Home » Id » Opini » Inflasi dan Penanggulangan Kemiskinan

Inflasi dan Penanggulangan Kemiskinan

Pada awal Juli 2015 minggu lalu, Badan Pusat Statistik merilis angka inflasi bulan Juni 2015 sebesar 0,54 persen. Angka ini sedikit lebih tinggi dari angka inflasi bulan Juni 2014 yang sebesar 0,43, namun lebih rendah dari inflasi bulan yang sama tahun 2010-2013. Angka inflasi tahun kalendar Januari-Juni di tahun 2015 (0,96 persen) ini juga yang terendah dibandingkan dengan 5 tahun terakhir. Namun inflasi year-on-year Juni 2015 cenderung meningkat (7,26 persen) dibandingkan dengan inflasi YoY pada bulan-bulan sebelumnya di tahun 2015 ini.

Ada beberapa catatan terkait dengan angka inflasi pada bulan Juni 2015 ini. Pertama, angka inflasi bulan Juni 2015 yang tergolong rendah ini mengirimkan pesan ganda. Di satu sisi, ini berita gembira khususnya memasuki periode puasa dan menjelang idul fitri. Dengan tingkat inflasi bulan Juni 2015, seperti dinyatakan oleh kepala BPS (Kompas, 2/7/2015), inflasi bulan Ramadhan dan Idul fitri akan cenderung terkendali. Di sisi lain, inflasi bulan Juni 2015 yang cenderung rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya boleh jadi masih menggambarkan tren kelesuan ekonomi yang masih berlanjut.

Catatan kedua, tingkat inflasi bulan Juni 2015 masih disumbang secara dominan oleh bahan makanan. Seperti dirilis oleh BPS, sumbangan bahan makanan pada inflasi bulan Juni 2015 hampir mencapai 61 persen. Situasi ini dimana inflasi bahan makanan menjadi penyumbang terbesar inflasi umum berpotensi meningkatkan angka kemiskinan meningat alokasi makanan dalam bujet rumah tangga miskin cenderung lebih besar ketimbang alokasi makanan dalam bujet rumah tangga non-miskin.

Tulisan singkat ini mencoba melihat lebih jauh keterkaitan inflasi dengan tingkat kemiskinan dan apa yang perlu dilakukan untuk memastikan momentum penurunan tingkat kemiskinan terus berlanjut.

 

Kemiskinan dan Kebijakan Penanggulanan Kemiskinan di Indonesia

Penurunan angka tingkat kemiskinan di Indonesia adalah salah satu kisah sukses utama pembangunan di Indonesia. Cerita sukses ini bahkan didokumentasi dalam literatur ekonomi pembangunan dan menjadi bahan pembelajaran banyak negara berkembang dalam menurunkan angka kemiskinan. Gambar 1 di bawah menunjukan pada periode 1976 hingga 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia berhasil diturunkan dari 40-an persen ke 11,30 persen.

 

Gambar 1. Jumlah Orang Miskin dan Tingkat Kemiskinan di Indonesia, 1976-2014
gambar-opini-elan-pov
Sumber: BPS

 

Namun demikian dari Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa sejak krisis keuangan Asia menghantam Indonesia pada 1997-1998, tren penurunan kemiskinan berubah: meningkat selama periode krisis, kemudian mulai kembali menggapai momentum penurunan mulai awal 2000 namun dengan kecepatan/perubahan penurunan yang melambat hingga saat ini. Pelambatan penurunan tingkat kemiskinan mungkin terjadi karena beberapa hal. Pertama adalah sebab natural, yaitu tingkat kemiskinan pada tingkat yang rendah secara natural memang akan turun lebih lambat ketimbang pada tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, kemiskinan pada tingkat yang lebih rendah juga sangat mungkin telah menyentuh kemiskinan kronis yang penanggulangannya perlu upaya yang lebih menyeluruh dan waktu yang lebih lama. Kedua, pelambatan kemiskinan juga mungkin dijelaskan oleh faktor-faktor eksternal—salah satunya situasi makro dan inflasi—yang kurang menguntungkan maupun kebijakan/program yang kurang efektif.

Dari sisi alokasi anggaran walau anggaran berbagai program penanggulangan kemiskinan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun secara proporsional terhadap PDB anggaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial di Indonesia masih sekitar 0,5 persen. Angka ini jauh lebih kecil dari negara-negara tetangga yang rata-ratanya sekitar 1 – 1,5 persen.

Namun demikian, dalam 5 tahun terakhir pemerintah telah mengupayakan banyak hal untuk memastikan anggaran program perlindungan sosial diterima oleh mereka yang berhak–yaitu kelompok miskin dan rentan. Ada paling tidak dua hal utama yang telah dilakukan dalam 5 tahun terakhir ini. Pertama, sejak 2011 telah dibangun Basis Data Terpadu Penerima (BDT) Manfaat Program Perlindungan Sosial. Basis data ini berisikan 40 persen penduduk termiskin yang mencakup kurang lebih 24,8 juta rumah tangga atau 96,4 juta individu. Data ini dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang juga diberikan mandat untuk memastikan bahwa program-program nasional utama penanggulangan kemiskinan menggunakan data penerima manfaat dari BDT ini.

Saat ini program-program utama seperti Program Simpanan Keluarga Sejahtera–dahulu disebut Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kemudian Bantuan Langsung Sementara untuk Masyarakat (BLSM)—Raskin, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat (Jaminan Kesehatan Nasional), dan Program Keluarga Harapan telah menggunakan data ini sejah 2012. Selain itu program-program daerah juga telah menggunakan data penerima manfaat dari BDT ini.

Kedua, mekanisme penyaluran program perlindungan sosial juga diperbaiki dan ditingkatkan dalam 5 tahun terakhir ini. Sebagai contoh, Bantuan Siswa Miskin (BSM)—saat ini disebut dengan Program Indonesia Pintar—dirubah mekanisme penyalurannya dari berbasis sekolah menjadi berbasis rumah tangga. Dengan mekanisme baru ini, anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan langsung menerima Kartu Indonesia Pintar sebagai penanda bahwa mereka berhak atas manfaat bantuan pendidikan jika mereka terdaftar di sekolah atau pesantren.

Hasil dari perbaikan data penerima manfaat dan mekanisme penyaluran bantuan ini menunjukan hasil. Pemanfaatan data penerima manfaat dari BDT mengurangi inclusion dan exclusion error, yaitu kesalahan yang terjadi dimana masing-masing yang seharusnya tidak berhak memperoleh manfaat program, dan yang seharusnya berhak menerima manfaat program ternyata tidak memperolehnya. Selain itu evaluasi dampak dari uji-coba mekanisme baru BSM yang berbasis rumah tangga dengan menggunakan kartu juga menunjukan bahwa mekanisme baru tersebut efektif dalam meningkat partisipasi sekolah khususnya pada kelas 7 (1 SMP)—tingkat sekolah yang drop-out rate-nya tinggi khususnya pada kelompok miskin dan rentan.

 

Inflasi dan Kemiskinan

Dalam kurun waktu 2009-2014, tingkat kemiskinan turun dari 14,15 persen menjadi 10,96 persen dan jumlah orang miskin turun sebanyak 4 juta orang dari 32,53 juta menjadi 27,73 juta jiwa. Tingkat kemiskinan pada tahun 2014 ini masih lebih tinggi dari yang ditargetkan pada tahun 2009. Pertanyaannya mengapa dengan basis data yang lebih baik dan cukup banyak perbaikan disain dan mekanisme program yang telah dilakukan, tingat kemiskinan masih lebih tinggi dari yang ditargetkan?

 

Gambar 2. Pertumbuhan Konsumsi dan Garis Kemiskinan 2010-2014

 

Analisis data Susenas yang membandingkan pertumbuhan konsumsi dan garis kemiskinan selama kurun waktu 2010 hingga 2014 menunjukan bahwa penurunan kemiskinan pada kurun waktu tersebut dapat lebih besar lagi jika pertumbuhan garis kemiskinan dapat dijaga lebih rendah daripada pertumbuhan konsumsi orang miskin dan rentan. Pada kenyataannya, seperti ditunjukan pada Gambar 2, pertumbuhan rata-rata konsumsi rumah tangga pada dua desil terbawah—merupakan kelompok miskin dan rentan—lebih rendah ketimbang pertumbuhan garis kemiskinan.

Mengapa pertumbuhan garis kemiskinan tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan konsumsi rumah tangga miskin? Salah satu yang menjelaskan situasi tersebut adalah inflasi kelompok makanan dan garis kemiskinan (poverty basket) yang cenderung lebih tinggi dari inflasi umum dalam 5 tahun terakhir—bahkan sejak 1 dekade terakhir. Tingginya inflasi kelompok makanan selain dijelaskan oleh perilaku musiman dari sisi penawaran maupun permintaan—panen, puasa-idul fitri, natal, akhir tahun, dan lainnya—juga disebabkan oleh inefisiensi tata niaga banyak komoditas pangan kita.

 

Gambar 3. Inflasi Umum (CPI) dan Inflasi Garis Kemiskinan
gambar-opini-elan-inf

 

Implikasi dari situasi ini adalah upaya penanggulangan kemiskinan tidak bisa semata-mata mengandalkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan juga perlu dibarengi dengan upaya menjaga inflasi, khususnya inflasi kelompok makanan dan garis kemiskinan. Inflasi yang terjaga memastikan stabilitas daya beli dari rumah tangga miskin dan rentan sekaligus menciptakan lingkungan ekonomi yang friendly bagi kelompok miskin untuk melakukan aktifitas ekonomi produktif.


Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.