar terbangun dan pada akhirnya mampu menumbuhkan keyakinan (confidence) dalam membangun perekonomian ke arah yang diinginkan.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.